Sukses

HEADLINE: Krisis Ekonomi Menerpa Inggris Jelang Penobatan Raja Charles III, Bakal Berdampak ke Indonesia?

Rakyat Inggris sedang hidup susah. Mereka tengah menghadapi krisis biaya hidup akibat lonjakan inflasi, menjelang penobatan Raja Charles III.

Liputan6.com, Jakarta - Rakyat Inggris sedang hidup susah. Mereka tengah menghadapi krisis biaya hidup akibat lonjakan inflasi, menjelang penobatan Raja Charles III.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi Inggris akan menjadi salah satu negara dengan kinerja ekonomi terburuk di dunia pada 2023. Bahkan, kinerja ekonomi Inggris pada 2023 akan menjadi yang terburuk di antara negara G20, termasuk Rusia yang terkena sanksi.

IMF memproyeksikan ekonomi Inggris akan menyusut 0,3 persen di 2023 dan tumbuh hanya 1 persen pada 2024. Meskipun begitu, prediksi terbaru IMF sedikit lebih baik dari ekspektasi sebelumnya, yang sempat meramal kontraksi 0,6 persen pada Januari.

Lemahnya kinerja ekonomi Inggris, menurut IMF, didorong tingginya harga gas, kenaikan suku bunga, dan kinerja perdagangan yang lamban. Padahal, Kerajaan Inggris akan menggelar acara penobatan Raja Charles III pada Sabtu 6 Mei 2023.

Upacara penobatan Raja yang pertama terjadi di Kerajaan Inggris dalam kurun lebih dari 70 tahun ini diperkirakan bakal menelan biaya sekitar 113 juta euro atau Rp 1,8 triliun, seperti dikutip dari Euro News, Kamis (4/5/2023).

Tidak seperti acara pernikahan yang dibayar Keluarga Kerajaan, penobatan Raja atau Ratu merupakan salah satu acara kenegaraan di Inggris, sehingga besaran biaya akan ditanggung dari pajak yang dibayar rakyatnya.

Sebagian besar pengeluaran Keluarga Kerajaan Inggris ditanggung pembayaran pajak tahunan yang dikenal sebagai Sovereign Grant. Pendanaan untuk Sovereign Grant berasal dari persentase keuntungan pengumpulan pendapatan Crown Estate atas tanah dan kepemilikan, yang dimiliki monarki selama masa pemerintahan mereka tetapi dikendalikan secara independen oleh sebuah dewan.

Pada 2022, pajak Sovereign Grant ditetapkan setara dengan 97 juta euro atau kira-kira 1,50 euro untuk setiap orang di Inggris. Sebagian besar pembayaran digunakan untuk pemeliharaan properti, biaya penggajian, pengeluaran perjalanan, dan acara resmi.

Untuk mendiang Ratu Elizabeth II, penobatannya menelan biaya sekitar 1,5 juta poundsterling atau Rp 27,7 miliar pada 1953. Biaya penobatan tersebut setara dengan 56 juta euro saat ini.

Upacara penobatan Raja Charles III pun menuai pro dan kontra karena digelar saat Inggris masih dihadapi dengan krisis biaya hidup dengan melonjaknya harga pangan dan energi. Menurut jajak pendapat YouGov baru-baru ini, 51 persen warga Inggris berpendapat acara penobatan Raja Charles III seharusnya tidak didanai pembayar pajak.

Sementara itu, acara penobatan Raja Charles III kabarnya akan berlangsung lebih singkat dari yang dilalui mendiang ibunya, Ratu Elizabeth II. Upacara hanya akan berlangsung selama 90 menit.

Charles juga mengundang lebih sedikit orang: sekitar 2.200 pejabat tinggi dan pemimpin dunia akan hadir dibandingkan dengan lebih dari 8.200 tamu yang menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II pada 1953.

Keadaan ekonomi Inggris tengah tergoncang yang berdampak juga ke ekonomi kawasan Eropa. Namun, dampak keterpurukan ekonomi Inggris tersebut tidak akan terlalu terasa sampai Indonesia.

Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Inder) Nailul Huda melihat, dampak gonjang-ganjing ekonomi Inggris cenderung kecil ke Indonesia.

"Tentu kondisi ekonomi Inggris yang tengah tidak menentu membuat perekonomian global juga terguncang. Tentu akan berdampak ke Indonesia walaupun tidak signifikan," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (4/5/2023).

Dampak tersebut ditafsirkan Huda sebagai sentiman negatif ke pasar keuangan di Indonesia. Namun, lagi-lagi dia percaya hal itu tak berdampak besar. Sedangkan untuk dampak ke sektor riil, ia melihat kecil sekali. 

