Sukses

Jurus Transisi Energi Denmark Bikin Tambah Kaya Tanpa Peningkatan Pemakaian Energi, Bagaimana Peluang Indonesia Ikut Jejak?

Pakar menilai jika Denmark bisa melakukan transisi energi, Indonesia juga bisa melakukannya. Denmark saat ini, adalah dampak masa lalu dari mengembangkan sektor angin dan sektor surya yang mungkin dapat Indonesia manfaatkan.

Liputan6.com, Jakarta - Jalan panjang transisi energi yang dilakukan Denmark saat ini telah memasukkan salah satu negara Nordik ini berada di posisi teratas sebagai panutan dalam transisi energi hijau global. Patut rasanya jika Indonesia mempelajari bagaimana negara tersebut bisa melakukannya.

Torsten Hasforth Senior Economist Analysis di lembaga think tank independen Denmark CONCITO mengatakan bahwa meski Indonesia dan Denmark adalah negara yang sangat berbeda, kedua negara memungkinkan saling belajar dari pengalaman masing-masing.

“Jika dibandingkan dengan Indonesia, penggunaan energi di Denmark sudah sepenuhnya stabil sejak tahun 1990, sementara Indonesia merasakan manfaatnya tiga kali lipat bahkan lebih,” ujar Torsten dalam workshop kedua Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) yang digagas FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta bertajuk Energy Transition pada pertengahan April lalu.

Torsten menuturkan bahwa selama ini ia menemukan sejumlah negara berkembang seperti Indonesia bahwa negara kaya biasanya memiliki penggunaan energi yang tinggi pula.

"Jika melihat dalam satu dekade terakhir (mulai dari 1990), penggunaan energi di Indonesia mencapai titik kenaikan pada 2020 ketika Denmark justru mengalami penurunan tingkat pemakaian energi per kapita. Dari situ kita melihat ada kesamaan dengan kita (Indonesia dan Denmark) bahwa penurunan energi per kapita bisa saja terjadi."

"Jika itu memungkinkan terjadi di Denmark, untuk membuat grafik penggunaan energi per kapita tetap seimbang. Maka hal yang sama juga bisa terjadi di Indonesia," jelasnya.

Selain itu, menurut Torsten, banyak hal yang juga mengakibatkan beban energi termasuk penggunaan listrik. Kenaikan populasi salah satunya.

"Di Denmark penggunaan listrik lebih tinggi dari Indonesia, tetapi tidak mencapai penggunaan per kapita jika dibandingkan rata-rata penggunaannya di Indonesia."

Dalam prediksi penggunaan energi kurun waktu 10 tahun, bisa dilihat Denmark dengan cepat mencapai titik penurunan penggunaan energi. Oleh sebab itu saat ini, menurut Torsten, merupakan waktu yang tepat bagi Indonesia untuk membuat keputusan penting untuk menangani masalah peningkatan penggunaan energi.

Torsten kemudian mengungkap jurus Denmark dalam transisi energi melalui sejumlah kebijakan yang mungkin bisa diterapkan oleh Indonesia. Ia mengungkap bahwa sejatinya penggunaan emisi karbon di Denmark tak seberapa jika dibandingkan dengan Indonesia.

"Tak diragukan lagi bahwa tingginya populasi di Indonesia menyebabkan emisi karbon di Indonesia jauh lebih besar," ucapnya.

Torsten menututkan bahwa Denmark pernah berada pada masa emisi per kapita tinggi seperti Indonesia saat ini. Namun setelah menjalani serangkaian proses transisi energi, bisa mencapai titik stabil dalam kurun waktu yang relatif singkat.

"Jadi, mungkin ada pelajaran yang bisa dipetik, mungkin ada perbandingan yang bisa dilakukan antara kedua negara (Indonesia dan Denmark) jika dilihat per kapita dan perkembangan pesat yang sedang terjadi di Indonesia saat ini," imbuhnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fase Transisi Energi Denmark, Krisis hingga Jurus Efisiensi Energi yang Memberatkan

 

Torsten berkaca pada krisis minyak tahun 70an di Denmark yang mengakibatkan shock dan memicu kenaikan konsumsi energi.

"Denmark melalui tiga fase yakni periode industrialisasi setelah Perang Dunia III, saat terjadi peningkatan penggunaan energi mencapai enam kali lipat sampai tahun 70-an. Situasi ini mungkin serupa dengan kondisi penggunaan energi di Indonesia saat ini," paparnya.

Kemudian ia menyebut periode selanjutnya di Denmark mengakibatkan krisis minyak yang membuat negaranya kesulitan karena tak punya cadangan batu bara.

"Krisis energi meningkat untuk mencari minyak dan gas di North Sea di mana Denmark memiliki aksesnya. Tapi pada akhirnya Denmark berupaya fokus pada efisiensi energi atau efisiensi energi dengan membuat konsumen membayar harga asli dari energi yang digunakan, dan hal itu diyakini juga akan terjadi di negara dengan kekurangan energi besar," jelasnya.

Menurut Torsten, langkah itu adalah salah satu cara untuk memastikan negara memiliki efisiensi energi. "Dengan itu memaksa konsumen membayar biaya penuh energi yang mereka layak dapat dan butuhkan, tetapi itu juga satu-satunya cara untuk memastikan bahwa Anda memiliki penggunaan energi yang efisien".

