Liputan6.com, Jakarta - Federasi Rusia memberikan kritik kepada Amerika Serikat yang dianggap mencoba membuat NATO versi Asia. Kritikan itu juga menyenggol aliansi AUKUS antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.Â
Kritikan itu berasal dari Nikolai Patrushev yang terkenal sebagai salah satu 'pembisik' atau penasihat terdekat Vladimir Putin. Patrushev merupakan sekretaris dari Dewan Keamanan Rusia.Â
Patrushev sudah kenal Vladimir Putin sejak mereka berdua bekerja sebagai intelijen di KGB.
Advertisement
Strategi Indo-Pasifik AS adalah upaya untuk membuat NATO Asia. Aliansi baru ini akan menjadi blok agresif lainnya yang diarahkan kepada China dan Rusia dan akan digunakan untuk menundukkan negara-negara independen," ujar Patrushev dalam wawancaranya pada 27 Maret 2023 dengan media Rusia, dikutip Rabu (19/4/2023).
Wawancara itu disebarkan oleh pihak Kedutaan Besar Rusia di Jakarta.Â
Terkait isu Indo-Pasifik, pemerintahan Presiden AS Joe Biden memang sedang memberikan fokus yang kuat di kawasan Indo-Pasifik yang dianggap penting secara ekonomi.
Patrushev turut mengkritik persenjataan dari Angkatan Laut Australia, termasuk kapal selam bertenaga nuklir, serta bantuan terhadap Taiwan dan Korea Selatan.
"Mempersenjatai ulang Angkatan Laut Australia, termasuk bantuan nuklir kapal selam, dan dukungan militer dari Taiwan dan Korea Selatan memiliki tujuan jangka panjang untuk mendirikan dominasi AS dan NATO pada Eurasia di sisi kirinya," ucapnya.
Patrushev juga meragukan bahwa Amerika Serikat akan tetap kuat sebab ada pertikaian politik antara Partai Demokrat dan Partai Republik, serta isu terkait ras dan transgender.
"Otoritas AS tidak tahu apa yang mereka lakukan dan pelan-pelan menghancurkan diri mereka. Masalah Amerika adalah ia telah terbawa dengan bermain permainan geopolitik dan membiarkan masalah-masalah mereka sendiri tidak terurus," ujarnya.
Pertemuan Menlu G7 Singgung Konsekuensi Pembantu Invasi Rusia ke Ukraina hingga Perang Sudan
Sementara itu, para menteri luar negeri (Menlu) G7 memperingatkan pada Selasa, 18 April 2023 bahwa mereka yang membantu Rusia mengobarkan perang di Ukraina akan menghadapi konsekuensi besar, karena mereka menawarkan front persatuan pada tantangan kebijakan utama lainnya yakni China.
Setelah dua hari pembicaraan di kota resor pegunungan pedesaan Karuizawa, Jepang, para diplomat top dari negara-negara ekonomi terkemuka tidak mengungkapkan sanksi baru terhadap Moskow atas invas ke Ukraina, tetapi berjanji untuk menindak mereka yang membantu Rusia menghindari tindakan tersebut dan memperoleh senjata.Â
Para menteri juga mengingatkan Beijing atas "kegiatan militerisasi" di Laut China Selatan dan bersikeras bahwa kebijakan Taiwan mereka tidak berubah, meskipun ada komentar kontroversial baru-baru ini dari presiden Prancis, demikian dilansir dari Channel News Asia, Rabu (19/4).
Sementara pembicaraan didominasi oleh Ukraina dan tantangan regional, termasuk permintaan agar Korea Utara "menahan diri" dari uji coba nuklir baru atau peluncuran rudal balistik, para menteri G7 juga membahas masalah kebijakan global.
Mereka bertemu saat pertempuran berlanjut di Sudan antara tentara dan paramiliter, memaksa penyisipan tambahan kata-kata pada menit-menit terakhir yang menuntut kedua belah pihak "segera mengakhiri permusuhan tanpa prasyarat".
Ada pula kecaman baru atas meningkatnya pembatasan yang diberlakukan pada perempuan dan minoritas oleh otoritas Taliban di Afghanistan, yang digambarkan oleh para menteri sebagai "pelanggaran sistematis".
Mereka menuntut "pembalikan segera" dari "keputusan yang tidak dapat diterima" termasuk larangan perempuan bekerja dengan organisasi non-pemerintah dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di negara tersebut.
Namun, jelas bahwa dua krisis mendominasi diskusi di atas segalanya, yakni perang di Ukraina, serta pengaruh militer dan ekonomi China yang meningkat.
Para diplomat dari Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Italia, Prancis, dan Uni Eropa berjanji untuk terus "mengintensifkan" sanksi terhadap Rusia dan meningkatkan upaya untuk menanggapi mereka yang menawarkan senjata atau dukungan lain kepada Moskow, memperingatkan adanya konsekuensi.Â
Mereka juga mengecam "retorika nuklir yang tidak bertanggung jawab" Rusia dan menyebut ancaman Moskow untuk menyebarkan senjata nuklir di Belarus "tidak dapat diterima".
Advertisement
Menlu Brazil: Sanksi Ekonomi ke Rusia Merugikan Negara Berkembang
Federasi Rusia masih terus dibelenggu sanksi-sanksi ekonomi akibat invasi terhadap Ukraina. Hal itu dikeluhkan Menteri Luar Negeri Brazil Muaro Vieira. Ia menyebut negara berkembang jadi ikut rugi.
Pernyataan itu dibuat oleh Vieira ketika bertemu delegasi Rusia yang berkunjung ke negaranya. Delegasi Rusia dipimpin Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov.Â
Menlu Brazil juga berkata sanksi-sanksi yang diberikan berbagai negara itu bersifat unilateral. Vieira berkata sanksi harusnya berasal dari Dewan Keamanan PBB. Rusia adalah anggota DK PBB.
"Saya menegaskan kepada Lavrov tentang posisi Brazil pada sanksi-sanksi unilateral. Selain tidak dikoordinasi dengan Dewan Keamanan PBB, mereka memiliki konsekuensi negatif ke ekonomi-ekonomi di seluruh dunia, terutama negara-negara berkembang, banyak dari mereka yang belum pulih dari pandemi," ujarnya seperti dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Selasa (18/4/2023).
Brazil adalah anggota BRICS bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Sikap Brazil terhadap konflik Rusia-Ukraina dapat dikatakan netral. Pada awal 2023, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula juga menyalahkan Ukraina atas invasi yang terjadi. Presiden Volodymyr Zelensky dituding tidak mau negosiasi ketika negaranya diserang.
Â
AS Protes Ucapan Brazil
Di sisi lain, Presiden Lula juga menyebut AS agar tidak mendorong terjadinya peperangan dan mulai membahas perdamaian. Retorika yang dikeluarkan Brazil akhirnya memancing respons negatif dari Amerika Serikat.
Dilaporkan BBC, juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby menuding bahwa Presiden Lula seperti "membeo propaganda Rusia dan China".
Menlu Vieira membalas bahwa ia tak setuju atas ucapan Kirby.
"Saya tidak tahu bagaimana atau mengapa ia meraih kesimpulan tersebut, tetapi saya tidak setuju sama sekali," kata Menlu Brazil.
Saat ini, gencatan senjata antara Ukraina-Rusia masih sulit. Ukraina meminta agar Rusia meninggalkan daerah-daerah yang mereka jajah dulu, tetapi Rusia tidak mau.
Advertisement