Liputan6.com, Dhaka - Wartawan dari surat kabar terkemuka di Bangladesh didakwa memproduksi berita palsu setelah sebuah artikel tentang tingginya harga pangan viral. Peristiwa ini kemudian memicu kekhawatiran tentang kebebasan pers di negara itu.
Shamsuzzaman Shams dijemput dari rumahnya di kota industri Savar di luar Dhaka sekitar pukul 04.00 waktu setempat oleh polisi berpakaian preman. Demikian menurut surat kabar tempatnya bekerja, Prothom Alo.
Baca Juga
Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan, Undang-Undang Keamanan Digital yang digunakan untuk mendakwa Shams, telah banyak digunakan oleh pemerintah untuk memberangus jurnalis dan kritikus.
Advertisement
Artikel yang dipublikasikan Prothom Alo pada Minggu (26/3/2023), menyertakan kutipan dari masyarakat yang bicara tentang kehidupan mereka bertepatan dengan momen hari kemerdekaan Bangladesh.
"Apa gunanya kebebasan ini jika kita tidak mampu membeli beras?" ujar seorang buruh dalam artikel tersebut seperti dilansir The Guardian, Kamis (30/3/2023).
Harga pangan dilaporkan melonjak di Bangladesh sejak pertengahan 2022 setelah invasi Rusia ke Ukraina. Mata uangnya, taka, dilaporkan jatuh tajam terhadap dolar Amerika Serikat.
Bangladesh Semakin Otoriter?
Menteri Dalam Negeri Bangladesh Asaduzzaman Khan membenarkan bahwa seorang wartawan diinterogasi polisi karena "berita palsu" yang diterbitkan pada akhir pekan.
"Dakwaan telah diajukan terhadapnya," kata Khan, menambahkan bahwa Shams akan dibebaskan dari tahanan tetapi dapat ditangkap lagi atas tuduhan tersebut.
Shams didakwa mencoreng citra pemerintah dengan berita palsu dan mengajukan pertanyaan tentang pencapaian Bangladesh di bawah Undang-Undang Keamanan Digital. Demikian menurut salinan berkas kasus yang diperoleh AFP.
Menurut think tank lokal, hampir 3.000 orang telah didakwa berdasarkan Undang-Undang Keamanan Digital sejak itu diberlakukan pada tahun 2018, termasuk sekitar 280 jurnalis.
Hal tersebut memicu kekhawatiran bahwa di bawah Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang berkuasa sejak tahun 2009, negara Asia Selatan berpenduduk 170 juta orang itu menjadi semakin otoriter.
Reporters Without Borders menempatkan Bangladesh di peringkat 162 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022, di bawah Rusia (155) dan Afghanistan (156).
Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah media dan jurnalis independen Bangladesh yang semakin berkurang semakin diserang oleh pemerintah dan partai berkuasa.
Pihak berwenang menutup satu-satunya corong oposisi pada Februari, dengan dalih melanggar undang-undang pers. Sementara itu, setidaknya 10 wartawan dipukuli polisi saat meliput pemilihan hakim Mahkamah Agung yang disengketakan di Dhaka.
Advertisement