Upaya itu, sambung Torsten, dinilai efektif karena akan lebih sulit untuk memiliki sistem yang efisien jika konsumen tidak membayar harga yang sebenarnya. "Membayar biaya sebenarnya untuk memiliki energi, dan itulah yang kami lakukan di Denmark, kami memaksa konsumen untuk membayar penuh biaya energi."

Dari kebijakan tersebut, lanjut Torsten, memunculkan upaya mengelola industri yang bisa dimanfaatkan hari ini di Denmark dan fokus pada penggunaan hemat energi. Bukan hanya di lingkup rumahan tetapi juga di sektor industri.

Teknologi yang melayani penggunaan energi yang lebih efisien. Itulah yang terjadi di Denmark pada tahun 70-an.

Dengan cara penggunaan teknologi tersebut, penggunaan energi di masyarakat Denmark dari tahun 1970 sampai sekarang tetap stabil.

3 dari 4 halaman

Efisiensi Enegri Bikin Denmark Lebih Kaya Tanpa Peningkatan Pemakaian Energi

Torsten mengatakan bahwa upaya efisiensi energi telah berdampak pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sejak tahun 1970 hingga saat ini. Meningkat hingga 150 persen.

"Jadi sehat menurut standar negara maju adalah pertumbuhan yang sehat dalam PDB kita. Hal itu sebanding dengan pertumbuhan populasi dalam periode tertentu, sehingga Denmark tumbuh lebih kaya tetapi tidak dengan biaya penggunaan energi yang meningkat," tuturnya lagi.

"Jadi kami telah mempertahankan penggunaan energi kami sambil tetap menumbuhkan ekonomi kami, kami memiliki penggunaan energi yang lebih efisien tetapi masih dengan pertumbuhan yang lebih tinggi. Itu semacam fase pertama pasca perang dunia II," jelasnya.

Torsten kemudian mengungkap fase kedua transisi energi Denmark yang berfokus pada efisiensi, dan fase ketiga pada saat ini, perkembangan mulai sekitar tahun 2004 terjadi penggantian bahan bakar fosil dengan energi terbarukan. "dan itulah proses yang sedang kita jalani saat ini."

"Mengganti batu bara terlebih dahulu sebelum melakukannya pada minyak dengan energi terbarukan. Dan dalam kasus kami, sangat banyak angin tetapi juga derajat matahari yang lebih besar. Dan saya yakin untuk Indonesia teknologi yang sama akan sangat banyak teknologi yang dapat diterapkan yang ada saat ini," tuturnya.

Denmark saat ini, sambung Torsten, adalah dampak masa lalu dari mengembangkan sektor angin dan sektor surya yang mungkin dapat Anda manfaatkan hari ini.

Denmark mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa pertumbuhan energi dari poin konsumen yang diminta membayar penggunaan energi. "Itu bisa sangat sulit juga di Denmark, tetapi begitu Anda melakukannya, Anda mendapatkan sistem energi yang lebih efisien."

Torsten memaparkan Denmark mengganti pembangkit listrik tenaga batu bara dengan tenaga angin dan matahari. Langkah kedua adalah mengganti produksi panas dari batu bara dan biomassa ke metode heat pump atau pompa panas. Beralih ke mobil listrik.

Pada tahun 1980 kekuatan di Denmark adalah 15 pembangkit listrik yang relatif besar dan tidak cukup untuk memberikan kekuatan penuh kami.

Tapi saat ini bisa mendapatkan sistem tenaga yang meja dan efisien dengan banyak produsen listrik independen yang berbeda dan ya Denmark bisa melakukannya karena 15 pembangkit listrik sangat mudah diatur tidak dengan beban negara tetapi sangat berat.

4 dari 4 halaman

Bagaimana Peluang Indonesia Ikut Jejak Transisi Energi Denmark?

Mantan staf di Kementerian Energi Denmark itu mengatakan awalnya sulit "ketika kami memulai transisi ini dengan angin dan matahari, awalnya mungkin Anda dapat memiliki 15 persen energi di jaringan listrik Anda. Lebih dari itu akan menjadi sangat tidak stabil."

Torsten mengatakan sebenarnya dari tahun 2022 lalu 65 persen atau 2/3 produksi listrik Denmark sudah berasal dari angin dan matahari. "Jadi sebenarnya mungkin untuk membangun sistem dengan angin dan matahari dan matahari dalam hal pembangkit listrik yang menciptakan sistem tenaga yang sangat stabil".

Saat ini, sambungnya, kami telah secara efektif menghilangkan emisi dari banyak sektor dengan beralih ke tenaga surya dan angin serta sejumlah kecil biomassa. "Saat ini energi matahari dan angin sangat kompetitif jika disandingkan dengan energi dari batubara dan minyak," tegas Torsten.

Sementara itu menurut Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, transisi energi di Indonesia masih sulit dilakukan karena aturan yang ada masih belum jelas.

"Yang perlu kita lakukan adalah memperlakukan krisis iklim ini sebagai perbandingan. Itu harus menjadi kerangka peraturan yang berbeda yang perlu dibuat, jika sudah dibuat dan terjadi masalah kita harus merevisi aturannya. Tapi tokoh politik utama belum melihat ke arah itu," ucap Leonard Simanjuntak mengisyaratkan aturan soal transisi energi agar dapat diperbaiki pemerintah Indonesia ke depannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini