Liputan6.com, Manchester - Memaafkan pelaku pembunuhan putranya sendiri tidak pernah menjadi hal yang mudah bagi wanita ini.
Figen Murray adalah ibu dari Martyn Hett, salah satu dari 22 orang yang terbunuh dalam serangan teroris di Manchester Arena pada 22 Mei 2017 lalu.
Baca Juga
Melansir The Spectator, Selasa (4/4/2023), diketahui bahwa kehilangan putra dalam ledakan bom telah mengguncang kehidupan Murray. Kehidupannya berubah total, kebahagian bersama sang putra terenggut seketika.
Advertisement
Sehari-hari Murray yang bekerja sebagai psikoterapis sibuk dengan praktik pribadinya. Selain itu, kehidupan rumah tangganya pun tak kalah sibuk dengan lima anak, empat cucu, dan satu rumah yang harus diurusnya.
Ia memang cukup sibuk, tapi Murray menikmatinya, hingga kejadian tragis itu mengubah dan membalikkan seluruh kebahagiaannya. Murray mati rasa, syok, dan semenjak itu rasa ketidakpercayaan telah kehilangan salah satu buah hati, telah mengambil alih dirinya.
Tiga hari setelah ledakan bom bunuh diri Salman Abedi yang merenggut nyawa putranya, menjadi kali pertama Murray melihat wajah sang pembunuh putranya.
"Saya terkejut dengan usianya yang masih muda. Salman Abedi berusia 22 tahun; tujuh tahun lebih muda dari Martyn," kata Murray dalam tulisannya yang dimuat di The Spectator.
Murray bercerita, beberapa minggu berikutnya, ia banyak merenungkan apa yang terjadi pada hari tragedi itu, ia bertanya-tanya alasan dari serangan tersebut.
Empat minggu setelah serangan teroris itu, Murray memutuskan untuk tampil di TV nasional untuk secara terbuka menyatakan bahwa ia memaafkan teroris itu.
"Orang-orang menyebut saya tertipu, gila, atau pura-pura," ucap Murray.
"Tetapi, saya tahu persis apa yang saya lakukan. Keputusan untuk memaafkan itu penting dengan mempertimbangkan banyak alasan," tambahnya.
Alasan Memaafkan Pembunuh Anaknya
Setelah serangan bom bunuh diri di Manchester, Islamofobia meningkat hingga 300 persen di Greater Manchester.
Sebagai seorang ibu dari seseorang yang terbunuh dalam serangan itu, Murray merasa memiliki kesempatan untuk memutus lingkaran kebencian di hidup dan tinggal dengan memaafkan pelaku, Salman Abedi di depan umum.
Namun, alasannya tak hanya itu. Murray juga mengaku bahwa dengan memaafkan pembunuh anaknya, ia dapat melanjutkan hidup dengan lebih tenang.
Murray adalah seorang ibu, istri, nenek, dan pengurus rumah. Banyak yang membutuhkannya, "Saya memiliki banyak peran lain yang saya butuhkan untuk terus berfungsi."
"Memaafkan memungkinkan saya untuk terus melakukan hal itu," katanya.
Dengan mengampuni teroris itu, Murray merasa bahwa ia akhirnya terlepas dari lingkaran kemarahan dan kebencian, dua beban yang cukup berat untuk dipikul.
"Beban-beban itu yang akan menutup hati saya untuk cinta, kebaikan, harapan, dan kepositifan," tulisnya.
Bagi Murray, pengampunan bukanlah tentang melupakan atau memaafkan apa yang terjadi, "Itu tidak memaafkan pembunuh anak saya."
"Bukan juga untuk mengurangi kesedihannya, atau sarana untuk menyembunyikan dan menekan amarah."
Murray sebenarnya tidak pernah marah terhadap teroris, baginya Abedi mempertaruhkan nyawanya demi “pelaku” yang sebenarnya, pelaku yang menjerumuskannya.
Wanita itu lebih memilih percaya bahwa Salman Abedi hanya mengikuti ideologi atau kepercayaan yang menurutnya benar.
"Saya tidak pernah marah kepada Abedi, pemuda, teroris, bocah bodoh yang membiarkan jiwanya dibajak oleh iblis," ucap Murray.
