Sukses

Kenapa Orang Jepang Tidak Mau Menikah? Duta Besar: Mereka Lebih Suka Tetap Single dan Menikmati Hidupnya

Isu kurangnya angka kelahiran di Jepang kerap menjadi sorotan media internasional.

Liputan6.com, Jakarta - Isu kelahiran anak di Jepang kerap menjadi sorotan media internasional. Pasalnya, generasi muda di Jepang ogah nikah dan punya anak. 

Muncul pula kabar bahwa sekolah-sekolah di Jepang tutup karena kekurangan murid. 

Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji mencoba menjelaskan apa yang terjadi di negaranya. Ia membenarkan bahwa anak muda zaman now ogah menikah, meski ia menyebut istilah "penutupan" sekolah tidak tepat. 

Dubes Kenji menyebut angka kelahiran Jepang adalah 1,4 per perempuan. Angka itu lebih rendah dari Amerika Serikat (1,6), Indonesia (2,2), atau Jerman (1,5) -- berdasarkan data Bank Dunia per 2020.

Menurut pandangan Dubes Kenji, para pemuda Jepang nyaman hidup sendiri sehingga merasa repot jika menikah dan punya anak.

"Saya tidak sepenuhnya tahu, tetapi anak-anak muda membentuk kehidupan mereka sebagai orang single. Mereka menikmati hidup mereka. Mereka merasa repot kalau punya anak, karena dengan menikah, punya anak, mereka harus mengubah keseluruhan hidup mereka," ujar Dubes Jepang Kanasugi Kenji saat acara iftar di rumah dinasnya, Jakarta, Jumat (14/4/2023).

"Jadi mereka lebih suka tetap single dan menikmati hidupnya. Mungkin. Itu tebakan saya. Saya terlalu tua untuk mengetahui perasaan anak-anak muda," ia menambahkan.

Dubes Kenji menyebut pemerintah Jepang terus berusaha agar para pemuda negaranya mau untuk menikah. Pada 2020, Kyodo News melaporkan bahwa pemerintah Jepang memang telah menawarkan skema bantuan finansial bagi orang-orang yang baru menikah.

Terkait isu sekolah, Dubes Jepang menilai istilah "penutupan" kurang tepat, sebab sekolahnya sebetulnya digabung, meski jumlah sekolah Jepang memang berkurang.

"Banyak sekolah-sekolah Jepang bukannya tutup, tetapi bergabung. Dan dua sekolah bergabung jadi jadi. Jadi angka sekolah berkurang. Kami mencoba melakukan hal terbaik untuk menambah tingkat kelahiran, mendorong anak-anak muda untuk punya lebih banyak anak," ujarnya.

2 dari 4 halaman

Masalah Sama di Korea Selatan

Sebelumnya dilaporkan, Korea Selatan kembali alami krisis demografis setelah data baru ungkap rendahnya tingkat kesuburan di negara yang dijuluki negeri ginseng ini. Menurut statistik yang dirilis baru-baru ini oleh Statistik Korea, terdapat 249.000 bayi yang lahir pada 2022 silam.

Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 4,4 persen dari tahun-tahun sebelumnya dan mencatat bahwa ini merupakan tahun ketiga secara berturut-turut angka kematian telah melampaui angka kelahiran di negara ekonomi keempat terbesar di Asia tersebut.

"Jumlah rata-rata bayi yang diharapkan per wanita Korea Selatan selama masa reproduksinya turun menjadi 0,78 pada tahun 2022, turun dari 0,81 setahun sebelumnya," kata laporan tersebut, dilansir dari Al Jazeera pada Sabtu (25/02/2023).

Ini merupakan rekor terendah yang pernah dialami sejak 1970, menjadikan Korea Selatan satu-satunya negara di dunia dengan tingkat kesuburan di bawah satu.

Tercatat bahwa populasi Korea Selatan mulai menurun untuk pertama kalinya pada 2021, dan diproyeksikan akan turun lebih jauh menjadi 38 juta pada 2070.

Lebih lanjut, para ahli mengatakan angka kelahiran harus mencapai setidaknya 2,1 untuk menjaga populasi negara itu stabil dengan 52 juta jiwa.

