Liputan6.com, Jakarta - Jika berbicara tentang role model transisi energi hijau global, salah satu negara Nordik muncul di posisi teratas. Denmark diketahui dalam beberapa tahun terakhir menjadi pemimpin dan panutan dalam transisi energi hijau global.
Negara tersebut diketahui telah berhasil mengurangi greenhouse gas (GHG) atau emisi gas rumah kaca sejak 2010. Prosesnya terpantau berjalan lebih cepat daripada rata-rata negara lain di Uni Eropa (UE).
Baca Juga
Hal itu menyiratkan betapa ambisiusnya Denmark untuk menangani krisis iklim.
Advertisement
"Denmark menanggapi isu perubahan iklim seperti sebuah agama. Mereka bukan orang yang religius tapi jika menyangkut perubahan iklim, itu adalah sesuatu yang membuat mereka terobsesi," ucap pendiri FPCI, Dino Patti Djalal dalam workshop perdana Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) yang digagas FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta bertajuk "Net-Zero Emissions 101" beberapa waktu lalu.
"Contohnya adalah output ekonomi berlipat ganda tapi konsumsi energi masih sama. Biasanya di negara lain output ekonominya meningkat tapi juga konsumsi energinya. Jika Anda pergi ke Denmark maka orang-orang akan mengendarai sepeda dan udaranya bersih dan mereka sangat serius dengan isu krisis iklim," sambung mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu.Â
Seperti diketahui, krisis iklim sejatinya adalah masalah nyata yang dihadapi Bumi. Kendati demikian, masih ada yang tak menyadari dampaknya.
"Tapi kalau sudah banjir rumahmu tenggelam baru merasa ada dampaknya," ujar Arie Rostika Utami, Climate Communication Specialist di Yayasan Indonesia, CERAH.
Sementara Head of Energy Sector Cooperation dari Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, August Axel Zachariae, mengatakan kehadiran manusia tak dapat disangkal telah mendorong perubahan iklim global di dunia.
"Kita dapat melihat selama beberapa dekade terakhir ini bahwa kita mengalami suhu yang kian hangat yang telah kita alami selama lebih dari periode 150 tahun, dan kami tidak melihat tanda-tanda penurunan tren itu," ujar August.
Contoh lainnya, sambung August, "Kita melihat bahwa suhu permukaan global mengalami penurunan sebesar 1,1 derajat Celcius dibandingkan dengan yang kita alami 150 tahun lalu. Dan ketika kita melihat angka-angka ini, kedengarannya sedikit hanya satu derajat tapi sungguh ada perbedaannya."
Contoh konkret di wilayah Denmark yakni Greenland, tutur August, terjadi pencarian es seperti di Kutub Utara dan selatan. Pencairan es juga berkontribusi sangat besar terhadap naiknya permukaan laut yang bisa berdampak hingga ribuan kilometer.
"Sejumlah tempat seperti Jakarta menjadi salah satu ibu kota di dunia yang terancam karena kondisi cuaca yang meningkat dan permukaan laut yang bertambah. Sejumlah tempat di Indonesia terancam semakin kekeringan yang mengancam populasi lokal terhadap akses ke makanan dan sejumlah hal lain," ungkap August.
Jadi, menurut August, "Kita benar-benar dalam situasi di mana keterlibatan terhadap apa yang paling penting untuk mengamankan dunia yang kita tinggali dan wariskan untuk anak-anak kita dan anak-anak mereka. Kelangsungan hidup untuk berfungsi seperti yang kita alami dan tumbuh dewasa bergantung pada tindakan yang kita ambil hari ini dan selama beberapa dekade mendatang."
Mengapa Denmark Penting Terkait Transisi Hijau?
Denmark diketahui memiliki ambisi global untuk mengatasi perubahan iklim dan menuju transisi hijau yang tengah 'ditularkan' ke seluruh dunia.
Negara yang mewakili 0,07 persen dari populasi global itu telah sukses melakukan upaya transisi hijau dan mendapat manfaat di balik proses tersebut.
"Kami sudah menempuh perjalanan yang sangat jauh di Denmark. Dan tentu saja, menurut saya beberapa pencapaian utama kami adalah bahwa tahun 2022 lalu lebih dari 60 persen daya di jaringan listrik kami di Denmark berasal dari angin dari matahari," tutur August.
