Sukses

Referendum Jadi Kunci Erdogan Bisa Berkuasa 25 Tahun di Turki

Erdogan bisa berkuasa selama 25 tahun berkat referendum Turki, alhasil ia terus duduk di kursi kekuasaan.

Liputan6.com, Ankara - Recep Tayyip Erdogan berhasil meraih kemenangan di pemilu Turki 2023. Ia meraih 52,18 persen suara, sementara pesaingnya Kemal Kılıçdaroğlu (KK) mengantongi 47,8 persen suara. 

Kemenangan ini menandakan kekuasaan Recep Tayyip Erdogan yang memasuki dekade ketiga. Totalnya, ia akan berkuasa selama 25 tahun hingga masa jabatan terbaru berakhir.

Total jabatan 25 tahun itu sangatlah panjang bagi negara-negara demokrasi modern. Sebagai perbandingan, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher (The Iron Lady) berkuasa selama 11 tahun, Kanselir Jerman Angela Merkel menjabat selama 14 tahun.

Sementara, negara-negara sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan memiliki masa jabatan yang fiks antara lima hingga 10 tahun. 

Referendum Adalah Kunci

Erdogan awalnya berkuasa di Turki sebagai perdana menteri pada tahun 2003 hingga 2014. Setelah jabatannya selesai, Erdogan pindah menjadi presiden. 

Taktik "pindah-pindah" ini serupa dengan taktik Presiden Rusia Vladimir Putin yang berkuasa dari awal tahun 2000-an. Ia awalnya adalah presiden, kemudian jadi perdana menteri, lalu ia kembali menjadi presiden.

Namun, Turki menggelar referendum yang signifikan pada 2017. Referendum itu diajukan oleh partai AKP yang mendukung Erdogan. Dampak dari referendum itu adalah amandemen agar jabatan presiden semakin perkasa. 

Jabatan presiden di Turki sebelumnya hanya simbolis sebagai kepala negara, sementara PM adalah kepala pemerintahan. 

Brookings Institute mencatat bahwa Referendum Turki bisa membuat presiden mengatur isu politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Presiden lantas menjadi kepala negara dan pemerintahan. Alhasil, kemenangan referendum itu membuat Erdogan kembali berkuasa secara penuh di Turki hingga hari ini.

2 dari 4 halaman

Komentar Human Rights Watch

Human Rights Watch (HRW) menyorot timing dari referendum yang digelar pemerintahan Turki. Saat itu, ada upaya kudeta yang diasosiasikan ke gerakan Fethullah Gulen, atau dengan kelompok politik yang diduga terkait gerakan kelompok Kurdi.

Alhasil, saat itu situasi media dibungkam dan dialog terbuka sulit dilakukan ketika pemerintahan Erdogan menggelar Erdogan.

"Media independen di Turki telah dibungkam, dengan lebih dari 160 outlet media dan rumah penerbitan yang ditutup sejak Juli 2016, dan lebih dari 120 jurnalis dan pekerja media ditahan menunggu persidangan," tulis HRW di situsnya pada 2017.

"Situasi itu dengan parah membatasi kemungkinan debat publik terbuka terkait amandemen-amandemen konstitusi dan juga untuk debat politik oleh semua partai yang terpilih di parlemen," lanjut HRW.

Komisi Venesia (Venice Commission) yang merupakan bagian dari Dewan Eropa menyampaikan keprihatinan terkait referendum tersebut, pasalnya situasi di Turki sedang tidak kondusif untuk referendum yang inklusif.

"Lingkungan yang luar biasa tidak nyaman bagi jurnalisme dan kemiskinan yang bertambah dan debat publik sepihak yang muncul di Turki pada saat ini memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan menggelar kampanye demokratis yang bermakna serta inklusif tentang keinginan untuk amandemen," jelas pihak Venice Commission.

3 dari 4 halaman

Erdogan Jadi Presiden Turki 3 Periode, Ini yang Diprediksi Terjadi

Sebelumnya dilaporkan, konsekuensi kemenangan Recep Tayyip Erdogan dalam Pilpres Turki 2023 dinilai akan bergema hingga ke seluruh dunia. Sosok yang telah memimpin Turki selama 20 tahun terakhir itu menang dengan perolehan lebih dari 52 persen suara, sementara pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu (74) hanya mampu meraih lebih dari 47 persen suara.