Tingkat kelahiran yang anjlok memicu kekhawatiran bahwa populasi yang menurun dapat sangat merusak ekonomi Korea Selatan karena kekurangan tenaga kerja serta membengkaknya anggaran kesejahteraan sebab jumlah lansia meningkat dan pembayar pajak menyusut.

Dana yang dikeluarkan untuk anggaran pensiun dikhawatirkan akan menguras ekonomi negara tersebut dalam beberapa dekade mendatang.

3 dari 4 halaman

Kelahiran di China Juga Jadi Sorotan

Angka pernikahan di China merosot dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, angka pernikahan hanya 11,8 juta di China yang memiliki populasi lebih dari 1 miliar.

Berdasarkan laporan Global Times pada Desember 2022, angka pernikahan pada 2021 adalah yang terendah dalam 37 tahun terakhir.

Angka 11,8 juta itu menghitung warga yang baru pernah pertama kali menikah. Data itu dikutip situs berita bisnis Yicai.com dari Biro Statistik Nasional di China. Orang-orang yang mendaftarkan pernikahan pertama mereka turun 708 ribu dari tahun sebelumnya.

Angka pernikahan pertama yang tertinggi dengan angka 987 ribu orang ada di Provinsi Guangdong, kemudian diikuti Provinsi Henan dengan 921 ribu.

Angka tertinggi pernikahan pertama terjadi di tahun 2013 ketika ada 23,86 juta orang menikah. Selama delapan tahun terakhir, angka pernikahan pertama jatuh hingga 51,5 persen.

Sejumlah faktor yang dianggap memicu hal ini adalah usia pernikahan, terlambat menikah, tekanan ekonomi, dan adanya perubahan sikap terkait pernikahan.

Data resmi menunjukkan rata-rata pernikahan pertama di tahun 2020 adalah 28,67 tahun. Itu lebih tua dari tahun 2010, yakni 24,89 tahun.

Ahli demografi Song Jian dari Universitas Renmin menyebut penundaan pernikahan terjadi karena anak muda ingin sekolah lebih tinggi dan berusaha mencapai stabilitas profesional sebelum menikah.

Faktor lainnya adalah pandemi COVID-19 yang membuat orang sulit bertemu, serta naiknya ongkos mengurus anak, sehingga generasi muda di China khawatir.

Song berkata sejumlah solusinya adalah membolehkan warga memiliki tiga anak dan mengizinkan mahasiswa untuk menikah. Ia juga menyarankan pembangunan rumah sewa biaya rendah dan meninggalkan budaya hadiah pernikahan yang mahal.

4 dari 4 halaman

Pandemi COVID-19 Bikin Orang Jepang Ogah Nikah

Jumlah orang Jepang yang menikah di tahun 2022 diprediki berkurang karena dampak COVID-19. Faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah kurang waktu sosialisasi dan urusan keuangan. 

Dilansir Kyodo, Selasa (9/8/2022), jumlah pernikahan tahun ini diperkirakan akan 150 ribu lebih sedikit dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa membuat jumlah bayi yang lahir berkurang 234 ribu jika tingkat pernikahan tidak pulih.

Temuan itu berasal dari studi oleh Asako Chiba, postdoctoral fellow di Tokyo Foundation for Policy Research dan Taisuke Nakata, associate professor di University of Tokyo. 

Stres finansial yang bertambah disebut berpengaruh pada rendahnya angka pernikahan di Jepang. 

Mereka menyebut angka pernikahan di tahun 2020 adalah sekitar 526 ribu, sekitar 50 ribu lebih rendah dari proyeksi. Sementara, angka tahun 2021 adalah 501 ribu. Angka itu 63 ribu lebih rendah dari perkiraan.

Turunnya angka pernikahan tersebut diprediksi berlanjut di 2022, meski ada tanda-tanda pemulihan. Total pernikahan diperkirakan mencapai 515 ribu, sekitar 38 ribu lebih rendah dari perkiraan.

"Dampak sosial dan ekonomi dari virus corona butuh waktu untuk bermanifestasi," ujar Chiba. "Pembuat kebijakan perlu mengenali krisis yang secara tegas mendekat." 

Angka pernikahan tahunan di Jepang terus turun sejak memuncak pada 1 juta pernikahan di awal 1970-an. Angka kelahiran juga terus menurun. Pada 2021, angka kelahiran baru adalah 810 ribu dibanding 2 juta kelahiran pada tahun 1973.