Liputan6.com, Rapid City - Sudah 51 tahun sejak banjir bandang terbesar menghancurkan wilayah Rapid City, South Dakota, Amerika Serikat.
Mengutip CBS, Kamis (8/6/2023), sebanyak lebih dari 200 orang disebut tewas akibat bencana yang terjadi pada tanggal 9 Juni 1972 itu.
Baca Juga
Sore harinya, National Weather Service mengatakan bahwa terjadi badai petir yang lebat yang membawa hujan deras.
Advertisement
Hujan itu menyebabkan Rapid Creek, sungai di Rapid City, naik dengan cepat. Hingga malam hari, hujan tak juga melambat.
NWS mengatakan bahwa selama banjir air naik secepat 3,5 kaki (1,06 meter) hanya dalam 15 menit.
Banjir mencapai puncaknya pada pukul 12.15 waktu setempat, ketika diperkirakan 50.000 kaki kubik per detik air mencapai pusat kota Rapid City.
Pada pukul lima pagi keesokan harinya, situasi di kota itu sudah menjadi teramat sangat parah.
Banjir bandang menyebabkan kerusakan besar di seluruh Rapid City dan kaki bukit timur Black Hills.
Ribuan penduduk terluka dan angka korban tewas telah mencapai 238 orang.
Sapuan air merusak 1.335 rumah dan 5.000 mobil disebut hancur bersama dengan 15 dari 23 jembatan yang berada di sepanjang Rapid Creek.
Seorang pengamat cuaca dari WCCO, Janice Thompson, yang saat ini tinggal di Pine Island, Minnesota, sedang berada di dekat Rapid Creek saat banjir bandang terjadi.
Ia memperlihatkan foto yang menangkap bagaimana rumahnya hancur karena bencana tersebut.
Besar Kerugian Capai Rp2,4 Triliun
Thompson membagikan beberapa informasi tentang apa yang dialaminya hari itu.
Ia tinggal di sebelah Rapid Creek, “Sekitar pukul 11 malam, badai petir terus berlanjut dan air naik sangat cepat,” ucapnya.
“Saya membawa anjing saya, Heidi, dan melaju ke tempat yang lebih tinggi dengan Mustang kami.”
Thompson yang segera bertindak pada saat itu akhirnya berhasil menyelamatkan diri, “Saya berhasil mendapatkan ke tempat yang lebih tinggi dan bermalam di rumah seorang teman.”
Keesokan harinya ia mendapati rumah trailer mereka ditemukan lima blok di jalan, dengan lubang besar di sampingnya.
Kerusakan dan kerugian yang terjadi membuatnya peristiwa banjir bandang paling mematikan di AS.
Kerusakannya pun disebut menjadi yang paling mahal pada saat itu, mencapai 165 juta dolar, setara 2,4 triliun rupiah.
Hingga saat ini, para korban masih mengenang kejadian tersebut, banyak hal yang tidak dapat mereka lupakan.
Beberapa media juga masih terus mengulas kembali tragedi banjir bandang tersebut di setiap tahunnya.
Advertisement
Lebih dari 300 Orang Tewas Akibat Banjir Bandang dan Longsor di RD Kongo, Rwanda
Banjir bandang parah lainnya juga sempat terjadi Mei lalu di Kongo. Bencana tersebut menewaskan ratusan warga.
Korban tewas akibat banjir bandang dan tanah longsor di Republik Demokratik Kongo (RD Kongo) telah meningkat mencapai lebih dari 200 orang dan sejumlah lainnya masih hilang, kata otoritas setempat.
Bencana melanda bagian timur RD Kongo, di Provinsi South Kivu, tempat di mana Danau Kivu berada.
Kalehe, wilayah di Kivu yang paling terpukul, melaporkan bahwa sejauh ini 203 jenazah telah ditemukan, demikian seperti dikutip dari VOA, Minggu (7/5/2023). Upaya pencarian untuk menemukan korban lain yang dilaporkan hilang masih berlanjut.
Di desa Nyamukubi, di mana ratusan rumah hanyut, petugas penyelamat dan penyintas menggali reruntuhan pada Sabtu 6 Mei untuk mencari lebih banyak mayat di lumpur.
Penduduk desa menangis ketika mereka berkumpul di sekitar beberapa jenazah yang ditemukan, yang tergeletak di rerumputan dan tertutup kain berlumpur di dekat pos penyelamat.
Hujan Deras di Haiti Picu Banjir dan Longsor, 15 Orang Tewas dan Nyaris 13.400 Warga Mengungsi
Hujan yang tak henti-henti dapat membawa bencana yang lebih besar. Sama halnya dengan yang terjadi di South Dakota, hujan deras di Haiti akibatkan banjir dan tanah longsor.
Hujan deras yang menyebabkan banjir massal dan tanah longsor dilaporkan terjadi selama akhir pekan lalu di Haiti.
Melansir ABC News, Selasa (6/6/2023), menurut pihak berwenang sedikitnya 15 orang tewas dan delapan lainnya hilang.
Sungai meluap pada Sabtu 3 Juni pagi akibat hujan yang tak kunjung berhenti semakin memperparah situasi, pemerintah setempat segera memberlakukan tindakan darurat, mengutip UPI.
Hujan deras itu memaksa banyak penduduk pergi menyelamatkan diri dari tempat tinggal mereka.
Hampir 13.400 orang mengungsi karena air merendam ratusan rumah di seluruh negeri.
Tak hanya itu, beberapa jalanan berubah menjadi sungai dengan air berwarna cokelat. Dengan arus deras yang berbahaya, menurut Badan Perlindungan Sipil Haiti.
Advertisement