Sukses

Dilanda Perang Saudara, Lebih dari 13 Juta Anak di Sudan Butuh Bantuan Kemanusiaan Mendesak

Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, pada Kamis (8/6) mengatakan bahwa lebih dari 13,6 juta anak di Sudan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk menyelamatkan hidup mereka.

Liputan6.com, Khartoum - Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, pada Kamis (8/6) mengatakan bahwa lebih dari 13,6 juta anak di Sudan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk menyelamatkan hidup mereka.

Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Sudan di tengah meningkatnya pertempuran di antara pihak-pihak yang bertikai.

Negara Afrika yang dilanda konflik tersebut selama beberapa pekan terakhir menghadapi pertempuran antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Konflik itu kian mengancam nyawa dan masa depan keluarga dan anak-anak, menghentikan layanan dasar, dan banyak fasilitas kesehatan yang tutup, rusak serta hancur, kata UNICEF sebagaimana diwartakan Anadolu, dikutip dari Antara (11/6/2023).

Badan PBB itu telah mengajukan dana 838 juta dolar AS (sekitar Rp12,4 triliun) untuk mengatasi krisis tersebut.

Sebanyak 297 anak telah dievakuasi dari panti asuhan Mygoma di ibu kota Khartoum dan dipindahkan ke pusat transit di lokasi yang lebih aman, katanya.

Perwakilan UNICEF di Sudan Mandeep O’Brien mengatakan bahwa jutaan anak masih menghadapi risiko di seluruh Sudan, terancam oleh perang dan pengungsian, dan kurangnya layanan dasar.

"Masa depan mereka terancam oleh konflik ini setiap hari," kata dia.

 

2 dari 2 halaman

Dampak dari Konflik di Sudan

Lebih dari 700 orang tewas, termasuk 190 anak, dan 6.000 orang lainnya terluka, menurut PBB.

Selain itu, lebih dari 1 juta warga telah diungsikan dan 840 ribu lainnya mencari perlindungan di daerah perdesaan dan negara bagian lain, sedangkan 250.000 orang lainnya sudah menyeberangi perbatasan Sudan.

Perbedaan pendapat di antara pihak-pihak yang bertikai telah meruncing dalam beberapa bulan belakangan terkait integrasi RSF ke dalam militer, yang menjadi syarat utama dalam kesepakatan transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan status darurat. Langkah militer itu dikecam kekuatan-kekuatan politik di negara itu, yang menyebutnya sebagai "kudeta".

Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah Presiden Omar Al Bashir dilengserkan, semula akan diakhiri dengan pemilu pada awal 2024.