Sukses

Anaknya Ditembak hingga Tewas, Seorang Ibu di Atlanta Malah Maafkan Pelaku Pembunuhan

Seorang ibu dari Atlanta, Georgia, AS bernama Tiffany Marsh memutuskan untuk memaafkan pembunuh putranya meski penyelidikan kasus belum selesai.

Liputan6.com, Atlanta - Tiffany Marsh mendapatkan telepon dari Polisi Atlanta pada Jumat (17/4/2023) malam dan memintanya untuk datang ke Children's Healthcare of Atlanta di Hughes Spalding untuk menjemput cucunya yang berusia 10 bulan.

"Di mana anakku?", tanya Marsh berulang kali dengan panik.

"Saya bertanya kepada mereka 'Di mana putra saya?'. Karena putra saya tadi bersamanya."

Saat itulah seorang detektif harus menyampaikan kabar memilukan bahwa putranya, Julian Kolb yang berusia 20 tahun, telah meninggal. Petugas menemukan cucunya masih duduk di kursi belakang mobil putranya di Allegheny Street di barat daya Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS).

"Saya berteriak. Saya menangis," kata Marsh, dikutip dari FOX 5, Senin (3/4/2023).

"Saya tidak bisa tiba di Hugh Spalding dengan cukup cepat."

Hingga saat ini, Marsh mengaku masih belum mengetahui apa yang terjadi pada putranya yang menjadi mahasiswa di Georgia State. Petugas masih menyelidiki kasus tersebut.

Polisi Atlanta memberi tahu FOX 5 bahwa Kolb ditembak sekitar pukul 17.30 waktu setempat di lingkungan yang biasanya sepi. Putri Kolb ada di kursi belakang kala itu.

Kini, Marsh ada punya pertanyaan untuk pembunuh yang menembak putranya.

"Hal pertama yang akan saya katakan adalah 'Mengapa? Mengapa Anda mengambil nyawa putra saya? Apa yang ia lakukan begitu buruk sehingga Anda harus mengambil nyawanya?'. Dan saya juga meminta 'Tolong agar Anda menyerahkan diri'," ucapnya.

"Ia (Kolb) adalah seorang putra. Ia adalah seorang ayah. Ia adalah seorang siswa. Ia dicintai. Ia memiliki pekerjaan," lanjutnya.

Marsh menjadi sangat emosional pada saat wawancara. Meski kasus masih dalam penyelidikan, ia mengatakan bahwa ia telah memaafkan siapa pun yang telah membunuh putranya.

Sejauh ini, polisi juga belum melakukan penangkapan.

2 dari 4 halaman

Keluarga dan Teman-teman Adakan Acara Kehormatan Kolb

Keluarga dan teman-teman Kolb berkumpul di Central Park Atlanta untuk melepaskan balon putih. Orang-orang terkasih menahan air mata saat mengingat kehidupan Julian Kolb yang masih berusia 20 tahun.

"Putra yang luar biasa, ayah yang baik, murid yang baik. Orang yang luar biasa yang tidak pantas mati," kata seorang teman keluarga kepada FOX 5.

"Ia diambil dari keluarganya. Ia diambil dari teman-temannya."

Satu per satu, teman-teman yang menghadiri acara kenang-kenangan berbicara tentang siapa Kolb.

"Yang paling saya suka dari ia adalah senyumnya. Ia suka cekikikan dan senyum," kata teman lainnya.

Sementara mereka menunggu jawaban dalam kasus tersebut, orang-orang terkasih mengingat keinginan atau cita-cita Kolb untuk menjadi terapis fisik, kecintaannya pada musik, dan cinta tidak terbantahkan yang ia miliki untuk putrinya.

Pengaturan pemakaman untuk Julian telah ditetapkan. Ibunya berkata ia ingin merahasiakan rencana itu.

Marsh juga memohon kepada siapa pun yang memiliki informasi terkait pembunuhan putranya untuk menghubungi Detektif Polisi Atlanta sesegera mungkin.

3 dari 4 halaman

Kisah Ibu yang Peluk dan Maafkan Pembunuh Anaknya di Ruang Sidang

Tidak hanya hati sang ibu seperti Tiffany Marsh yang harus merasakan kepergian putranya, begitu juga Rukiye.

Rukiyeini memilih untuk mengikhlaskan segalanya, menganggap kematian putranya yang bernama Suliman Abdul-Mutakallim adalah kehendak sang pencipta.

Tidak hanya itu, ibunda Suliman Abdul-Mutakallim bahkan memutuskan untuk memaafkan pembunuh sang putra. Di ruang sidang, ia melakukan sesuatu yang menurut para veteran di ruang sidang belum pernah mereka lihat: memeluk sang pembunuh.

