Sukses

WNI Terkena Peluru Nyasar di Sudan, Begini Kondisi Terkininya

Situasi di Sudan masih mencekam akibat kekacauan yang terjadi baru-baru ini. WNI yang ada di sana terdampak perang kekuasaan dua kubu militer.

Liputan6.com, Khartoum - Sudan tengah dilanda perang perebutan kekuasaan antara tentara dan paramiliter.

Menurut laporan CNN, Rabu (19/4/2023), korban meninggal dunia sudah mencapai 270 orang. Kondisi ibu kota Sudan juga masih mencekam. Suara tembakan, ledakan, dan pesawat tempur masih terdengar di Khartoum. 

Seorang WNI juga dilaporkan terkena peluru nyasar akibat konflik di Sudan. Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI telah membenarkan adanya insiden tersebut.

Kondisi WNI itu dilaporkan selamat, hanya mengalami luka ringan, dan sudah pulih. WNI itu tinggal di Arkaweet.

"Yang bersangkutan tinggal di Arkaweet. Yang bersangkutan terkena pantulan peluru nyasar yang menyebabkan goresan kecil di pinggang. Saat ini yang bersangkutan sudah sembuh dan sehat," jelas Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha kepada wartawan dalam pernyataan tertulisnya.

Pada pernyataan tersebut, Judha juga mengatakan Kemlu RI kemudian mengirimkan bantuan kepada 200 WNI yang berada di Khartoum pada 18 April 2023. 

Mayoritas WNI yang terdampak konflik Sudan saat ini berstatus sebagai mahasiswa atau pekerja migran. 

"Petugas KBRI bekerja sama dengan PPI Sudan dan Ikatan Mahasiswa Indonesia (IMI) menelusuri beberapa wilayah di Arkaweet dan Makmurat yang berjarak 500 meter dari zona konflik bersenjata. Sebelumnya, KBRI juga telah mendistribusikan sembako kepada WNI, termasuk kepada 76 mahasiswa yang ditampung di Auditorium Kampus Internasional University of Africa," tutur Judha Nugraha.

Bantuan yang diberikan pihak Kemlu RI berupa mi instan, roti, beras, telur, teh, kopi dan air mineral.

Judha juga menyampaikan bahwa konflik Sudan telah memicu kelangkaan suplai logistik di Sudan. Pasalnya, distribusi barang masuk ke Sudan tersendat dan banyak toko yang tutup.

Berdasarkan data KBRI, jumlah WNI di Sudan tercatat sebanyak 1.209 orang, mayoritas berdomisili di wilayah Khartoum, dan sebagian di Wad Madani, dan Port Sudan.

Pihak KBRI juga telah berkomunikasi dengan para WNI yang berada di berbagai wilayah Sudan, untuk memberikan imbauan di tengah konflik yang terjadi.

2 dari 4 halaman

Cerita WNI Alami Krisis Bahan Pangan Akibat Konflik Sudan

Sebelumnya dilaporkan pada Selasa 18 April, mahasiswa Indonesia mulai mengalami krisis bahan pangan dan logistik. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Universitas Internasional Afrika Abdurrahman.

"Untuk kebutuhan makan, minum, dan lain sebagainya itu sejujurnya saat memasuki hari ke empat ini kami sudah mulai krisis bahan pangan dan logistik dikarenakan kami harus stay di kediaman masing masing. Otomatis kami tidak bisa bergerak secara bebas untuk membeli kebutuhan logistik," ujar Abdurrahman atau yang akrab disapa Abduh kepada Liputan6.com, hari Selasa.

"Teman-teman relawan juga tidak bisa maksimal dalam pembelian logistik dikarenakan banyaknya toko-toko di sekitar area kami yang bahannya sudah mulai kehabisan atau bahkan tidak mau menjual lagi ke orang-orang ataupun masyarakat sekitar dikarenakan ketidakpastian kondisi saat ini. Jadi, untuk pengadaan makanan dan minuman sampai saat ini kami bersinergi dengan berbagai elemen."

Tantangan besar lainnya, menurut Abduh, adalah penukaran mata uang asing yang semakin menipis stoknya.

Abduh sendiri saat ini berada di asrama kampus Universitas Internasional Afrika di Ibu Kota Khartoum. Menurut Abduh, kurang lebih ada 600 hingga 650 mahasiswa Indonesia di kampus yang sama dengannya.

