Liputan6.com, Washington - Keberadaan pasti kapal selam wisata ke bangkai kapal Titanic dan kondisi lima awaknya yang hilang kontak sejak Minggu (18/6/2023), hingga kini belum diketahui.
Jika kapal selam Titan masih utuh, mungkin stok oksigen di dalamnya hanya tersisa beberapa jam lagi, membuat tim pencari dan penyelamat berpacu dengan waktu.
Baca Juga
Namun, ahli pengobatan hiperbarik dari Universitas Memorial di St. John's, Ken LeDez, mengungkap kemungkinan lain. Menurutnya, garis waktu tidak harus kaku demikian dan kondisi awak kapal selam Titan dapat saja bertahan lebih lama dari yang diperkirakan.
Advertisement
"Itu tergantung pada seberapa dingin kondisi mereka dan seberapa efektif mereka menghemat oksigen," ujar LeDez seperti dilansir BBC, Kamis (22/6).
Dia menambahkan bahwa menggigil akan menghabiskan banyak oksigen, sementara berkerumun dapat membantu menghangatkan, yang artinya menghemat oksigen.
LeDez menuturkan lebih lanjut bahwa kehabisan oksigen adalah proses bertahap.
"Itu tidak seperti mematikan lampu, melainkan seperti mendaki gunung - sementara suhu semakin dingin dan metabolisme menurun (tergantung) seberapa cepat Anda mendaki gunung itu," terang LeDez.
Dengan catatan sejauh ini belum diketahui situasi riil di dalam kapal selam, LeDez mengingatkan bahwa kondisinya tentu berbeda dari orang ke orang. Dan kehabisan oksigen, sebut LeDez, bukan satu-satunya bahaya yang dihadapi awak kapal selam.
Kapal selam dapat saja telah mati listrik, yang kemungkinan berperan dalam mengontrol jumlah oksigen dan karbon dioksida. Saat tingkat oksigen turun, proporsi karbon dioksida yang diembuskan oleh awak kapal akan meningkat. Konsekuensinya berpotensi fatal.
"Kadar karbon dioksida yang meningkat membuatnya menjadi obat penenang, seperti gas anestesi, dan Anda akan tertidur," jelas LeDez.
Terlalu banyak gas dalam aliran darah seseorang atau dikenal pula dengan hiperkapnia, dapat membunuh jika tidak diobati.
Mantan kapten kapal selam Angkatan Laut Inggris Ryan Ramsey mengungkapkan bahwa berdasarkan video Titan yang ditontonnya, dia tidak melihat adanya sistem penghilang karbon dioksida di dalam kapal selam atau yang dikenal pula dengan sebutan scrubber.
"Menurut saya itu adalah masalah terbesar dari semuanya," kata Ramsey.
Risiko Hipotermia
Pada saat yang sama, awak kapal selam Titan berisiko terkena hipotermia, yaitu keadaan suhu tubuh yang turun hingga di bawah 35 derajat Celcius.
Ramsey menuturkan, jika kapal selam Titan berada di dasar laut, suhu air bisa mencapai sekitar 0 derajat Celcius. Dalam kondisi mati listrik, otomatis kapal tidak mampu menghasilkan panas.
"Ada kemungkinan jika mereka cukup tenang dan kehilangan kesadaran, mereka dapat bertahan hidup, dan tim penyelamat tahu betul soal ini," kata LeDez, seraya menambahkan bahwa tubuh secara otomatis akan mencoba beradaptasi untuk bertahan hidup.
Namun, bagaimanapun, kekurangan oksigen, penumpukan karbon dioksida di dalam kapal selam, dan hipotermia, berarti kemampuan awak kapal untuk melakukan kontak dengan misi pencari dan penyelamat, seperti menggedor lambung kapal secara berkala untuk mencoba dan menarik perhatian, akan berkurang.
"Jika mereka tidak sadar, mereka tidak akan bisa berbuat banyak untuk membantu diri mereka sendiri," ujar LeDez.
Terkait makanan dan minuman, Penjaga Pantai AS mengatakan bahwa stoknya terbatas. Mereka sendiri tidak dapat mengungkapkan berapa banyak.
Terlepas dari semua tantangan di atas, LeDez mendesak untuk tidak membatalkan operasi pencarian dan penyelamatan terlalu dini.
Advertisement