"Sentimen negatif pasti ada, tapi emang tidak terlalu signifikan. Terlebih kan memang perdagangan dengan Inggris juga tidak terlalu besar," ungkapnya.

Dampak yang cukup kecil juga menurutnya terlihat dari sudut pandang ekspor-impor antara Inggris dan Indonesia. Selain itu, kontribusi ekspor-impor terhadap produk domestik bruto (PDB) yang cenderung tak terlalu besar pun jadi alasan Huda kalau dampaknya tak akan signifikan.

"Ekspor-impor kita kan memang tidak terlalu signifikan ke PDB, jadi relatif aman asal perekonomian domestik masih aman," tegasnya.

2 dari 4 halaman

Pandangan Masyarakat: Popularitas dan Ekonomi

Liputan6.com bertanya kepada tiga orang dengan latar belakang berbeda tentang koronasi Raja Charles III, yakni mahasiswi S2 Indonesia di Inggris, warga London yang berada di Jakarta, serta warga Kanada yang merupakan negara Persemakmuran (Commonwealth). 

Ada pandangan beragam tentang koronasi Raja Charles III, terutama terkait popularitas dan ekonomi. 

Isu Popularitas Raja

Andrew Roberts, seorang warga London yang tinggal di Jakarta, mengaku tidak tertarik dengan koronasi. Sebagai seorang pendukung Republik, ia juga tidak membahas isu tersebut.

"Saya tidak pernah terlalu tertarik dengan keluarga kerajaan. Saya mungkin akan menonton beberapa menit koronasi di YouTube pada suatu waktu, tetapi saya tidak yakin harinya apa," ujarnya.

"Saya belum membahas tentang koronasi dengan siapa pun di Britania Raya atau orang Britania di Indonesia," tambahnya.

Saphira Larasati yang sedang menempuh studi S2 di University College London (UCL), serta aktif sebagai Wakil Ketua PPI London, mengaku cukup senang dengan upacara koronasi Raja Charles III. 

Sejumlah orang disebut masih berduka atas kepergian Ratu Elizabeth II, namun koronasi Raja Charles III dianggap bisa menjadi momen untuk bersukacita, meski mungkin tak bisa menonton dari dekat.

"Kesenangannya tidak hanya di seluruh negeri, tetapi saya yakin juga seluruh dunia. Orang-orang merayakan momen besar nan langka di abad ini. Saya pikir saya secara pribadi merasa terhormat karena bisa menyaksikan koronasi ini meski hanya melalui layar atau dari jarak jauh," ujar Saphira.

"Saya yakin orang-orang di sekitar saya juga merasakan kesenangannya, terutama mereka yang baru datang ke Britania Raya untuk pertama kalinya," lanjut Saphira.

Saphira berkata akan mencoba melihat parade Raja Charles III dan Ratu Camilla yang rencananya berangkat dari Buckingham Palace ke Westminster Abbey melalui The Mall, Trafalgar Sq, dan Parliament Sq.

"Namun, jika tak mungkin, saya akan pergi ke taman besar, kemungkinan besar Hyde Park, untuk piknik dan menonton koronasi melalui sebuah layar lebar. Sebab mereka selalu menyediakan layar besar di taman untuk ditonton masyarakat setiap ada perayaan besar para royals," ucap Saphira.

Sebagai informasi, koronasi Raja Charles III juga akan diperingati di negara-negara Persemakmuran, seperti Kanada. Meski demikian, tidak semua warga Kanada terlalu antusias dengan koronasi. 

"Saya tidak merasakan kesenangan tentangnya, hal itu tidak muncul di percakapan dengan sahabat-sahabat atau saya juga tak terlalu sering melihatnya di berita," ujar Ross yang berasal dari British Columbia. 

Ross tidak yakin bagaimana koronasi atau Raja Charles III akan berdampak ke Kanada, tetapi ia menyorot bahwa Raja Charles tidak sepopuler pendahulunya: Ratu Elizabeth II. 

"Saya tidak berpikir bahwa Charles memiliki level penerimaan dan popularitas sebagaimana ibunya," pungkas Ross.

3 dari 4 halaman

Masalah Ekonomi dan Prioritas Raja

Pada awal 2023, Britania Raya dikabarkan mengalami masalah ekonomi akibat ancaman resesi. Berita-berita negatif bermunculan terkait warga Inggris yang kesulitan membeli kebutuhan sehari-hari. 

Saphira Larasati menyebut isu ekonomi memang menjadi sorotan jelang koronasi Raja Charles III. Faktor-faktor yang menjadi tantangan adalah pasca-pandemi COVID-19, rotasi perdana menteri, dan kematian Ratu Elizabeth II. 

