Liputan6.com, Teheran - Pihak berwenang Iran telah menutup sejumlah besar toko dan bisnis di seluruh negeri yang menurut mereka tidak mematuhi undang-undang wajib mengenakan jilbab.
Menurut laporan dari Iran, Ali Akbar Javidan, komandan polisi provinsi Kermanshah, mengatakan Departemen Pengawasan Tempat Umum, bekerja sama dengan "instansi lain yang bertanggung jawab," telah memulai "penerapan rencana kesopanan dan hijab."
Baca Juga
Javidan mengatakan 45 bisnis ditutup karena tidak memedulikan peringatan bahwa mereka tidak mematuhi aturan wajib hijab, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (28/4/2023).
Advertisement
Iran belum lama ini meluncurkan program baru pengawasan domestik untuk menegakkan hukum pemakaian jilbab. Banyak perempuan tampaknya tidak menggubris peraturan tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, VOA Persia mengamati rangkaian video media sosial yang kredibel yang menunjukkan perempuan di berbagai bagian negara itu berjalan tanpa memakai jilbab di tempat umum. Kondisi tersebut bertentangan dengan hukum wajib jilbab.
Media pemerintah Iran mengatakan program itu mulai berlaku sejak 15 April. Seminggu sebelumnya, kepala polisi nasional Iran, Ahmad Reza Radan, mengatakan pihak berwenang akan menggunakan kemampuan pengawasan canggih, termasuk kamera jalanan, untuk mengidentifikasi perempuan yang melanggar hukum.
Program itu mewajibkan mereka memakai jilbab untuk menutupi rambut di tempat umum sesuai aturan berpakaian dalam ajaran Islam. Aturan ini dicerca oleh orang-orang Iran yang sekuler.
Banyak Wanita Menentang Aturan
Banyak perempuan di Iran secara terbuka menentang kewajiban jilbab sejak kematian Mahsa Amini, 22, pada September tahun lalu. Perempuan Kurdi itu meninggal dalam tahanan polisi moral. Amini ditahan karena diduga melanggar aturan hijab, dan kematiannya memicu protes nasional.
Pasukan keamanan membungkam protes dengan kekerasan. Menurut laporan Kantor Berita Aktivis Hak Asasi Manusia, pada awal Januari, sebanyak 516 demonstran tewas, termasuk 70 anak-anak.
Angka terbaru dari kelompok pemantau HAM yang berbasis di Amerika Serikat menyebutkan, jumlah orang yang ditangkap lebih dari 19.200, di mana 687 di antaranya adalah pelajar.
Advertisement