Liputan6.com, Shanghai - Metropolis perkotaan paling padat di China kehilangan seperempat juta pekerja migran tahun lalu di tengah lockdown atau pembatasan ketat yang disebabkan oleh virus COVID-19, mengakibatkan total populasi Shanghai turun untuk ketiga kalinya sejak 2015, kata otoritas setempat pada Selasa, 28 Maret 2023.
Pusat ekonomi itu memiliki sekitar 24,76 juta orang pada 2022, turun 135.400 dibandingkan tahun 2021, menurut angka yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Shanghai.
Baca Juga
Sementara jumlah penduduk lokal sedikit meningkat, penurunan populasi dipengaruhi oleh eksodus pencari kerja dari daerah lain, bersamaan dengan tingkat kelahiran yang rendah dan populasi yang semakin menua, kata biro tersebut.
Advertisement
Melansir dari South China Morning Post, Jumat (30/3/2023), orang-orang berusia 65 tahun ke atas menyumbang 18,7 persen dari total populasi Shanghai, jauh di atas rata-rata nasional 14,9 persen.
Shanghai, yang mengalami lockdown seluruh kota selama dua bulan yang traumatis pada musim semi lalu, telah menyaksikan jumlah pekerja migrannya menurun dalam beberapa tahun terakhir, sejak sebelum pandemi.
Pada 2015, populasi Shanghai menurun untuk pertama kalinya dalam empat dekade akibat hilangnya 150.000 pekerja migran. Para ahli demografi dan analis mengaitkan hal itu dengan perubahan struktural dalam ekonomi kota karena sektor manufaktur padat karya menyusut sementara sektor lain seperti teknologi tinggi dan jasa tumbuh.
Penurunan populasi itu juga terjadi tujuh tahun sebelum populasi keseluruhan China mulai turun tahun 2022 lalu. Di tahun-tahun berikutnya, kota itu mengalami fluktuasi sedang, dengan populasi berkisar antara 24,5 juta dan 24,9 juta.
Tahun lalu, Shanghai juga kehilangan lebih dari 257.000 pekerja migran.
Tingkat Kelahiran Kota yang Rendah
Peng Xizhe selaku direktur Pusat Studi Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan di Universitas Fudan, mengaitkan penurunan populasi di Shanghai tahun lalu itu dengan mundurnya pekerja di sektor jasa seperti pariwisata dan restoran di tengah tindakan pengendalian kesehatan berskala besar di China.
Kini, ia mengatakan mereka sebagian besar telah kembali. Namun, ia memperingatkan bahwa tren keseluruhan akan berlanjut karena pencari kerja yang lebih muda memiliki lebih banyak pilihan di tempat lain di China.
"Kota-kota besar selalu menarik bagi kaum muda, tetapi sekarang mereka memiliki lebih banyak pilihan," jelas Xizhe.
"Kota-kota baru di wilayah tengah dan barat tidak buruk, dan biaya hidup lebih rendah," tambahnya.
Pihak berwenang Shanghai mengatakan tingkat kelahiran kota yang rendah adalah alasan mendasar di balik penurunan populasinya. Membandingkan total kelahiran dan kematian, Shanghai mengalami penurunan alami 1,6 orang untuk setiap 1.000, jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional 0,6 orang yang hilang per 1.000.
Advertisement
Harapan Hidup Shanghai Sekitar 83 Tahun
Orang yang tinggal di Shanghai juga hidup relatif lebih lama daripada rata-rata orang China di bagian lain.
Harapan hidup di kota ini sekitar 83 tahun, atau sekitar selama negara-negara yang berumur panjang seperti Norwegia dan Swiss.
Namun, Profesor Zheng Bingwen yang berfokus pada penuaan populasi dan jaminan sosial di Akademi Ilmu Sosial China, mengatakan layanan perawatan lansia masih tertinggal jauh dari laju penuaan, bahkan di kota-kota besar yang memiliki sumber daya paling banyak.
"Ketika keluarga semakin kecil dan semakin banyak orang tua yang tinggal jauh dari anak-anak mereka, fasilitas dan layanan publik, seperti rumah sakit dan katering, untuk orang-orang ini perlu ditingkatkan," desak Bingwen.
Meskipun telah melonggarkan kontrol populasi pada 2021 untuk memungkinkan orang memiliki tiga anak, sembari memperkenalkan insentif seperti cuti orang tua yang diperpanjang, mayoritas orang memilih untuk memiliki anak hanya ingin satu.
Sekitar 60 persen orang yang tinggal di Shanghai hanya menginginkan satu anak atau tidak sama sekali.
Pertama Kali dalam 19 Tahun, China Alami Krisis Demografis
Tidak hanya Shanghai, salah satu kota terbesar dan terluas yang juga terkenal dengan kepadatan populasinya, Beijing, akhirnya mengalami krisis demografis.Â
Sejak tahun lalu untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, populasi masyarakat di Beijing mengalami penurunan.
Melansir dari CNN, Kamis (23/3/2023), saat ini diketahui ibu kota China itu sedang bergulat dengan krisis demografis yang sedang berlangsung selama beberapa dekade ke belakang.
Populasi penduduk tetap Beijing diketahui menurun dari sebesar 21,88 juta pada 2021 menjadi sebesar 21,84 juta pada 2022, ini berarti penurunan populasi mencapai 84.000.
Sebelumnya, Beijing merupakan kota yang ramai oleh migran, masyarakat pedesaan banyak yang datang ke kota untuk bekerja.
Namun, jumlah migran di Beijing yang datang dari pedesaan ternyata juga menurun pada 2022.Â
Terakhir kali Beijing memperlihatkan lebih banyak angka kematian daripada angka kelahiran adalah pada 2003, ketika wabah sindrom pernafasan parah (SARS) yang fatal muncul di China selatan dan akhirnya menginfeksi lebih dari 8.000 orang di seluruh dunia.
Advertisement