Sukses

Penjarah Beraksi di Kerusuhan Prancis, Apple Store Jadi Target

Penjarahan terjadi di demonstrasi berujung kerusuhan usai kematian pemuda 17 tahun bernama Nahel Merzouk.

Liputan6.com, Paris - Penjarah ikut beraksi di demonstrasi akibat kematian pemuda bernama Nahel Merzouk (17). Sasaran penjarah mulai dari toko senjata, restoran, hingga Apple Store.

Nahel ditembak polisi saat diberhentikan untuk pemeriksaan. Ia diduga melanggar sejumlah aturan lalu-lintas, kemudian ditembak saat mencoba melarikan diri. Nahel adalah keturunan ras minoritas di Prancis.

Menurut laporan AP News, Minggu (2/7/2023), penjarahan terjadi di kota Marseille yang berada di selatan Prancis. Polisi menahan hampir 90 orang karena para pendemo membakar mobil-mobil dan mencoba menjarah toko dengan cara menghancurkan jendela.

Pada Jumat malam waktu setempat, para pendemo menjarah toko senjata api pada Jumat malam waktu setempat. Polisi menangkap satu orang yang membawa senapan berburu.

Kota Lyon di timur juga merasakan penjarahan. Polisi menangkap 30 orang di kota itu, sepertiga di antaranya adalah terkait pencurian.

Di kota Strasbourg yang berbatasan dengan Jerman, para penjarah menarget Apple Store. Polisi memukul mundur para penjarah itu dengan gas air mata.

Sebuah resto cepat saji di area Paris diserang penjarah, namun mereka juga berhasil dihalau polisi. 

Di media sosial, ada video viral yang menampilkan penjarah di Lyon merampok toko motor.

Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin berkata pada Sabtu pagi (1/7) bahwa 1.311 orang ditahan karena kerusuhan yang terjadi, menurut laporan euronews.

Rasisme, Polisi, dan Penjarahan

Penjarahan dan kerusakan yang terjadi di Prancis bak mengulang peristiwa serupa yang terjadi di Amerika Serikat pada 2020 lalu. Mantan Presiden AS Donald Trump sampai mengeluarkan ultimatum kontroversial agar polisi menembak penjarah. 

Di Prancis, isu ras merupakan isu yang tabu. Pasalnya, Prancis menganut prinsip universalisme, sehingga tak pandang warna. Kematian Nahel di tangan polisi lantas memunculkan kembali debat mengenai ras dan kekerasan polisi di Prancis.

Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis pernyataan bahwa sudah saatnya Prancis merenungi masalah rasnya. 

"Ini adalah momen bagi negara tersebut untuk secara serius membahas isu-isu mendalam dari rasisme dan diskriminasi di penegakkan hukum," ujar pernyataan resmi juru bicara kantor HAM PBB Ravina Shamdasani.

2 dari 2 halaman

Kemlu RI: Tidak Ada WNI Jadi Korban dalam Kerusuhan Prancis

Sebelumnya dilaporkan, Prancis dilanda kerusuhan pasca ditembak matinya seorang remaja Prancis keturunan Aljazair berusia 17 bernama Nahel M. Tragedi tersebut terjadi pada Selasa (27/6/2023), di Kota Nanterre, pinggiran Paris.

Terkait kerusuhan Prancis, Kedutaan Besar Republik Indonesia Paris (KBRI Paris) mengonfirmasi bahwa tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang terdampak atau terlibat.

"KBRI Paris telah berkoordinasi dengan kepolisian Kota Nanterre serta simpul-simpul masyarakat Indonesia. Hingga saat ini tidak terdapat WNI yang terdampak atau terlibat kerusuhan tersebut," demikian pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), yang diterima Liputan6.com pada Jumat (30/6).

Dalam keterangannya, Kemlu RI menyebutkan bahwa kerusuhan menyebar ke daerah pinggiran Kota Paris lainnya, termasuk di Seine-Saint Denis, Villeurbanne, dan juga di sejumlah kota besar termasuk Nantes dan Toulouse hingga Rabu (28/6) malam.

Lebih dari 600 orang ditangkap saat pemerintah Prancis berupaya memulihkan ketertiban pasca kematian Nahel.

"Polisi menahan 667 orang," sebut Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin seperti dilansir VOA.

Kementerian Dalam Negeri Prancis menggambarkan penangkapan tersebut sebagai peningkatan tajam dari operasi sebelumnya dalam upaya pemerintah bersikap sangat tegas terhadap para perusuh.

Markas polisi Paris menegaskan bahwa dari jumlah tersebut, 307 di antaranya berasal dari wilayah Paris saja.

Juru bicara polisi juga mengonfirmasi bahwa 200 petugas terluka. Sejauh ini belum ada informasi terkait korban luka di kalangan demonstran.