"Dan kami juga masih menjadi salah satu negara dengan ketahanan energi tertinggi di Eropa. Jadi kami sungguh mengatur hubungan sebagian besar energi terbarukan di masyarakat kami, tanpa mempersulit kehidupan masyarakat dan ketahanan pasokan energi."
"Kami tentu saja telah berada di jalur terdepan mencapai target ambisi emisi nol-bersih."
August memaparkan, Denmark telah menetapkan diri untuk memiliki lebih dari 100 persen listrik hijau pada tahun 2030. "Kami menargetkan untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2045. Kami juga menargetkan mencapai status nol emisi karbon pada 2050."
"Kami dapat melihat bahwa upaya kami dan kisah kami (soal transisi energi) tiba-tiba diakui nilainya oleh masyarakat global, bagaimana bisa terjadi jika tidak dari kami sendiri yang membuatnya diperhitungkan dalam lingkungan global," sambung August.
Menurut August, eksistensi Denmark di sejumlah negara termasuk Indonesia adalah untuk berbagi pengalaman bagaimana negaranya bisa melakukan transisi hijau salah satunya dengan menggunakan turbin angin untuk daya listrik.
Advertisement
Perjalanan 40 Tahun Transisi Energi Hijau Denmark
Ini adalah transisi yang telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun di Denmark, negara kecil yang hanya setengah luas Jakarta.
"Jadi, kami benar-benar ingin berbagi pengalaman karena kami tidak ingin menghambat negara ekonomi berkembang seperti Indonesia, tak ingin menggurui Anda sehingga dapat meniru keberhasilan yang kami buat dalam perjalanannya dan menghindari semua kesalahan yang kami buat," jelas August.
Perjalanan Denmark mencapai transisi energi yang telah membuahkan hasil sejatinya tidak berjalan mulus.
"Jadi, sebenarnya, kita sering mengaitkan tahun 1970-an sebagai momen kelahiran ambisi energi terbarukan Denmark karena pada tahun 1970-an Denmark sebenarnya adalah negara yang hampir secara eksklusif menggunakan minyak sehingga lebih dari 80 persen energi di Denmark berasal dari minyak. Dan saat krisis melanda dunia di tahun 70-an, Denmark jelas dalam terlibat masalah."
Alasannya, sudah pasti karena tidak memiliki cadangan minyak dalam negeri.
"Jadi, bagi kami pada periode waktu itu, komplikasi itu memastikan bahwa kami memiliki pemanas di rumah, bahan bakar untuk mobil, dan menjaga agar kehidupan masyarakat tetap berjalan dengan normal."
August menceritakan bahwa dahulu ada foto ikonik yang menunjukan anak bermain di jalanan. "Pada saat itu, sebenarnya ilegal mengendarai mobil di jalanan selama beberapa hari dalam sepekan karena saat itu tidak memiliki cukup bahan bakar untuk masyarakat."
"Jadi itu (representasi gambar ikonik tersebut) yang ada di benak penduduk Denmark. Dan mungkin itu menjelaskan sedikit tentang apa yang dikatakan Dr. Dino soal keambisiusan Denmark dengan menyebarkan pemikiran kepada penduduk tentang transisi energi karena itu ada dalam pengetahuan dan ingatan publik."
Adapun dalam perjalanan transisi energi hijau Denmark yang tak berjalan mulus, August mengungkap bahwa total permintaan energi Denmark dari awal sebelum memulai proses industri sama seperti Indonesia yang memiliki pasokan energi berbasis batu bara.
Ketika krisis bahan bakar melanda, imbuh August, Denmark sangat berjuang untuk menemukan energi alternatif.
Dengan kata lain, proses transisi energi Denmark bermula dari batu bara, kemudian ke natural gas atau minyak bumi dan gas alam, menjauh dari batu bara lagi dan saat ini menjauhi sumber energi tersebut beralih ke energi terbarukan.
Saat itu, menurut August, energi terbarukan bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi sesuatu yang harus dikembangkan sendiri. "Dan ketika melihat pembangkit energi Denmark, pada periode waktu itu, seperti solar panel, jadi itu sebenarnya hanya gambar matahari karena tidak ada yang pernah melihat strategi solar panel sel sebelumnya."
Tapi tentu saja, itu semua sudah berubah. "Dan ketika kita melihat biaya penerapan energi terbarukan dalam skala global, energi terbarukan adalah bahan bakar yang kompetitif bagi masyarakat saat ini. Jadi ketika kita melihat perkembangan akhirnya mencapai tempat yang kita butuhkan, dan kita hidup di tempat di mana ekonomi global dapat menggunakan energi terbarukan tanpa membatasi ambisi ekonomi nasional."
