Liputan6.com, Washington - Seorang penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diberi akses tak terbatas ke pusat penahanan Amerika Serikat (AS) di Teluk Guantanamo, melaporkan bahwa para tahanan menghadapi perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Situs penahanan tersebut, menurut pelapor khusus PBB untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar saat melawan terorisme Fionnuala Ni Aolain, harus ditutup.
Fionnuala mengungkapkan laporan terbarunya tentang perlakuan terhadap tahanan dan mantan tahanan di Teluk Guantanamo pada Senin (26/6/2023). Dia mengaku juga telah bertemu dengan para korban serangan teror 11 September.
Baca Juga
Kunjungan Fionnuala menandai kedatangan resmi pertama pakar PBB ke Guantanamo.
Advertisement
Bagaimanapun, Fionnuala mengakui bahwa kondisi di penjara Guantanamo telah membaik dalam beberapa tahun terakhir. Dia memuji pemerintahan Joe Biden atas janji publiknya untuk menutup kamp tahanan Teluk Guantanamo yang juga disebut Gitmo.
"Pemerintah AS memimpin dengan memberi contoh... mengatasi masalah hak asasi manusia yang paling sulit," kata Fionnuala dalam pernyataannya seperti dilansir NPR, Rabu (28/6). "Saya menegaskan keterbukaan kunjungan teknis, semangat dialog konstruktif positif yang menopangnya, dan pentingnya akses ke semua tempat penahanan..."
Laporan Fionnuala muncul di tengah menghangatnya kembali pembahasan terkait nasib lima dalang serangan teror 9/11 setelah pejabat Biden mengatakan mereka bertujuan untuk menutup Gitmo. Meski pemerintah AS telah memindahkan sejumlah tahanan Guantanamo dalam beberapa tahun terakhir, fasilitas penahanan itu tetap beroperasi.
Masih Ada 30 Tahanan di Guantanamo
Pada tahun 2016, Presiden Barack Obama menyebut penjara di Teluk Guantanamo sebagai noda pada catatan AS. Dia berpendapat bahwa penjara itu harus ditutup, namun Donald Trump mengambil langkah yang berbeda ketika dia menjadi presiden. Trump malah menyatakan bahwa dia akan memuat (Guantanamo) dengan beberapa penjahat.
"Tiga puluh orang tetap ditahan di Guantanamo, 19 di antaranya tidak pernah didakwa melakukan kejahatan," kata Fionnuala.
Laporan ekstensif Fionnuala menemukan bahwa pengawasan yang hampir konstan, ekstraksi sel paksa, (dan) penggunaan pengekangan yang tidak semestinya masih ada di fasilitas penahanan Guantanamo. Demikian pula dengan prosedur lain yang melanggar hak asasi manusia. Dia menambahkan bahwa banyak tahanan yang disiksa belum menerima rehabilitasi yang mandiri, holistik, atau memadai.
Fionnuala, yang merupakan seorang profesor di Universitas Minnesota dan Sekolah Hukum Belfast di Universitas Queen, juga bertemu dengan para tahanan yang telah dipulangkan dan dimukimkan kembali. Dia mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki hak dan layanan dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, perumahan, reunifikasi dengan keluarga, hingga kebebasan bergerak.
Mendeklarasikan 9/11 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, Fionnuala mencatat bahwa para korban dan penyintas serangan itu menanggung konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan. Dia menekankan bahwa para otoritas terkait harus berbuat lebih banyak untuk mendukung mereka.
"Sementara saya memuji tindakan legislatif, sosial, simbolik, dan keuangan yang luas yang diambil untuk mendukung korban dan penyintas 9/11, lebih banyak yang harus dilakukan untuk mengisi kesenjangan yang signifikan dalam mewujudkan hak mereka atas reparasi, termasuk ketentuan legislatif yang komprehensif untuk memastikan keamanan jangka panjang dan keandalan kompensasi serta hak medis," imbuhnya.
Advertisement