Liputan6.com, Khartoum - Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyatakan bahwa evakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari Sudan tahap satu yang mencakup 542 orang sedang dalam perjalanan dari Port Sudan menuju Jeddah.
"Evakuasi tahap kedua sedang dilaksanakan dari Khartoum ke Port Sudan. Mohon doanya," demikian pesan singkat yang disampaikan oleh Direktur Pelindungan WNIÂ dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha pada Selasa (25/4/2023).
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menjelaskan bahwa jarak tempuh perjalanan darat Khartoum - Port Sudan memerlukan waktu sekitar 15 jam atau sekitar 830 KM melalui Kota Atbara, Damir, Mismar, dan Kota Sawakin. Terdapat sekitar 15 pos pemeriksaan di sepanjang perjalanan.
Advertisement
Rencana awal, sebut Menlu Retno, seluruh WNI akan dievakuasi dengan memanfaatkan gencatan senjata.
"Namun demikian, karena adanya pembatasan bahan bakar untuk bus yang akan mengangkut para WNI dan evacuee lainnya maka evakuasi tidak dapat dilakukan dalam satu tahap," ungkap Menlu Retno dalam keterangannya pada Senin (24/4).
"Untuk itu, saya imbau agar setiap WNI yang masih berada di Sudan dan belum melaporkan diri, mohon agar segera melaporkan keberadaannya ke KBRI Khartoum agar juga dapat dilakukan evakuasi pada tahap kedua. Jadi, bersamaan kita lakukan evakuasi pada tahap kedua. Oleh karena itu, mohon dengan hormat untuk yang belum melaporkan diri segera menghubungi KBRI Khartoum."
Berebut Kuasa
Pertempuran di Sudan yang berlangsung antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) mencapai gencatan senjata ketiga selama 72 jam pada Senin. Namun, dikabarkan tidak satupun dari gencatan senjata sebelumnya yang ditaati secara penuh.
Kekerasan pecah, terutama di Khartoum, pada 15 April 2023 menyusul upaya integrasi RSF ke SAF. Isu utama dilaporkan adalah pertanyaan tentang siapa yang kemudian akan memimpin pasukan tersebut.
Pemimpin SAF sekaligus Presiden Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengaku dia mendukung gagasan untuk kembali ke pemerintahan sipil. Namun, dia hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih.
Sementara itu, dari sisi RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang lebih dikenal Hemedti menuding pemerintahan Jenderal Burhan Islam radikal.
Advertisement