"Saya pikir perang Ukraina-Rusia memberi contoh bahwa pasokan energi adalah masalah keamanan nasional sehingga akan bergantung pada bahan bakar fosil impor."
Bagi warga Denmark di Eropa, gas alam adalah kebutuhan yang besar. Hal itu sama dengan kasus Indonesia yang juga sangat bergantung pada minyak impor dan bahan bakar fosil lainnya, meski menjadi pengekspor dan penghasil batu bara.
"Dan kami sangat melihat bahwa meskipun kami mungkin tidak dapat menguasai semua teknologi, setidaknya bahan bakar yang menggerakkan energi terbarukan ada di dalam negeri. Tidak ada yang bisa mengambil matahari di Indonesia, kami akan senang untuk membawanya dan jika kami bisa, kami juga akan senang untuk membawa angin yang kami miliki untuk dibawa ke Indonesia," ucap August memberi contoh soal ketersediaan energi di negaranya.
Namun sayangnya, ungkap August, pihaknya tidak dapat melakukan perdagangan semacam itu. Hal itu menjadi pendorong besar untuk mengelola kemandirian energi sebuah negara, untuk menyebarkan energi terbarukan di masyarakat.
"Jadi, ketika kami mencoba untuk benar-benar mendorong proses pengelolaan energi mandiri di Denmark, kami benar-benar terlibat dalam siklus tahunan. Jadi setiap tahun, Badan Energi Denmark, tempat saya dulu bekerja, membuat status dan proyeksi tentang seberapa baik yang kita lakukan, bagaimana kemajuannya. Dan itu akan benar-benar menjadi dasar negosiasi di pemerintahan."
Maka dari prediksi tersebut, sambungnya, menteri terkait akan menyusun rencana baru bagaimana menghadapi ambisi tersebut dan akan diimplementasikan langsung ke dalam undang-undang keuangan.
Peran Media Bagi Proses Transisi Energi hingga Bangun Kesadaran Publik
Media berita Denmark sudah berusaha untuk menjaga pemerintah memenuhi janji melalui artikel tentang bagaimana pendekatan untuk iklim, ambisi iklim yang tidak dipenuhi oleh pemerintah Denmark.
"Jadi tentu saja kita melihat bahwa mereka tidak perlu keras. Kami pikir kami dapat melakukan pekerjaan dengan baik di pemerintahan tetapi jelas pendorong meningkatnya ambisi pemerintah Denmark benar-benar berasal dari keterlibatan publik yang sebagian besar didorong oleh media seperti kalian."
"Jadi terima kasih kepada jurnalis dan keterlibatan publik untuk tetap menetapkan target yang semakin ambisius, dan tentu saja Anda akan menjadi pengarah tentang proses transisi energi di Indonesia."
Dan seperti yang dikatakan Dr. Dino, jelas August, kami juga harus benar-benar menekankan bahwa meskipun proses ini tampaknya berjalan lancar, namun proses di baliknya rumit.
Menyinggung pemberitaan soal krisis iklim, Arie Rostika Utami, Climate Communication Specialist di Yayasan Indonesia, CERAH mengatakan "berita krisis iklim itu algoritmanya kecil, sedikit sekali yang membaca."Â
Menurut Arie, upaya pemberitaan itu tidak se-seksi isu Sambo dan semacamnya. Jadi bagaimana membangun kesadaran publik tentang krisis iklim?
Arie mengatakan di Indonesia perlu menggandeng tokoh religius. "Jika ditanya Anda mau ikuti ulama atau presiden maka orang akan menjawab ulama."
Menurut Arie, tokoh religius dapat meyakinkan bahwa isu krisis ikim sejatinya sudah tertuang pada ayat-ayat Al-Qur'an sejak lama.
Upaya meraih kesadaran publik yang umum di Denmark memiliki banyak step di level pemerintahan.
"Keterlibatan publik berakar di semua proses. Jadi ketika ada proyek akan ada sesi dengar dengan masyarakat setempat untuk melibatkan mereka di proyek dan memberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan terhadap proyek tersebut," jelas August.
Ketika mempublikasikan informasi, ucap August, juga melibatkan pendapat sejumlah lembaga nirlaba selain dari sudut pandang pemerintah.
