Sukses

Kedubes AS Peringati Hari Kebebasan Pers: Bicara Soal Demokrasi dan HAM

Dalam rangka peringati Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023, kedubes AS adakan diskusi publik. Kebebasan pers disebut berkaitan dengan hak asasi manusia lain dan juga sebagai salah satu pilar penting demokrasi.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia bersama @america menyelenggarakan acara diskusi publik.

Acara yang diadakan pada Rabu (3/5/2023) ini mengangkat judul “World Press Freedom: A Key to Democracy”.

Diskusi ini mengundang Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, peneliti dari SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, dan Pejabat Politik Kedutaan Besar AS, Jordan Younes.

Kegiatan ini bertujuan untuk menyoroti kebebasan berekspresi sebagai aspek utama dalam demokrasi yang sehat dan juga membantu melindungi hak-hak lainnya. 

Pembicara panel membahas kebebasan berekspresi, khususnya bagi jurnalis dan media, untuk mencari, menerima, dan mempublikasikan informasi sebagai hak yang dapat dilaksanakan tanpa rasa takut atau campur tangan pihak lain.

Sasmito menegaskan bahwa kebebasan pers, atau yang lebih akrab disebut kemerdekaan pers di Indonesia, merupakan suatu hal yang fundamental dan penting.

“Hal yang utama dan pendorong dari hak asasi manusia lainnya,” ucap Sasmito.

“Tanpa kolaborasi dan kerja sama, mustahil kita bisa mendorong kemerdekaan pers yang menjadi kunci dari pelaksanaan hak asasi manusia lainnya,” katanya.

Menurut Jordan, “Kebebasan pers merupakan pilar penting dalam demokrasi,”. Pers yang tidak berjalan dengan baik dapat membawa dampak terhadap banyak hal.

“Hari kebebasan pers ini menjadi momen untuk berefleksi,” ucap Sayyidatul. 

Riset SETARA menunjukkan bahwa angka kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia sangat rendah, “Tidak hanya mengancam kawan-kawan jurnalis tetapi juga yang berada di lingkungan akademisi kampus dan juga NGO dalam mempublikasikan hasil riset.”

2 dari 4 halaman

Kebebasan Pers dan Hubungannya dengan Hak Berpendapat dan Berekspresi

Meski kebebasan pers disebut sebagai hal penting, sayangnya jurnalis atau media di tiap daerah berhadapan dengan kondisi yang berbeda-beda. 

Di Indonesia sendiri, jurnalis di kota besar, seperti Jakarta, cenderung lebih terhindar dari ancaman, berbeda dengan jurnalis daerah yang lebih terpencil, seperti di Papua, yang sebaliknya lebih terkekang.

Dalam banyak kasus, pemerintah yang seharusnya melindungi kebebasan pers justru menjadi pihak yang mengancam.

SETARA merilis indeks hak asasi manusia tiap tahunnya untuk mengukur bagaimana negara memenuhi hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Hasilnya, variabel tersebut mendapatkan skor paling rendah dan terus menurun, Sayyidatul menyebutkan bahwa skornya bangkan tidak mencapai angka 2, dari skala 1-7.

Di tahun 2019, skornya 1,9 dan terus menurun di tahun-tahun berikutnya.

Regulasi yang dikeluarkan pemerintah seharusnya memperkuat kebebasan pers, tetapi pada kenyataannya malah digunakan untuk memberantas pers itu sendiri, seperti peyalahgunaan UU ITE dan RKUHP.

“Regulasi dimanfaatkan oleh beberapa pihak, terutama pemerintah daerah untuk mengekang dan membatasi kebebasan pers,” ucap Sasmito.

Sayyidatul juga menegaskan bahwa undang-undang tidak boleh menyinggung hak asasi manusia, “Tugas pemerintah untuk melakukan upaya agar hal tersebut tidak terjadi,” tegasnya.

3 dari 4 halaman

Ancaman yang Semakin Mengekang Kebebasan Pers

Kemajuan internet dan media sosial tidak hanya membawa dampak baik pada persebaran informasi, tetapi juga menjadi jalan dari datangnya ancaman-ancaman baru bagi jurnalis.

“Internet dapat memudahkan, tetapi sekaligus menjadi ancaman bagi media,” kata Jordan.

Tak sedikit media yang diretas, “Belum ada penanganan atau mekanisme yang baik untuk mengatasi penyerangan digital terhadap junalis atau media,” ucap Sasmito.

Banyaknya ancaman yang mengakibatkan pers semakin terkekang ini menunjukkan seperti apa pemenuhan hak berpendapat dan bereskpresi di suatu daerah.

Sayyidatul menjelaskan bahwa dua hal itu sangatlah berkaitan, rendahnya kebebasan pers di Indonesia juga menunjukan rendahnya kebebasan berpendapat dan bereskpresi.

Hal tersebut juga mengancam para akademisi. Menurutnya, sangat disayangkan ketika sebuah penelitian yang didasari dengan metode dan fakta justru dituduh dan dikecam karena hasilnya yang menyinggung pihak tertentu.

“Fakta tidak bisa dijadikan tuduhan untuk pencemaran nama baik,” ucap Sayyidatul.

“Warga sipil, baik itu masyarakat biasa, mahasiswa, dan lembaga, berperan penting untuk meningkatkan angka kebebasan berpendapat dan bereskpresi,” tambahnya.

4 dari 4 halaman

Ancam Kebebasan Jurnalis, Dewan Pers Segera Ajukan Judicial Review RKUHP

Dibutuhkan kolaborasi untuk menjaga kebebasan pers. Dewan Pers berupaya untuk mencegah adanya regulasi-regulasi yang dapat mengancam hak-hak para jurnalis.

Dewan Pers akan mengajukan judicial review atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terhadap pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan dan kebebasan pers ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Salah satu pilihannya memang kami akan mengajukan judicial review ke MK," kata Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, saat menjadi pembicara dalam Bedah Modul Pedoman Peliputan Media Toleransi di Bogor, Minggu (11/12/2022).

Jauh hari sebelum disahkan, Dewan Pers telah melakukan pertemuan dengan beberapa fraksi di DPR dan Menkopolhukam Mahfud Md. Bahkan sudah mengajukan usulan reformulasi daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP versi Dewan Pers.

"Kita juga datang ke Mahfud Md, datang ke fraksi juga. Ada 9 klaster 14 pasal supaya ada perbaikan," kata Ketua Komisi Kemitraan dan Infrastruktur Organisasi Dewan Pers periode 2022-2025 ini.

Sebab, hasil akhir reformulasi daftar inventarisasi masalah RKUHP versi Dewan Pers ditolak baik oleh eksekutif maupun legislatif.

Baca selengkapnya di sini...

 

Video Terkini