Liputan6.com, Paris - Prancis dilanda kerusuhan pasca ditembak matinya seorang remaja Prancis keturunan Aljazair berusia 17 bernama Nahel M. Tragedi tersebut terjadi pada Selasa (27/6/2023), di Kota Nanterre, pinggiran Paris.
Terkait kerusuhan Prancis, Kedutaan Besar Republik Indonesia Paris (KBRI Paris) mengonfirmasi bahwa tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang terdampak atau terlibat.
"KBRI Paris telah berkoordinasi dengan kepolisian Kota Nanterre serta simpul-simpul masyarakat Indonesia. Hingga saat ini tidak terdapat WNI yang terdampak atau terlibat kerusuhan tersebut," demikian pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), yang diterima Liputan6.com pada Jumat (30/6).
Advertisement
Dalam keterangannya, Kemlu RI menyebutkan bahwa kerusuhan menyebar ke daerah pinggiran Kota Paris lainnya, termasuk di Seine-Saint Denis, Villeurbanne, dan juga di sejumlah kota besar termasuk Nantes dan Toulouse hingga Rabu (28/6) malam.
Lebih dari 600 orang ditangkap saat pemerintah Prancis berupaya memulihkan ketertiban pasca kematian Nahel.
"Polisi menahan 667 orang," sebut Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin seperti dilansir VOA.
Kementerian Dalam Negeri Prancis menggambarkan penangkapan tersebut sebagai peningkatan tajam dari operasi sebelumnya dalam upaya pemerintah bersikap sangat tegas terhadap para perusuh.
Markas polisi Paris menegaskan bahwa dari jumlah tersebut, 307 di antaranya berasal dari wilayah Paris saja.
Juru bicara polisi juga mengonfirmasi bahwa 200 petugas terluka. Sejauh ini belum ada informasi terkait korban luka di kalangan demonstran.
Kronologi Penembakan Nahel M
Petugas polisi yang dituduh menembak Nahel telah didakwa melakukan pembunuhan melanggar hukum setelah jaksa Pascal Prache mengatakan bahwa penyelidikan awal menyimpulkan syarat penggunaan senjata secara legal tidak terpenuhi.
Jaksa Prache seperti dilansir AP mengungkapkan bahwa petugas berusaha menghentikan Nahel karena dia terlihat sangat muda dan mengendarai Mercedes dengan plat nomor Polandia di jalur bus. Nahel disebut mengabaikan permintaan polisi untuk berhenti dengan menerobos lampu merah, namun dia terjebak macet.
Dua polisi yang terlibat mengaku mereka menodongkan senjata untuk mencegah Nahel melarikan diri. Sementara salah satu yang melepaskan tembakan mengklaim dia khawatir bahwa dia dan rekannya atau orang lain dapat tertabrak mobil.
Keduanya mengatakan merasa terancam saat Nahel tidak mengindahkan perintah untuk berhenti.
Pengacara petugas polisi yang ditahan mengungkapkan kepada saluran TV Prancis, BFMTV, bahwa kliennya menyesal dan merasa hancur.
"Petugas melakukan apa yang menurutnya diperlukan pada saat itu," kata pengacara Laurent-Franck Lienard.
"Dia tidak bangun di pagi hari untuk membunuh orang," kata Lienard. "Dia benar-benar tidak bermaksud membunuh."
Keluarga Nahel dan pihak pengacaranya tidak sekalipun mengatakan bahwa penembakan polisi terkait dengan ras. Namun, tetap saja, aktivis anti-rasisme memperbaharui keluhan mereka tentang perilaku polisi.
"Kita harus lebih dari sekadar mengatakan bahwa segala sesuatunya perlu tenang. Isunya adalah bagaimana kita membuat polisi, ketika mereka melihat orang kulit hitam dan Arab, tidak cenderung meneriaki, menggunakan istilah rasis terhadap mereka, dan dalam beberapa kasus, menembak kepala mereka," kata aktivis anti-rasisme Dominique Sopo yang merupakan pemimpin kelompok kampanye SOS Racisme.
Advertisement