Sukses

Iran Eksekusi Mati 3 Pria atas Tuduhan Kekerasan Mematikan Selama Protes Anti-Pemerintah

Mizan, situs web kehakiman Iran, mengonfirmasi eksekusi mati atas Majid Kazemi, Saleh Mirhashemi, dan Saeed Yaghoubi tanpa menyebut bagaimana mereka kehilangan nyawa.

Liputan6.com, Teheran - Iran pada Jumat (19/5/2023), mengeksekusi mati tiga pria yang dituduh melakukan kekerasan mematikan selama protes anti-pemerintah tahun lalu.

Mizan, situs web kehakiman Iran, mengonfirmasi eksekusi mati atas Majid Kazemi, Saleh Mirhashemi, dan Saeed Yaghoubi tanpa menyebut bagaimana mereka kehilangan nyawa.

Pihak berwenang mengatakan, mereka membunuh seorang petugas polisi dan dua anggota kelompok paramiliter Basij di Kota Isfahan pada November selama protes nasional.

Sementara itu, kelompok pemantau HAM mengklaim bahwa ketiganya menjadi sasaran penyiksaan, dipaksa untuk mengaku di televisi, dan menolak proses hukum.

Protes meletus September lalu pasca kematian Mahsa Amini, yang ditahan polisi moral negara itu karena diduga melanggar aturan berpakaian Islami. Demonstrasi dengan cepat meningkat menjadi seruan untuk menggulingkan teokrasi yang telah memerintah Iran sejak Revolusi Islam 1979.

Demonstrasi sebagian besar telah mereda dalam beberapa bulan terakhir, meskipun masih ada tindakan pembangkangan sporadis, termasuk penolakan semakin banyak perempuan untuk mengenakan jilbab.

Iran telah mengeksekusi mati total tujuh orang sehubungan dengan protes nasional. Kelompok-kelompok pemantau HAM menyatakan bahwa mereka dan sejumlah orang lainnya telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan keamanan rahasia negara dan ditolak haknya untuk membela diri.

"Penuntutan mengandalkan 'pengakuan' paksa dan dakwaan itu penuh dengan kejanggalan yang mengungkapkan bahwa ini adalah kasus bermotivasi politik," ungkap direktur eksekutif Pusat HAM di Iran yang berbasis di New York Hadi Ghaemi merespons eksekusi mati terbaru seperti dikutip dari AP, Sabtu (20/5).

Kelompok itu mengklaim bahwa Kazemi telah menelepon seorang kerabat dan mengaku pihak berwenang menyiksanya dengan mencambuk kakinya, menggunakan senjata kejut listrik, dan mengancamnya dengan pelecehan seksual.

Amnesty International yang berbasis di London juga mengkritik eksekusi mati yang dijalankan Iran.

"Cara yang mengejutkan di mana persidangan dan hukuman para pengunjuk rasa ini dilacak dengan cepat melalui sistem peradilan Iran di tengah penggunaan 'pengakuan' yang tercemar oleh penyiksaan, cacat prosedural yang serius, dan kurangnya bukti adalah contoh lain dari ketidakpedulian otoritas Iran atas hak hidup dan peradilan yang adil," kata wakil direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Diana Eltahawy.

2 dari 2 halaman

Lonjakan Eksekusi Mati di Iran

Iran melancarkan tindakan keras terhadap demonstrasi, menggambarkannya sebagai konspirasi yang didukung asing. Namun, para pengunjuk rasa mengatakan bahwa mereka muak setelah puluhan tahun mengalami penindasan dan pemerintahan yang buruk.

Perekonomian Iran mengalami kejatuhan sejak Amerika Serikat (AS) secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dan kembali menerapkan sanksi yang melumpuhkan.

Utusan AS untuk Iran Robert Malley menegaskan pihaknya menentang eksekusi mati terhadap ketiga pria tersebut, menyebutnya sebagai penghinaan terhadap HAM dan martabat dasar semua rakyat Iran yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak belajar apapun dari protes tersebut.

"AS akan terus berdiri bersama rakyat Iran. Kami berkoordinasi erat dengan sekutu dan mitra kami untuk mengungkap dan menghadapi pelanggaran HAM yang tak henti-hentinya oleh rezim Iran," twit Malley.

Uni Eropa mengutuk keras eksekusi mati dan mendesak Iran menghapusnya.

Lebih dari 500 orang tewas selama berbulan-bulan protes nasional di Iran, termasuk puluhan anggota pasukan keamanan. Sekitar 19.000 orang ditangkap, namun banyak yang telah dibebaskan.

Setidaknya 582 orang dieksekusi mati di Iran pada tahun 2022, naik dari 333 tahun sebelumnya. Lonjakan eksekusi, termasuk untuk pelanggaran narkoba dan tuduhan tidak jelas tentang "permusuhan terhadap Tuhan" dan "menyebarkan korupsi di bumi", telah menuai kritik dari pejabat PBB dan aktivis HAM.