Liputan6.com, Khartoum - Pertempuran sengit militer versus kelompok paramiliter Sudan memasuki hari kedua pada Minggu (16/4/2023). Bentrokan di sekitar markas militer dan istana presiden di Khartoum dilaporkan melibatkan senjata berat.
Selain di ibu kota, pertempuran dilaporkan juga terjadi di Port Sudan timur dan Darfur barat. Menurut Komite Sentral Dokter Sudan, sedikitnya 56 orang tewas dan hampir 600 orang terluka dalam bentrokan tersebut.
Baca Juga
"Sejak kemarin kami tidak dapat meninggalkan rumah sakit untuk pulang karena bentrokan terjadi di dekat rumah sakit dan orang-orang bersenjata dari tentara berkeliaran di dalam rumah sakit dengan membawa senjata," ujar seorang dokter wanita di Khartoum seperti dilansir CNN, Senin (17/4/2023).
Advertisement
"Kami benar-benar dalam suasana teror dengan suara ledakan dan peluru, berkali-kali kami lolos dari maut," imbuhnya.
Kepala paramiliter Sudan Mohamed Hamdan Dagalo mengklaim telah merebut sebagian besar situs resmi di Khartoum. Pada Minggu, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Dagalo merilis sebuah video yang mengatakan telah menguasai Bandara Meror di utara negara itu.
Dagalo mengaku bahwa RSF telah menguasai istana kepresidenan, bandara Khartoum, dan markas Komando Umum.
Namun, klaim Dagalo dibantai pemimpin militer negara itu, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Dia menegaskan bahwa militer mempertahankan kendali atas sejumlah situs pemerintah.
Sementara pertempuran dilaporkan terus berlanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak semua pihak untuk menghormati netralitas fasilitas kesehatan dan memastikan akses tak terbatas ke fasilitas kesehatan bagi mereka yang terluka.
WHO mengatakan bahwa lebih dari 83 orang tewas dan sedikitnya 1.126 orang terluka sejak 13 April di seluruh Khartoum, Kordofan Selatan, Darfur Utara, Negara Bagian Utara, dan wilayah lain. Konsentrasi pertempuran terberat kini terjadi di Khartoum.
"Ada juga laporan kekurangan tenaga medis khusus, termasuk ahli anestesi," sebut WHO dalam pernyataannya pada Minggu. "Pemadaman air dan listrik memengaruhi fungsi fasilitas kesehatan dan kekurangan bahan bakar untuk generator listrik."
Militer Dituduh Menghasut Pertempuran
Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Dagalo yang juga dikenal sebagai Hemedti, menggambarkan Burhan sebagai penjahat. Dia menuduh Burhan menghasut pertempuran.
"Bukan kami yang memulai ini," ujar Dagalo. "Kami membela diri. Kami mohon maaf dan kami sampaikan kepada rakyat Sudan bahwa krisis ini akan berakhir dan Sudan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini akan menjadi pelajaran di masa depan."
Dagalo menuding bahwa tentara Sudan melanggar gencatan senjata sementara yang ditengahi PBB pada Minggu malam.
"Kami diserang dari segala arah," kata dia. "Kami berhenti bertempur dan pihak lain tidak, itu menempatkan kami dalam kesulitan dan kami harus terus berjuang untuk mempertahankan diri."
Dagalo juga berspekulasi bahwa Burhan telah kehilangan kendali atas militer. "Mereka sepertinya tidak mendengarkannya."
Kekuasaan Dagalo bermula ketika dia memimpin pasukan Janjaweed, yang disebut terlibat pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik Darfur pada awal tahun 2000-an. Sedikitnya 118 orang tewas dalam protes pro-demokrasi pada Juni 2019 setelah pasukan pimpinan Dagalo melepas tembakan ke aksi damai.
Bersama Burhan, sosok Dagalo sangat penting dalam penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada tahun 2019, namun sejak saat itu pula terjadi perebutan kekuasaan.
Advertisement
Seruan untuk Mengakhiri Pertempuran
Mantan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok pada Minggu memperingatkan perang saudara dan menyerukan negosiasi segera.
"Perang ini harus dihentikan hari ini… perdamaian adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari terjadinya perang saudara," katanya dalam konferensi pers di Abu Dhabi.
Amerika Serikat dan PBB turut menyerukan diakhirinya pertempuran.
Para pemimpin Afrika mengadakan pertemuan darurat pada Minggu sebagai tanggapan atas situasi tersebut. Tetangga Sudan, Mesir dan Sudan Selatan, telah menawarkan diri untuk menengahi konflik.
Permusuhan antara militer dan kelompok paramiliter, kata sejumlah sumber kepada CNN, adalah puncak dari apa yang dilihat kedua belah pihak sebagai pertarungan eksistensi untuk dominasi.
Dagalo sendiri mengaku bahwa dia tidak berniat untuk memerintah Sudan.
"Harus ada pemerintahan sipil. Ini selalu menjadi sikap saya," katanya.