"Kami terus berkoordinasi dan bersinergi dengan berbagai elemen. Pastinya dengan KBRI Khartoum juga. Alhamdulillah hingga saat ini sinergi dan komunikasi kami masih sangat sangat intensif dan baik," kata mahasiswa tahun akhir yang menempuh jurusan Studi Islam tersebut.

3 dari 4 halaman

Di Tengah Pusaran Konflik Sudan

 

Menurut Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Universitas Internasional Afrika Abdurrahman yang akrab disapa Abduh, Warga negara Indonesia (WNI) di Sudan terpencar di sejumlah wilayah.

"Yang paling banyak ada di dua wilayah, yaitu Arkaweet dan Makmuroh. Ini lokasinya berdampingan, jadi masih bisa dijangkau walaupun itu juga sangat sangat sulit mengingat medan konflik yang terjadi di Sudan termasuk di area kami," ujar Abduh kepada Liputan6.com hari Selasa.

"Benar-benar di depan, samping kanan, kiri, belakang area kami. Bahkan, kemarin pun beberapa terjadi di dalam area kawasan perumahan kami. Ini menjadikan akhirnya beberapa kendala besar kami untuk pembelian dan penyaluran logistik. Penyaluran logistik yang jaraknya hanya sekitar satu hingga dua kilometer dari kami pun belum bisa kami sambangi karena ruang gerak kami yang sangat, sangat terbatas mengingat kondisi keamanan saat ini," tutur Abduh.

Ditanya soal listrik, Abduh menjelaskan bahwa di wilayahnya di Arkaweet sampai saat ini listrik belum menyala.

"Kami masih belum mengetahui sebabnya. Apakah ada kerusakan di pusat listrik area Arkaweet atau terkena dampak dari peperangan. Adapun untuk area Makmuroh, area seberang, saat ini dikonfirmasi nyala walaupun beberapa kali mati-nyala mati-nyala tapi masih kami anggap normal," kata Abduh.

Namun, Abduh menyatakan bahwa asrama kampus sendiri termasuk area paling aman dan paling terjamin listriknya. "Karena kalau mati listrik sekalipun, kampus punya generator listrik khusus." 

4 dari 4 halaman

Penyebab Konflik Sudan

Melansir BBC, laporan PBB mengungkapkan, sekitar 185 orang tewas dan lebih dari 1.800 terluka dalam pertempuran yang memasuki hari ketiga pada Senin.

Kedua belah pihak yang bertikai, yaitu militer dan kelompok paramiliter yang disebut Rapid Support Forces (RSF), saling mengklaim telah menguasai sejumlah situs penting di Khartoum.

Perang terjadi antara unit tentara yang setia kepada pemimpin de facto Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dengan RSF yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo atau yang lebih dikenal sebagai Hemedti.

Hemedti mengatakan pada Senin bahwa masyarakat internasional harus campur tangan. Dia mencap Jenderal Burhan sebagai seorang Islam radikal yang mengebom warga sipil dari udara.

Sementara itu, Jenderal Burhan mengatakan dia bersedia bernegosiasi.

Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata singkat pada hari Minggu (16/4) untuk memungkinkan yang terluka dievakuasi, meskipun tidak jelas seberapa ketat mereka mematuhinya.

Otoritas Antarpemerintah dalam Pembangunan atau IGAD dilaporkan akan mengirimkan Presiden Sudan Selatan, Djibouti, dan Kenya untuk menengahi perselisihan.

Sekretaris Eksekutif IGAD Nuur Mohamud Sheekh mengatakan kepada BBC bahwa ada beberapa tanda kemajuan dapat dicapai.

"Mereka sedang bersiap untuk melakukan perjalanan ke Sudan untuk bertemu dengan kedua pemimpin tetapi mereka terlibat melalui diplomasi saluran belakang, mereka berbicara kepada para pemimpin ini untuk menghentikan permusuhan, menghentikan pertempuran, dan kembali ke meja perundingan," ujarnya.

"Kedua pemimpin ini menyetujui mediasi, yang dengan sendirinya merupakan perkembangan yang sangat positif selama beberapa jam terakhir. Para pemimpin kami memiliki pengalaman dalam hal mediasi dalam konflik."