Oposisi semula menilai bahwa Pilpres Turki 2023 merupakan momentum untuk menggulingkan Erdogan menyusul sentimen negatif terhadap sejumlah isu, termasuk krisis biaya hidup. Lantas, apa dampak kemenangan Erdogan, khususnya terhadap Turki? Berikut ulasannya seperti dilansir dari berbagai sumber.

Cengkeraman Kekuasaan Erdogan Semakin Ketat

Terpilih kembali melalui Pilpres Turki 2023, otomatis menjadikan Erdogan pemimpin terlama dalam sejarah negara itu. Dan selama itu pula dia disebut telah mengonsolidasikan kekuasaannya melalui perubahan konstitusi, mengikis lembaga-lembaga demokrasi termasuk peradilan dan media, serta memenjarakan lawan dan kritikus.

Peneliti di think tank Chatham House, Galip Dalay, menuturkan bahwa bagi Turki masa jabatan ketiga Erdogan sebagai presiden berarti adalah sebuah "kelanjutan". Di bawah Erdogan, yang pertama kali berkuasa sebagai perdana menteri pada tahun 2003 (peran yang dijalaninya selama 11 tahun sebelum menjadi presiden tahun 2014), Turki dipandang telah mundur ke arah otoritarianisme.

Pada tahun 2018, Freedom House menurunkan status Turki dari negara "sebagian bebas" menjadi "tidak bebas". Human Rights Watch dalam laporannya pada tahun 2022 juga menggarisbawahi kemunduran rezim Erdogan terkait catatan hak asasi manusia (HAM) Turki.

Profesor Geopolitik Eropa di Universitas Carlos III Ilke Toygur menilai bahwa kemenangan Erdogan dalam Pilpres Turki 2023 bisa membuat situasi lebih buruk.

"Saya bahkan mengharapkan sikap yang lebih menakutkan ketika menyangkut demokrasi dan kebijakan luar negeri," kata Toygur.

4 dari 4 halaman

Islam dan Ekonomi

Erdogan populer di kalangan pemilih konservatif dan religius. Dia membela hak-hak muslim konservatif setelah puluhan tahun rezim sekuler berkuasa, termasuk mengizinkan perempuan mengenakan jilbab di gedung-gedung publik.

Terbuka lebar peluang bagi Erdogan mengejar kebijakan yang lebih Islamis pada masa mendatang menyusul laporan bahwa dia memperluas aliansinya dengan kelompok-kelompok Islam, seperti Huda Par dan Yeniden Refah sebelum pemilu Turki.

Pemilu Turki digelar di tengah krisis ekonomi, yang diperparah oleh gempa dahsyat pada 6 Februari 2023.

Ekonom mengatakan kebijakan suku bunga rendah Erdogan mendorong inflasi hingga 85 persen tahun lalu, dengan lira anjlok hingga sepersepuluh nilainya terhadap dolar selama dekade terakhir.

Analis memperkirakan prioritas pertama Erdogan pada masa jabatan terbarunya adalah memperbaiki ekonomi. Meski demikian, tidak ada perubahan signifikan yang diyakini akan terjadi.

"Ada banyak masalah ekonomi di Turki. Jadi, ini adalah titik terlemah rezim Erdogan," kata ekonom Arda Tunca kepada Euronews.

Pasca gempa dahsyat 6 Februari 2023, para penentang Erdogan mengira para pemilih akan "menghukumnya" menyusul respons lamban atas bencana itu.

Namun, putaran pertama pemungutan suara pada 14 Mei menunjukkan hal sebaliknya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan muncul di posisi teratas dalam pemilu parlemen di 10 dari 11 provinsi yang terdampak gempa, membantunya mengamankan mayoritas parlemen bersama dengan sekutunya.

Meskipun Erdogan telah menggunakan nasionalisme untuk mempertahankan popularitasnya, krisis ekonomi tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cepat.