Sukses

Perang Saudara Sudan: 411 Warga Sipil Tewas, 2 Ribu Terluka, dan 50 Ribu Orang Mengungsi

Korban tewas dari warga sipil melonjak ke angka 411 orang, menurut Asosiasi Dokter Sudan yang melakukan pemantauan jumlah korban. Sebanyak 2.023 warga sipil lainnya terluka.

Liputan6.com, Khartoum - Tembakan senjata dan tembakan artileri berat berlanjut di beberapa bagian ibu kota Sudan, Khartoum, pada Sabtu 29 April 2023, kata penduduk. Pertempuran berlanjut meskipun ada perpanjangan gencatan senjata antara dua jenderal tertinggi negara itu, yang tengah berebut kekuasaan atas negara Afrika tersebut.

Korban tewas dari warga sipil melonjak ke angka 411 orang, menurut Asosiasi Dokter Sudan yang melakukan pemantauan jumlah korban. Sebanyak 2.023 warga sipil lainnya terluka, tambah kelompok itu, seperti dikutip dari Independent.ie (30/4/2023).

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Sudan menyebut, jumlah kematian keseluruhan terbaru mencapai 528 orang, dengan 4.500 lainnya terluka. Angka itu termasuk militer dan milisi yang saling bertempur.

Khartoum, sebuah kota berpenduduk lima juta orang, telah berubah menjadi garis depan dalam konflik sengit antara Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan militer Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo (alias Hemedti) yang memimpin kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Rapid Support Forces (RSF).

Negara asing terus mengevakuasi staf diplomatik dan warga negara sementara ribuan orang Sudan melarikan diri melintasi perbatasan. Inggris mengatakan akan mengakhiri penerbangan evakuasi pada Sabtu 29 April setelah permintaan menurun.

Lebih dari 50.000 pengungsi --kebanyakan wanita dan anak-anak-- telah melintasi perbatasan dengan Chad, Mesir, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, kata PBB. Angka itu menimbulkan kekhawatiran ketidakstabilan lintas negara yang lebih luas.

Negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi sedang mengalami situasi instabilitasnya masing-masing. Pertikaian dan kekacauan etnis telah melukai Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, sementara transisi demokrasi Chad terhenti setelah kudeta.

Mereka yang melarikan diri dari Khartoum menghadapi lebih banyak rintangan. Perjalanan darat ke Port Sudan, tempat kapal kemudian mengevakuasi orang melalui Laut Merah, terbukti panjang dan berisiko.

Pengangkutan udara dari negara itu juga menimbulkan tantangan, dengan sebuah pesawat Turki terkena tembakan di dekat Khartoum pada Jumat 28 April.

Mantan perdana menteri Abdalla Hamdok, yang digulingkan dalam kudeta 2021, mengimbau masyarakat internasional untuk segera menghentikan konflik tersebut. Dia memperingatkan bahwa perang saudara besar-besaran di negara yang berlokasi strategis itu akan memiliki konsekuensi tidak hanya bagi Sudan tetapi juga bagi dunia.

Ketua Uni Afrika Moussa Faki mengatakan dia akan membantu memulai proses politik yang "dipimpin oleh Sudan".

"Saya sudah siap untuk pergi ke sana, bahkan melalui jalan darat," kata Faki. "Kami meminta kedua jenderal untuk menciptakan kondisi bagi kami untuk pergi ke Khartoum."

2 dari 2 halaman

Bentrokan Masih Berlangsung Meski Ada Gencatan Senjata

Pada Sabtu 29 April, meskipun ada gencata senjata yang diperpanjang sejak Jumat 28 April, bentrokan berlanjut di sekitar istana presiden, lembaga penyiaran negara, dan di pangkalan militer di Khartoum. Pertempuran itu mengirimkan gumpalan asap hitam tebal yang mengepul di atas kaki langit kota.

Di beberapa kota, termasuk di Omdurman, sebelah barat Khartoum, penduduk melaporkan beberapa toko dibuka kembali karena skala pertempuran berkurang di tengah gencatan senjata yang lemah.

Namun di daerah lain, warga yang berlindung di rumah mengatakan para milisi pergi dari rumah ke rumah, mencuri apapun yang bisa mereka temukan.

Sekarang di minggu ketiga, pertempuran telah menyebabkan petak-petak Khartoum tanpa listrik dan air mengalir.

Mereka yang berlindung di rumah mengatakan mereka kehabisan makanan dan kebutuhan dasar. Warga Omdurman kemarin mengatakan mereka telah menunggu tiga hari untuk mendapatkan bahan bakar yang memperumit rencana pengungsian mereka.

Tentara nasional Sudan diperkirakan tengah berada di atas angin dalam pertempuran. Mereka memonopoli udara berkat alutsista yang mereka kuasai. Namun, sulit untuk memastikan keadaan yang serba tidak pasti di wilayah tersebut.

Kedua belah pihak memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia. RSF lahir dari milisi Janjaweed, yang melakukan kekejaman yang meluas ketika pemerintah mengerahkan mereka untuk memadamkan pemberontakan di wilayah Darfur barat Sudan pada awal tahun 2000-an.