Advertisement
Keputusan Terbaik Bagi Sang Ibu
Keputusan Murray untuk memaafkan Abedi, teroris pembunuh anaknya, bukan karena mempertimbangkan bocah itu, atau pun karena termotivasi suatu pandangan agama.
Murray melakukannya untuk dirinya sendiri, ia perlu melindungi hatinya agar tidak terus menerus tersandera oleh apa yang telah terjadi, dan tidak bisa diubah.
Sang ibu ingin kematian anaknya tidak ternodai oleh kemarahan dan kebencian.
"Martyn baik dan dia mencintai banyak orang. Seandainya saya membiarkan diri saya dikuasai oleh amarah dan kebencian, saya akan menjadi sesuatu yang bukan seperti Martyn," jelasnya, masih dalam tulisan itu.
Pengampunan itu penting bagi Murray, setelahnya Murray yakin bahwa ia akan segera menempuh jalan yang bebas dari kebencian, kemarahan, sakit hati, keinginan untuk balas dendam, dan berbagai emosi negatif lainnya.
Setelah memaafkan Abedi, Murray merasa lebih mencintai, lebih hidup, lebih peduli, lebih menghargai, lebih otentik, dan lebih damai.
"Meskipun kesedihan saya sangat menyakitkan, memaafkan adalah apa yang saya pilih, dan itu adalah keputusan terbaik dan terpenting yang pernah saya buat," tutupnya.
Salman Abedi Si Pelaku Bom Bunuh Diri
Salman Abedi, tersangka pelaku bom bunuh diri ledakan Manchester yang menewaskan 22 orang dan melukai 59 lainnya, turut tewas dalam ledakan itu.
Abedi adalah pemuda berusia 23 tahun berkebangsaan Inggris dan merupakan keturunan Libya. Ia lahir di Manchester dan tumbuh dengan tiga saudaranya.
Menurut laporan The Sun, badan intelijen Inggris menyelidiki laporan bahwa Abedi pernah menyelinap ke Suriah saat mengunjungi sejumlah kerabat di Libya dalam beberapa tahun terakhir.
Rumahnya yang berada di pinggiran Manchester, yakni Fallowfield, adalah satu dari dua rumah yang digerebek polisi sehubungan dengan ledakan Manchester.
Dikutip dari News.com.au, pada 24 Mei 2017, bagi orang luar Abedi dipandang sebagai orang yang pendiam di keluarganya. Menurut Daily Beast, kakaknya Ismael dikenal lebih suka berbicara. Sementara itu saudara perempuannya, Jomana, dikenal karena akun sosial medianya yang glamor.
Tetangganya menyebut bahwa Abedi yang belajar bisnis dan manajemen di Salford University sebelum di dropout, telah memanjangkan jenggotnya dalam 12 bulan terakhir dan bertingkah aneh.
"Beberapa bulan lalu ia (Abedi) melantunkan kalimat tauhid sangat nyaring di jalan dalam Bahasa Arab," ujar tentangganya, Lina Ahmed, kepada The Sun.
Sementara itu tetangga lainnya, Leon Hall, mengatakan bahwa Abedi memiliki masalah dengan perilakunya.
Ledakan Manchester yang terjadi sekitar pukul 22.30 pada 22 Mei 2017, terjadi di tengah konser Ariana Grande yang digelar di Manchester Arena.
Usai ledakan Manchester, tingkat ancaman teror di Inggris telah dinaikkan ke level tertinggi menjadi 'kritis'. Menurut Perdana Menteri saat itu, Theresa May, hal tersebut berarti, terdapat kemungkinan serangan lanjutan mungkin sudah dekat.
Langkah tersebut dilakukan setelah penyidik tak dapat memutuskan apakah tersangka ledakan Manchester, Salman Abedi, bertindak sendiri atau tidak. Ini merupakan ketiga kalinya Inggris memberlakukan tingkat ancaman teror pada level kritis.
Sementara itu kelompok radikal ISIS mengklaim pihaknya yang berada di balik ledakan Manchester. Namun, hal tersebut belum dapat diverifikasi.
Advertisement