"Saya pikir keluarga kerajaan sering dikritik karena keglamoran mereka. Oleh karena mereka dibayar oleh para pembayar pajak, banyak orang berargumen bahwa mereka bisa menggunakan uang dengan lebih baik ke hal-hal lain ketimbang pakaian dan hal-hal tak perlu. Situasi tunawisma terutama masih mengkhawatirkan di negara ini dan pemerintah masih berkutat dengan isu ini," ujar Saphira. 

Meski begitu, Saphira berkata tidak ada demo besar yang terpantau menjelang koronasi, kecuali nyinyiran di media sosial.

"Dari yang saya dengar, tidak ada unjuk rasa besar dari masyarakat, mayoritas orang-orang hanya memberikan komentar buruk di media sosial, tapi tidak ada yang masif," jelas Saphira. "Faktanya, orang-orang senang untuk merayakan momen ini, banyak yang dari mereka mendedikasikan pekan ini untuk datang ke London agar mereka tidak melewati sejarah."

Harus Mewah Supaya Tak Kena Nyinyiran

Andrew Roberts yang berada di Jakarta menyebut rakyat seharusnya tidak perlu kerajaan, namun karena saat ini Inggris memang punya kerajaan, maka dapat dimaklumi jika ada pengeluaran untuk koronasi.

"Raja hampir tidak memiliki kekuatan. Monarki sedikit lebih mirip maskot Britania Raya (mereka bahkan punya kostum)," ujar Andrew.

Dan bagaikan acara pernikahan, apabila koronasinya tidak mewah, maka dikhawatirkan membuat malu warga lokal.

"Britania Raya adalah salah satu negara terkaya di dunia, itu akan memalukan bagi banyak orang Britania jika koronasi terlihat murah," jelas Andrew.

Meski demkian, Andrew menilai keluarga kerajaan Inggris dinilai sadar tentang krisis biaya hidup di Inggris, sehingga durasi koronasi akan dipersingkat jadi sekitar satu jam saja. Dulu, Elizabeth II mengadakan koronasi hingga tiga jam.

Terkait prioritas, Andrew Roberts menilai Royal Family hanya selalu ingin melindungi kekayaan mereka seperti manusia pada umumnya. Sisi positifnya, Charles adalah pencinta linkungan.

"Prioritas utama Raja Charles adalah menjaga Monarki sebagai sebuah institusi. Saya pikir ia mungkin akan membantu mengurangi polusi. Charles telah berargumen untuk melindungi lingkungan sejak cukup lama. Itu mungkin hal terbaik tentangnya," ungkap Andrew.

4 dari 4 halaman

Raja Charles III Dobrak Tradisi

Ada banyak hal menarik yang akan terjadi dalam penobatan Raja Charles III yang akan digelar pada 6 Mei mendatang. Salah satunya terkuak dalam liturgi yang dirilis oleh Keuskupan Canterbury dari Istana Lambeth baru-baru ini.

Salah satunya, adalah kehadiran perwakilan sejumlah pemuka agama selain Kristen dalam upacara ini. Dilansir dari People pada Rabu (3/5/2023), pemuka agama Yahudi, Hindu, Sikh, Buddha, dan Islam akan hadir. Hal ini dimaksudkan sebagai cerminan kemajemukan dalam masyarakat Inggris modern.

Para pemuka agama ini akan menyampaikan salam untuk Raja Charles III sebelum ia meninggalkan upacara.

Mereka akan berujar secara bersama-sama, "Sebagai tetangga dalam iman, kami mengakui pentingnya pelayanan publik. Kami bersatu dengan orang-orang dari semua agama dengan keyakinan dan penuh syukur, melayani bersama Anda untuk kebaikan bersama," begitu yang tertulis dalam liturgi.

Selain itu, ada lagi tradisi yang akan diubah dalam penobatan Raja Charles III. Warga Inggris yang mendengar jalannya seremoni diajak ikut serta dalam ‘Homage of the People’. Secara tradisi, acara ini dilakoni oleh para bangsawan Inggris di Westminster Abbey.

"(Ini) adalah momen baru dan penting dalam tradisi Penobatan ...Ini sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana masyarakat umum ditawari kesempatan untuk bergabung dengan para tokoh nasional dalam menyatakan kesetiaan mereka kepada Yang Berdaulat," begitu pernyataan Gereja Inggris.

Dalam segmen ini, orang-orang diminta oleh Uskup Agung Justin Welby untuk berucap serempak.

Isi ikrarnya adalah, "Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan kesetiaan sejati pada Yang Mulia, dan kepada ahli waris dan penerus Anda menurut hukum. Jadi bantu saya Tuhan."

Tradisi baru ini pun memunculkan pro dan kontra. Dalam jajak pendapat The Sun baru-baru ini, menunjukkan 53 persen responden tidak akan bergabung dalam seruan sumpah tersebut.