Menurut August, setiap opini sebuah publikasi dari pemerintah Denmark benar-benar diuji baik oleh asosiasi industri, jurnalis, media dan lain-lain. Karena jelas keterlibatan publik ini juga cukup untuk membuat artikel berita besar untuk benar-benar menerbitkan ulang atau membuat opini, tentang mungkin sesuatu yang diterbitkan oleh asosiasi industri atau sesuatu untuk dicoba dan benar-benar menggiring isu.
"Mungkin narasi teknis ini menjadi format yang lebih mudah dicerna untuk keterlibatan publik," jelas August.
Advertisement
Apa yang Bisa Dipelajari dari Denmark?
August mengatakan sebagai negara kecil, Denmark mungkin tidak begitu berpengaruh dengan semua kemitraan di seluruh dunia.
"Jadi kami benar-benar melihat diri kami sendiri bahwa Denmark dapat menjadi alat yang mencari mesin besar yang sedang bergerak. Jadi dengan berbagi pengalaman hari ini untuk perusahaan bersama dengan pemerintah yang berpikiran sama, dan menciptakan kesadaran akan pilihan yang dapat diambil untuk mempromosikan transisi hijau ini, kita dapat mempercepat transisi hijau dalam konteks global."
"Kami bangga dengan pembelajaran ini. Ada pembelajaran hal baik dan buruk untuk ini."
August menggambarkan bahwa Denmark di tahun 80-an sangat mirip dengan Indonesia, dengan pembangkit listrik tenaga batu bara besar, dan ini adalah cakupan dari semua unit produksi yang telah dibeli sekarang.
"Kami ingin berbagi dengan dunia dan kami melihat ada kompetensi utama ini di negara berkembang...", ucapnya.
Denmark, menurut August, dalam kerja sama dengan RI, telah memastikan bahwa pemerintah Indonesia memiliki kesadaran akan pilihan yang mereka buat untuk masa depan ekonomi nasional.
"Jadi sebenarnya yang kami coba capai dengan kemitraan energi ini adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global dan membuka pasar agar siap untuk benar-benar menyerap teknologi hijau, tidak harus teknologi Denmark, tetapi hanya teknologi hijau secara umum. Karena yang dibutuhkan teknologi ini sangat berbeda dengan bahan bakar fosil, teknologi bahan bakar fosil."
"Dan sepenuhnya tergantung pada pemerintah untuk memastikan bahwa landasan yang tepat diletakkan agar teknologi ini berhasil dengan cara yang berarti. Dan tentunya memperkuat kerja sama dengan negara kita dan mitra SDG secara signifikan untuk emisi dalam konteks global."
Kerja Sama dengan 24 Negara Mitra Energi, Salah Satunya Indonesia
Saat ini Denmark bekerja sama dengan 24 negara mitra di bidang energi. Tak hanya Indonesia tetapi juga negara ekonomi besar lainnya seperti China, India, Turki, Brasil, AS, Jerman, Prancis, Belanda.
"Karena kami juga berpikir meskipun kami memiliki sesuatu untuk dibagikan, kami juga ingin mempelajari hal lain," tegas August.
"Jadi kami juga sampai ke Indonesia untuk belajar dari kalian. Bagaimana melihat transisi hijau di sini dan belajar dari kalian juga. Jadi meskipun di Denmark, kami mewakili sebagian kecil dari populasi dunia, dan untuk fakta itu, kami menghasilkan cukup banyak emisi CO2 global."
Untuk diketahui, kemitraan kolaboratif dengan Indonesia, Denmark mewakili 61 persen populasi dunia. "Kami membantu mendukung transisi hijau dari 70 persen emisi CO2 global."
Di Indonesia, Denmark sudah bekerja sama dengan pemerintah sejak 2016.
"Sekian lama mencoba dan mendukung pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ambisi dalam transisi hijau itu, maka kami bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PLN, pejabat pemerintah daerah, dan ingin benar-benar mendukung pemerintah dalam banyak hal," papar August.
"Kami di sini bukan untuk memberi tahu Indonesia apa yang harus dilakukan. Kami di sini untuk mendukung pembelajaran dari mereka, dan bagaimana melakukannya. Kami tentu saja juga menjalankan kewajiban moral kami untuk mendukung perkembangan ekonomi dari teknologi ini," sambung August.
"Itulah mengapa hasil dari kemitraan transisi energi di G7 mencoba menghadirkan pembiayaan publik dan swasta, untuk benar-benar memulai transisi hijau dan inovasi," pungkas August.