Di persidangan, Rukiye justru tidak tampak marah saat bertatapan dengan pembunuh sang anak. Ternyata hal itu karena ia memilih untuk memaafkan dengan tidak ada rasa dendam, dan bahkan menawarkan untuk memeluk Javon.

Rukiye pun menyatakan akan mengunjungi para pelaku di penjara secara teratur dan membantu mereka menjadi orang yang lebih baik.

"Mereka telah terinfeksi oleh suatu penyakit, tetapi masih muda. Mereka bisa disembuhkan," kata Rukiye.

Menurut Rukiye juga, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Hal itu nyatanya tidak akan membuat sang putra hidup kembali.

Rukiye mengatakan pembunuh putranya adalah anak-anak muda yang masih memiliki ibu, sama seperti dirinya.

"Para pemuda itu, meskipun mereka mengambil nyawa putra saya, kita harus berjuang untuk mereka. Karena mereka akan keluar (dari penjara) kembali. Dan mereka akan beranjak dewasa. Namun, jika mereka tidak memiliki harapan, maka penyakit yang sama ini akan terulang kembali dan mereka akan mengambil nyawa anak orang lain dan akhirnya nyawa mereka sendiri," ucap Rukiye.

Baca selebihnya di sini... 

4 dari 4 halaman

Pria Ini Maafkan Pembunuh 12 Kerabatnya hingga Minta Pengurangan Hukuman

Kisah seseorang memaafkan sang pembunuh yang telah merenggut nyawa keluarganya juga datang dari Wilhelm Hamelmann. 

Lilli Heinemann menceritakan kisah bagaimana 12 kerabat kakeknya, Wilhelm Hamelmann, dibunuh di malam yang sama. 

Melansir The Guardian, Selasa (31/1/2023), Lilli bercerita bahwa kejadian tersebut terjadi pada 20 November 1945 di pertanian mereka di Blockland, di pinggiran Bremen, Jerman.

Wilhelm adalah satu-satunya yang selamat. Bertahun-tahun kemudian setelah tragedi tersebut, ia memulai keluarga kedua.

Pembunuhan itu turun dalam sejarah sebagai "The Blockland Murder" dan menjadi subjek liputan pers pada saat itu dan juga pada 1960-an ketika persidangan para pelaku pembunuhan.

Wilhelm saat itu berusia 43 tahun dan tinggal bersama keluarganya di lingkungan terpencil Blockland.

Wilhelm berada di rumah bersama mertuanya, Wilhelm dan Meta Flothmeier; orang tuanya, Heinrich dan Berta Hamelmann; istrinya, Margaret; keempat anak mereka, Ruth, Martha, Lieschen dan Willi; seorang pengunjung bernama Beta Gerdes; pembantu, Meta Howald; dan buruh tani, Fritz Heitmann.

Seluruhnya berjumlah 13 orang dan mereka menghabiskan malam bersama kemudian pergi tidur sekitar jam 10 malam.

Sayangnya, seorang penyusup datang dan membunuh mereka semua, termasuk Wilhelm. Hebatnya, Wilhlem selamat dan mampu kabur dari rumahnya.

Pada 1967, lebih dari 20 tahun setelah pembunuhan, Wilhelm menemukan bahwa seorang jurnalis telah berbicara dengan tiga narapidana penjara Hamburg-Fuhlsbüttel, Czeslaw Godlewski, Michael Srocki, dan Marjan Oboza. Mereka adalah tiga orang yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dinyatakan bersalah karena mengambil bagian dalam perampokan tetapi tidak melakukan penembakan.

Permohonan grasi para pria telah berulang kali ditolak. 

Wilhelm kemudian memutuskan untuk mengunjungi para tahanan. Pada 8 April 1967, ia berbicara dengan Godlewski dan Oboza. Narapidana ketiga, Srocki, menolak untuk berbicara.

Kedua pria itu dibawa untuk menemui Wilhelm di suatu ruangan, satu per satu. Godlewski bersikap defensif, yakin Wilhelm tidak akan bisa membantunya. Sementara Oboza tidak mengerti mengapa Wilhelm mengunjunginya, dan mengakui dirinya tidak bisa tidur malam dengan tenang.

Setelah pertemuan Wilhelm dengan Godlewski dan Oboza, ia menulis dalam sebuah surat tertanggal 29 April 1967 dan mengirimnya kepada duta besar AS, meminta agar kedua pria itu diampuni.

"Saya sekarang telah mengunjungi Godlewski di penjara Fuhlsbüttel dan mengatakan kepadanya bahwa saya telah memaafkannya. Jika ia diampuni, saya berharap untuk menerimanya dan mempekerjakannya sebagai petugas kebersihan di panti jompo pribadi yang saya miliki," tulis Wilhelm.

Baca selebihnya di sini...