Sukses

Penyebab Konflik Sudan yang Kini Tewaskan Lebih dari 400 Warga Sipil

Sudan memanas. Negara ini kini dilanda bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter. Sedikitnya sekitar 400 orang dilaporkan tewas.

Liputan6.com, Khartoum - Sudan memanas. Negara ini kini dilanda bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter. Sedikitnya sekitar 400 orang dilaporkan tewas.

Lantas, apa penyabab perang Sudan?

Dikutip dari laman BBC, Selasa (25/4/2023) penyebab perang Sudan bermula ketika negara tersebut dilanda kudeta tahun 2021. Sejak itu, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua orang petinggi militer, yang kemudian menjadi cikal bakal perselisihan ini.

Mereka adalah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala angkatan bersenjata dan presiden negara itu dan wakilnya serta pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal dengan nama Hemedti.

Masalah utama adalah rencana untuk memasukkan sekitar 100.000 Rapid Support Forces (RSF) ke dalam tubuh tentara, dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru tersebut.

Mengapa dan Kapan Perang di Sudan Pecah?

Aksi penembakan menjadi pemicu konflik Sudan, tepatnya pada tanggal 15 April setelah ketegangan berhari-hari terjadi.

Kala itu, anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam suatu tindakan yang dianggap oleh tentara negara sebagai bentuk ancaman.

Ada harapan bahwa pembicaraan dapat menyelesaikan situasi tetapi ini tidak pernah terjadi.

Masih diperdebatkan siapa yang melepaskan tembakan pertama tetapi pertempuran dengan cepat meningkat di berbagai bagian negara. Akibatnya, lebih dari 400 warga sipil tewas, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Mengapa Warga Sipil Terjebak?

Meskipun konflik tampaknya berada di bawah kendali instalasi, namun hal ini banyak menimbulkan efek besar, terutama di daerah perkotaan. Bahkan, warga sipil menjadi korban.

Tidak jelas di mana pangkalan RSF berada, tetapi anggota mereka kerap pindah ke daerah padat penduduk.

Angkatan udara Sudan telah melakukan serangan udara di ibu kota, sebuah kota berpenduduk lebih dari enam juta orang, yang kemungkinan besar telah menyebabkan korban sipil.

Beberapa gencatan senjata telah diumumkan untuk memungkinkan orang-orang melarikan diri dari pertempuran tetapi hal ini belum dipatuhi.

2 dari 4 halaman

Pertempuran Sudan Capai Gencatan Senjata Ketiga Selama 72 Jam

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan, pihak yang bertikai di Sudan telah menyetujui gencatan senjata 72 jam. Terhitung mulai tengah malam pada Senin (24/4/2023) waktu setempat.

Setidaknya ini adalah gencatan senjata ketiga yang diumumkan sejak kekerasan meletus bulan ini. Namun, tidak ada satupun yang dijalankan penuh.

Menurut Menlu Blinken, kesepakatan terbaru dicapai antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah negosiasi selama 48 jam. Demikian seperti dilansir BBC, Selasa (25/4/2023).

RSF mendukung pengumuman Blinken dan menggarisbawahi komitmen mereka untuk gencatan senjata penuh. Namun, pihak SAF belum memberi komentar.

Sedikitnya 400 orang tewas sejak perang saudara Sudan meletus pada 15 April 2023.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa kekerasan di Sudan berisiko menyebabkan "kebakaran dahsyat" yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya.

 

3 dari 4 halaman

Warga Diminta Tetap Berada di Rumah

Sejak kekerasan dimulai, penduduk di ibu kota Khartoum telah diminta untuk tetap tinggal di rumah. Namun, persediaan makanan dan minuman dilaporkan semakin menipis.

Pengeboman telah menghantam sejumlah infrastruktur utama seperti pipa air. Dan hal itu disebut membuat orang-orang terpaksa mengonsumi air dari Sungai Nil.

Ada harapan bahwa gencatan senjata memungkinkan warga sipil meninggalkan arena konflik dan memungkinkan pemerintah asing melakukan evakuasi lanjutan.

Sebelumnya pada Senin, Menlu Blinken mengungkapkan bahwa sejumlah konvoi yang terlibat dalam proses evakuasi telah mengalami perampokan dan penjarahan.

4 dari 4 halaman

Kondisi Sudan Sangat Menantang

AS, sebut Menlu Blinken, sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan kehadiran diplomatiknya di Sudan. Namun, dia menggambarkan kondisi di sana "sangat menantang".

"Sudan menderita 'pemadaman internet' dengan konektivitas pada 2 persen dari tingkat biasa," kata kelompok pemantau NetBlocks pada Senin.

Di Khartoum, internet mati sejak Minggu (23/4) malam.

Diperkirakan puluhan ribu orang, termasuk warga Sudan dan yang berasal dari negara tetangga, mengungsi akibat perang saudara.

Kekerasan pecah terutama di Khartoum, antara faksi-faksi militer yang bersaing untuk menguasai negara terbesar ketiga di Afrika itu. Ini terjadi setelah berhari-hari ketegangan ketika anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam suatu tindakan yang dianggap sebagai ancaman oleh militer.

Sejak kudeta tahun 2021, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua jenderal yang menjadi pusat perselisihan: Kepala Angkatan Bersenjata sekaligus Presiden Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pemimpin RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang lebih dikenal Hemedti.

Mereka tidak setuju dengan arah negara menuju pemerintahan sipil. Yang dilaporkan menjadi masalah utama adalah rencana untuk meleburkan 100.000 pasukan RSF ke dalam militer dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru itu.

Jenderal Dagalo menuduh pemerintahan Jenderal Burhan Islamis radikal dan bahwa dia bersama RSF berjuang untuk rakyat Sudan demi memastikan kemajuan demokrasi yang telah lama mereka dambakan.

Banyak yang menganggap pesan ini sulit dipercaya, mengingat rekam jejak RSF yang brutal.

Jenderal Burhan mengatakan dia mendukung gagasan untuk kembali ke pemerintahan sipil, tetapi dia hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih.