Sukses

Survei Ungkap Warga Amerika Serikat Lebih Takut pada Serangan Siber Dibanding Serangan Nuklir

Beberapa ahli menilai bahwa ketakutan nasional warga Amerika Serikat terhadap serangan siber sudah berlebihan.

Liputan6.com, Washington - Warga Amerika Serikat (AS) menilai bahwa serangan siber adalah ancaman terbesar yang dihadapi negara itu, bahkan dibanding senjata nuklir sekalipun. Hal tersebut terungkap melalui jajak pendapat baru-baru ini yang dilakukan Gallup pada tahun 2023 dan Pew Research pada tahun 2022.

"Kita tahu bahwa semua kelompok teroris merekrut ahli komputer muda," ungkap profesor dan direktur program keamanan dunia maya di Universitas George Washington Scott White, seperti dilansir The Hill, Selasa (11/4/2023). "Ini bukan lagi soal bom, tapi 'Bisakah Anda meluncurkan serangan siber untuk melawan AS?"

Dalam jajak pendapat Gallup, yang dirilis Maret 2023, 84 persen responden menilai terorisme siber sebagai ancaman kritis. Momoknya melampaui terorisme internasional, pemanasan global, konflik Rusia versus Ukraina, dan program nuklir Iran.

Sementara itu, survei Pew Research yang dipublikasikan pada Juni 2022 mengungkapkan, 71 persen warga AS menilai serangan siber dari negara lain sebagai ancaman utama dibanding pengaruh China atau Rusia, pemanasan global, dan penyakit menular. Tidak seperti Gallup, Pew Research tidak merujuk secara spesifik ke ancaman nuklir.

"Ini adalah hal baru. Orang-orang takut pada teknologi, terutama ketika mereka tidak memahaminya," ujar Wakil Presiden Senior Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS).

Beberapa ahli, termasuk Lewis, merasa bahwa ketakutan nasional terhadap serangan siber sudah berlebihan.

"Rusia atau China tidak akan melakukan serangan siber kecuali mereka menganggap perang sudah dekat," tutur Lewis.

Jason Blessing dari Jeane Kirkpatrick Visiting Research Fellow di American Enterprise Institute mengungkapkan bahwa desentralisasi mendasar dari internet menjadikannya target yang rumit untuk serangan siber.

"Memang ada kerentanan mikro, tetapi hampir tidak mungkin melumpuhkan semuanya," kata dia.

Tindakan terorisme siber dan kejahatan siber disebut terdokumentasi dengan baik. Beberapa insiden menunjukkan adanya kaitan dengan kelompok teror yang disponsori negara atau bahkan lembaga pemerintah, namun sulit untuk disalahkan.

Beberapa teror siber dan kejahatan siber yang mencolok antara lain:

  • Pada tahun 2020, pejabat AS menuduh Rusia meretas jaringan komputer Kementerian Kehakiman dan Luar Negeri AS, NASA, dan banyak perusahaan Fortune 500, melalui perangkat lunak yang disusupi. Peretasan yang disebut SolarWinds itu tidak terdeteksi selama berbulan-bulan.
  • Pada tahun 2013, menurut sejumlah jaksa federal, peretas Iran berusaha mengambil kendali Bendungan Bowman, di Oregon, AS. Aksi itu disebut sebagai bagian dari kampanye terorisme dunia maya yang lebih luas yang meretas lusinan lembaga keuangan AS selama berbulan-bulan.
  • Pemerintah Georgia menuduh Rusia mengoordinasikan serangkaian serangan jaringan komputer sebelum dan selama konflik 2008 antara kedua negara. Rusia membantah terlibat. Serangan siber menonaktifkan banyak situs web pemerintah.
  • Invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, menurut laporan NPR, disertai dengan serangan siber Rusia yang menargetkan jaringan listrik negara dan situs pemerintah. Ukraina sebagian besar disebut mampu melawannya.
2 dari 2 halaman

Ahli: Serangan Siber Bisa Picu Kematian

Profesor di School of Cybersecurity and Privacy Georgia Tech Richard DeMillo tidak setuju dengan teori bahwa tidak ada yang tewas dalam serangan siber. Dia mengutip lonjakan serangan ransomware di pusat medis selama pandemi COVID-19, dengan peretas merebut jaringan rumah sakit dan meminta uang untuk menormalkannya.

"Dan kematian dikaitkan dengan serangan itu," kata DeMillo, merujuk pada tertundanya perawatan hingga mengakibatkan pasien meninggal.

Lebih lanjut, DeMillo menilai bahwa kejahatan siber individu adalah bagian dari serangan siber dan spionase siber luas, yang melibatkan korporasi dan lembaga pemerintah.

"Iran, Korea Utara, China, dan Rusia menghabiskan satu triliun dolar dalam membangun jenis pengintaian yang diperlukan untuk melakukan serangan semacam itu," sebut DeMillo. "Karena itu yang mereka dapatkan harus berlipat."

DeMillo mengutip Badan Riset Internet Rusia, yang digambarkan oleh laporan ProPublica sebagai "jaringan troll berbayar". Salah satu proyeknya diduga upaya memengaruhi hasil pemilu AS 2016.

"Campur tangan Rusia (dalam pemilu AS 2016) bukan hoaks," ujar Lewis. "Rusia mencoba, tetapi itu tidak berpengaruh apa-apa."

Ketakutan utama, bagi sebagian warga AS, dilaporkan adalah bahwa teroris dunia maya suatu hari akan memicu kehancuran pada pembangkit listrik tenaga nuklir atau membuka gerbang bendungan.

"Jika saya dapat mengontrol Bendungan Hoover dari komputer di Iran dan tiba-tiba pada pukul 03.00 saya membuka bendungan dan mengosongkan air, berapa banyak orang yang dapat saya bunuh?" kata White.

Namun, skenario seperti itu dinilai tidak mungkin terjadi.

"Seseorang masih harus menekan tombolnya langsung atau memutar engkol," ujar White. "Hal semacam itu merupakan penyelamat. Kita tidak memiliki konektivitas mutlak dari perangkat lunak ke perangkat keras. Namun, pada akhirnya (tindakan manual) itu tetap akan hilang."

Presiden Joe Biden telah menjadikan keamanan dunia maya sebagai pusat Strategi Keamanan Nasional.

"Pemerintahan sekarang ini telah melakukan lebih dari pendahulunya untuk meningkatkan keamanan siber," ungkap Lewis. "Ada target-target utama yang perlu dijaga lebih ketat. Kita tidak ingin listrik padam dalam krisis. Tapi secara umum, kita jauh lebih tidak rentan dibanding beberapa tahun lalu."

Dan tentu saja dunia menghadapi banyak bahaya selain serangan siber. Salah satunya, perang nuklir.

Peter Kuznick, seorang profesor sejarah dan direktur Institut Studi Nuklir di Universitas Amerika, percaya bahwa bahaya perang nuklir lebih besar sekarang dibanding saat invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Tetapi ancaman nuklir, kata Kuznick, adalah sesuatu yang tidak ingin dipikirkan orang.