Liputan6.com, Tel Aviv - Keretakan antara Amerika Serikat (AS) dan Israel nyata setelah Presiden Joe Biden menyuarakan keprihatinannya atas upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan koalisinya melakukan reformasi peradilan.
"Seperti banyak pendukung kuat Israel lainnya, saya prihatin... Mereka tidak bisa melanjutkan langkah itu... Semoga perdana menteri akan bertindak sedemikian rupa, sehingga dia dapat melakukan kompromi yang tulus," kata Biden pada Selasa (28/3/2023) saat tengah berada di Carolina Utara, seperti dikutip dari CNN, Kamis (30/3).
Baca Juga
"Saya harap dia meninggalkannya."
Advertisement
Biden juga menyatakan bahwa dia tidak akan mengundang Netanyahu ke Gedung Putih dalam waktu dekat.
Netanyahu kemudian merespons pernyataan Biden pada Selasa malam. Dia menyinggung komitmen jangka panjang Biden bagi Israel sebelum akhirnya mengatakan, "Pemerintahan saya berkomitmen untuk memperkuat demokrasi dengan mengembalikan keseimbangan yang tepat antara tiga cabang pemerintahan, yang kami perjuangan untuk dicapai melalui konsesus yang luas."
"Israel adalah negara berdaulat yang membuat keputusan atas kehendak rakyatnya dan tidak berdasarkan tekanan dari luar negeri, termasuk dari sahabat terbaik."
I have known President Biden for over 40 years, and I appreciate his longstanding commitment to Israel. The alliance between Israel and the United States is unbreakable and always overcomes the occasional disagreements between us
— Benjamin Netanyahu - ×‘× ×™×ž×™×Ÿ × ×ª× ×™×”×• (@netanyahu) March 28, 2023
Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir turut merespons pernyataan Biden.
"Baik Presiden Biden dan semua pejabat administrasi di AS harus memahami bahwa Israel adalah negara merdeka, bukan bintang lain di bendera AS," katanya di Radio Angkatan Darat Israel pada Rabu.
Pertukaran komentar semacam itu disebut tidak biasa mengingat keduanya adalah sekutu dekat.
Seorang pejabat senior Israel lewat sebuah pengarahan kepada wartawan AS pada Rabu (29/3) mengungkapkan, baik AS maupun Israel tidak tertarik meningkatkan pertengkaran dan Tel Aviv yakin Washington akan mengeluarkan pernyataan untuk menenangkan situasi.
Selanjutnya, pejabat itu menuturkan bahwa negara demokrasi harus membiarkan negara demokrasi lain untuk mencari tahu sendiri.
Reformasi Peradilan Merusak Hubungan Israel-AS?
Pemimpin oposisi sekaligus mantan perdana menteri Israel Yair Lapid mengatakan pada Rabu, upaya Netanyahu untuk melemahkan peradilan telah merusak hubungan Israel-AS.
"Selama beberapa dekade Israel adalah sekutu terdekat AS. Pemerintahan paling ekstrem dalam sejarah negara ini menghancurkannya dalam waktu tiga bulan," twit Lapid.
Aksi protes yang meluas di Israel, pada akhirnya memang membuat Netanyahu menangguhkan pemungutan suara atas rancangan undang-undang (RUU) reformasi peradilan. Namun, penolakan mayoritas rakyatnya tidak menghilangkan tekadnya.
Kritikus menilai ngototnya Netanyahu untuk mereformasi peradilan dilatarbelakangi oleh sejumlah kasus hukumnya yang tengah bergulir. Dugaan itu telah dibantah Netanyahu.
Saat ini Presiden Israel Isaac Herzog tengah berusaha mencari jalan tengah. Tetapi pejabat senior Israel menegaskan bahwa bagian dari reformasi peradilan berupa ketentuan yang memberi pemerintah lebih banyak kontrol atas pemilihan hakim tidak dapat diganggu gugat.
Sementara klausul lainnya, di mana parlemen akan dapat membatalkan keputusan Mahkamah Agung, kemungkinan besar dapat dikompromikan.
Dalam rekaman pernyataan bagi KTT Demokrasi yang diselenggarakan Gedung Putih pada Rabu pagi, Netanyahu mencoba memoles keretakan sembari tetap defensif.
"Saya ingin berterima kasih kepada para pemimpin dunia dan Presiden Biden, yang telah menjadi teman selama 40 tahun untuk mengadakan konferensi penting ini," katanya. "Anda tahu Israel dan AS Serikat kadang-kadang memiliki perbedaan, tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa aliansi antara demokrasi terbesar di dunia dan demokrasi yang kuat, bangga, dan mandiri –Israel– di jantung Timur Tengah, tak tergoyahkan, tidak ada yang bisa mengubah itu."
Advertisement