Liputan6.com, Dakar - Bentrokan antara polisi dan pendukung pemimpin oposisi Senegal Ousmane Sonko pada Jumat (2/6/2023) menewaskan sembilan orang. Pihak berwenang mengeluarkan larangan menyeluruh atas penggunaan beberapa platform media sosial pasca kekerasan.
"Kematian terjadi terutama di Dakar dan Kota Ziguinchor, tempat Sonko tinggal dan menjabat sebagai wali kota," kata Menteri Dalam Negeri Senegal Antoine Felix Abdoulaye Diome seperti dilansir AP, Sabtu (3/6).
"Sejumlah situs media sosial yang digunakan para demonstran untuk menghasut kekerasan, seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter telah ditangguhkan."
Advertisement
Diome menambahkan, "Senegal telah mengambil segala tindakan untuk menjamin keselamatan rakyat dan properti. Kami akan memperkuat keamanan di mana pun di negara ini."
Pada Jumat, pemerintah juga mengerahkan militer ke beberapa bagian kota saat bentrokan berlanjut antara polisi dan pendukung Sonko.
Sonko dinyatakan bersalah pada Kamis (1/6) atas tuduhan merusak seorang pemuda, namun dia dibebaskan atas tuduhan memperkosa seorang wanita yang bekerja di panti pijat dan membuat ancaman pembunuhan terhadapnya. Sonko, yang tidak menghadiri persidangannya di Dakar, dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Pengacaranya mengatakan surat perintah belum dikeluarkan untuk penangkapannya.
Merusak kaum muda, termasuk menggunakan posisi/kekuasaan untuk berhubungan seks dengan orang di bawah usia 21 tahun adalah tindak pidana di Senegal yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara dan denda hingga USD 6.000.
Berada di urutan ketiga dalam Pilpres Senegal 2019, Sonko disebut populer di kalangan pemuda negara itu. Para pendukungnya bersikeras bahwa masalah hukum yang dituduhkan kepadanya adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menggagalkan pencalonannya dalam Pilpres Senegal 2024.
Sonko dianggap sebagai pesaing utama Presiden Macky Sall dan telah mendesak Sall untuk menyatakan secara terbuka bahwa dia tidak akan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga.
Di bawah hukum Senegal, vonis terhadap Sonko akan melarang dia mencalonkan diri dalam Pilpres Senegal 2024. Tidak jelas kapan dia akan ditahan.
Sejak putusan diumumkan, bentrokan meletus di seluruh negeri, dengan pengunjuk rasa melempar batu, membakar kendaraan, dan di beberapa tempat mendirikan barikade sementara polisi menembakkan gas air mata.
Bentrokan memaksa penutupan universitas utama di Dakar.
"Saya menyalahkan para siswa atas vandalisme. Adapun situasi di dalam negeri, saya menyalahkan pemerintah," kata Saliou Bewe, seorang mahasiswa S2 berusia 25 tahun.
Bewe mengatakan ini adalah kedua kalinya universitas ditutup karena protes terkait Sonko. Pada tahun 2021, setidaknya 14 orang tewas dalam bentrokan ketika pihak berwenang menangkap Sonko karena mengganggu ketertiban umum dalam perjalanan ke sidang pengadilannya. Kali ini, kata Bewe, jauh lebih buruk.
"Bus dan ruang kelas dirusak. Ada banyak vandalisme dan itu menyedihkan," ungkap Bewe, seraya menyatakan bahwa dia ragu dia akan dapat mengikuti ujian yang dijadwalkan berlangsung dalam waktu 10 hari.
Respons Pemerintah Dikritik
Pasukan keamanan berpatroli di jalan-jalan pada Jumat dan berjaga di luar beberapa supermarket dan toko, mengantisipasi lebih banyak kerusuhan. Keamanan ketat tetap ada di sekitar rumah Sonko dengan polisi mencegah siapa pun mendekati tempat itu. Sonko belum terdengar kabarnya sejak vonis dijatuhkan. Namun, partainya PASTEF-Patriots menyerukan agar orang-orang turun ke jalan sebagai protes.
Kelompok HAM mengutuk tindakan keras pemerintah, termasuk penangkapan sewenang-wenang dan pembatasan media sosial.
"Pembatasan hak kebebasan berekspresi dan informasi ini merupakan tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan hukum internasional dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan keamanan," ungkap Amnesty International.
Kementerian Prancis untuk Eropa dan Urusan Luar Negeri mengatakan sangat prihatin dengan kekerasan dan menyerukan penyelesaian krisis ini, sesuai dengan tradisi demokrasi Senegal yang panjang.
Juru bicara pemerintah Abdou Karim Fofana mengatakan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh demonstrasi berbulan-bulan telah merugikan negara itu jutaan dolar. Dia berpendapat bahwa pengunjuk rasa itu sendiri merupakan ancaman bagi demokrasi.
"Seruan (untuk memprotes) ini mirip dengan sifat anti-republik dari semua gerakan yang bersembunyi di balik jejaring sosial dan tidak percaya pada fondasi demokrasi, yaitu pemilu, kebebasan berekspresi, serta sistem (hukum)," kata Fofana.
Advertisement