Sukses

WHO Cabut Status Darurat COVID-19, Menko PMK: Hindari Vaksin, Belum Punya Kekebalan

WHO cabut status darurat COVID-19, tapi vaksin melawan Corona masih penting.

Liputan6.com, Bali - WHO telah mencabut status darurat global COVID-19. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkata Indonesia akan menyesuaikan regulasi sesuai pengumuman WHO tersebut, meski sebetulnya Indonesia sudah lama keluar dari status pandemi. 

"Indonesia ini secara de facto sudah endemi. COVID-19 sudah endemi. Bahwa sampai sekarang masih terjadi, tapi bukan level pandemi lagi," ujar Muhadjir Effendy di Bali, Sabtu (6/5/2023). 

Penyetopan kebijakan PPKM dinilai Muhadjir sebagai tanda bahwa Indonesia sudah keluar dari pandemi.

Meski demikian, Muhadjir Effendy mengingatkan bahwa virus ini masih ada dan berbahaya. Ia mencatat sejak 1 Januari 2023 hingga 14 April 2023, ada 583 orang pengidap COVID-19 yang meninggal, termasuk yang mengalami komorbid. 

Sebanyak 42 persen yang meninggal tersebut masih belum divaksinasi. Muhadjir lantas mengingatkan bahwa orang-orang yang belum divaksinasi masih belum memiliki kekebalan terhadap COVID-19.

Ia pun mengungkap banyak orang yang ternyata masih menghindari vaksin COVID-19.

"Walaupun ini sudah status tidak lagi pandemi, saya mohon kepada mereka yang belum divaksin karena alasan tertentu, atau memang menghindari vaksin, karena yang menghindari vaksin juga cukup banyak, harus berhati-hati karena mereka belum memiliki kekebalan," jelas Muhadjir.

"Sementara walaupun tingkat kekebalan kumulatif kita kan sudah sekitar 99 persen lebih, tapi bukan berarti mereka-mereka yang tidak kebal itu aman," pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Pandemi Masih Ada meski Tak Lagi Akut

Sebelumnya dilaporkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pencabutan status Darurat Kesehatan Global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) untuk COVID-19.

WHO mengumumkan pencabutan PHEIC pada Jumat malam, 5 Mei 2023 melalui keterangan resmi dari markas utamanya di Jenewa, Swiss.

Apa itu PHEIC?

Epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa PHEIC sebenarnya dibuat hanya sebagai tanda atau standar jikalau ada suatu penyakit yang sedang mewabah.

"PHEIC itu sebetulnya memberi tanda atau menjadi standar status bahwa suatu penyakit mewabah, extraordinary event yang menyebabkan dan berdampak pada semua negara di dunia, menyebar secara global, melewati batas teritorial masing-masing negara," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Sabtu (6/5/2023).

"Ini merupakan juga suatu alarm public health yang paling tinggi, dan kehadiran satu wabah ini memerlukan respons, kolaborasi, kerja sama global. Itu kenapa PHEIC itu hadir," sambungnya.

Dicky mengungkapkan bahwa status pandemi berbeda dengan PHEIC. Sebab, hingga kini, pandemi masih ada beserta statusnya.

"Status pandemi itu berbeda. Status pandemi itu bahkan sampai sekarang WHO sendiri tidak punya kewenangan menetapkan, tidak ada otorisasinya dalam konferensi WHO bisa menyatakan 'Oh ini pandemi', belum ada seperti itu," kata Dicky.

3 dari 4 halaman

Status Darurat COVID-19 Dicabut, Pandemi Tak Lagi Ada di Fase Akut

Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa status pandemi mengacu pada ukuran maupun indikator-indikator epidemiologi. Itulah mengapa status pandemi COVID-19 disebut masih tetap ada.

"Status pandemi itu lebih pada ukuran, indikator-indikator epidemiologi. Kalau melihat itu, meskipun sekarang PHEIC-nya sudah dicabut, sebetulnya pandeminya masih ada. Status pandemi itu masih ada. Tapi sudah enggak emergensi. Fase akutnya sudah terlewati," ujar Dicky.

Dicky menjelaskan, status pandemi COVID-19 masih ada didukung dengan masih adanya penambahan kasus. Bahkan, ada beberapa negara yang masih mengalami lonjakan kasus atau outbreak.

"Kita betul-betul masih ada dalam status pandemi, karena ini masih ada di semua negara. Masih ada outbreak, ada peningkatan kasus. Hanya kita sudah beda saja, sudah enggak akut lagi. Levelnya sudah lewat, lebih menurun," kata Dicky.

Terlebih, saat ini kasus kematian akibat COVID-19 maupun beban fasilitas kesehatan (faskes) telah menurun. Itu jugalah yang menjadi faktor pendukung status pandemi COVID-19 disebut sudah melewati fase kritis. 

4 dari 4 halaman

Otoritas untuk Negara

Dicky mengungkapkan bahwa pencabutan PHEIC lebih pada memberikan keleluasaan pada masing-masing negara.

"Intinya pencabutan PHEIC ini lebih memberikan keleluasaan, otorisasi pada masing-masing negara untuk merespons COVID-19 tetap dalam status kedaruratan atau mereka masukan dalam program pengendalian penyakit secara umum," kata Dicky.

Hal tersebut dikarenakan menurut Dicky, dengan pencabutan PHEIC, tiap negara jadi punya kewenangan sendiri untuk merespons bagaimana pandemi COVID-19 akan disikapi kedepannya.

"Negara-negara itu punya keleluasaan lebih atas itu, karena kalau PHEIC-nya tidak dicabut, mau tak mau akan terus darurat. Namun, bahwa dia masih pandemi, ya iya dalam konteks saat ini. Tapi sekali lagi, sudah tidak seperti status yang akut dua atau tiga tahun awal pandemi," pungkasnya.