Sukses

Lukisan Antik yang Hilang Dicuri Nazi Jerman Berhasil Ditemukan, Sempat Nyasar ke Jepang

Lukisan milik aristokrat Polandia ini dicuri Nazi pada tahun 1940.

Liputan6.com, Tokyo - Sebuah lukisan antik karya maestro Italia berhasil ditemukan di Jepang. Lukisan itu dijarah Nazi dari seorang aristokrat Polandia pada tahun 1940 ketika Perang Dunia II berkecamuk.

Lukisan itu bernama "Madonna with Child" karya Alessandro Turchi yang menampilkan sosok Bunda Maria dengan Yesus yang masih bayi. Lukisan Maria dan bayi Yesus merupakan tema yang cukup umum bagi para seniman Eropa tempo dulu.

Berdasarkan laporan Kyodo, Minggu (7/2/2023), lukisan itu ditemukan melalui rumah lelang Mainichi Auction Inc. di Tokyo. Pada musim gugur 2021, rumah lelang itu dihubungi seseorang yang ingin menjual lukisan "Madonna with Child".

Pemiliknya menaksir lukisan itu bisa mencapai 3 juta yen (Rp 312 juta).

Rencananya, pelelangan digelar pada akhir Januari 2022. Mainichi Auction memutuskan untuk menghubungi Kedutaan Besar Polandia sebelum memulai lelang.

Pihak berwenang di Polandia awalnya tidak percaya bahwa lukisan tersebut asli, sebab tidak mirip dengan foto lama dari lukisan tersebut.

Kembali Jadi Milik Rakyat Polandia

Tim pakar Polandia lantas mengunjungi Jepang dan ternyata lukisan itu memang asli dan hasil penjarahan Nazi di masa pendudukan Polandia. Pemindaian ultraviolet menunjukkan bahwa ada bagian lukisan yang dilukis lagi.

Kementerian Budaya dan Warisan Nasional Polandia mengaku kehilangan jejak lukisan tersebut ketika karya itu dilelang di New York pada tahun 1990-an.

Pejabat museum itu membantu negosiasi ke pemilik lukisan agar menyerahkannya ke Polandia. Negosiasi berhasil, walau pihak museum tidak mendapatkan uang.

Lukisan pun secara resmi diserahkan Mainichi Auction Inc. kepada Kedubes Polandia pada 31 Mei 2023.

"Warga Polandia yang memberikan pujian tertinggi kepada Madonna with Child telah kembali menjadi pemiliknya," ujar Yoshiaki Onoyama yang menjadi perwakilan Mainichi Auction untuk negosiasi.

"Tidak ada insentif finansial bagi kami, tetapi saya pikir kami telah menyelesaikan tugas ini," ucapnya.

2 dari 3 halaman

Australia Akan Berlakukan UU Larang Simbol Nazi, Cegah Supremasi Kulit Putih

Beralih ke Australia, pemerintah Australia menyatakan akan memberlakukan undang-undang baru yang melarang penggunaan simbol Nazi di tengah meningkatnya ekstremisme kelompok kanan yang mendorong supremasi kulit putih.

RUU Amandemen Legislasi Kontra-Terorisme akan diajukan ke parlemen minggu depan, menguraikan larangan simbol yang terkait dengan Nazi atau SS, termasuk bendera, ban lengan, T-shirt di depan umum dan secara online, dengan ancama pidana penjara maksimal 12 bulan.

Jaksa Agung Mark Dreyfus mengatakan penanganan ekstremisme sayap kanan menjadi prioritas pemerintah federal, sejalan dengan langkah yang dilakukan beberapa negara bagian.

"RUU ini akan melengkapi upaya negara bagian, memastikan bahwa tidak ada celah, kami akan bekerja sama melarang tampilan dan perdagangan simbol-simbol jahat ini," kata Dreyfus dikutip dari ABC Indonesia, Selasa (13/6).

RUU ini tidak melarang semua penggunaan swastika, karena makna religius dari simbol tersebut ada dalam agama Hindu, Budha, dan Jainisme.

Begitu pula dengan salut ala Nazi tidak tercakup dalam larangan tersebut.

"Salut ala Nazi adalah gerakan ofensif yang tidak memiliki tempat dalam masyarakat Australia, tapi kami berpikir pelarangan salut ini adalah masalah negara bagian dan teritori," kata Dreyfus.

"Ini bukan akhir dari apa yang kami lakukan untuk mengkriminalisasi ujaran kebencian. Kami perlu memperjelas bahwa tidak ada tempat di Australia untuk simbol Nazi yang mengagungkan kengerian bencana perang," katanya.

3 dari 3 halaman

Anak Muda Direkrut Kelompok Ekstremis

Langkah melarang simbol Nazi disambut baik oleh sejumlah peneliti kebangkitan ekstremisme kelompok sayap kanan di Australia.

Peneliti dari Universitas Deakin, Dr Josh Roose mengatakan, simbolisme Nazi turut berperan dalam perekrutan anggota baru.

"Simbol ini tidak hanya digunakan sebagai bentuk intimidasi dan ancaman terhadap masyarakat, tapi juga sebagai mekanisme perekrutan anak-anak muda untuk bergabung dengan gerakan mereka."

Dr Roose mengatakan pemerintah memiliki perangkat lain yang bisa digunakan untuk mengatasi kebangkitan ekstremisme sayap kanan, terutama di kalangan masyarakat kurang beruntung dan kehilangan haknya.

"Kita berbicara tentang meningkatnya kesenjangan sosial-ekonomi, orang-orang yang merasa terpinggirkan, terasing, marah, dan membutuhkan pendekatan pemerintah secara menyeluruh," jelasnya.

Langkah pemerintah federal ini mendapat sambutan hangat dari kelompok sasaran Nazi, termasuk komunitas Yahudi.

Ketua Dewan Anti-Pencemaran Nama Baik Dvir Abramovich mengaku telah mengkampanyekan pelarangan tersebut sejak lama.

"Ini merupakan perjalanan panjang. Saya memulai kampanye ini enam tahun lalu ketika tidak ada yang percaya hal itu benar-benar terjadi," katanya.

Abramovich mengatakan kembalinya tampilan publik dari Nazi telah menyusahkan bagi para penyintas holocaust.

"Kami telah melihat kebangkitan gerakan supremasi kulit putih di Australia, jauh lebih gelisah, lebih marah, membawa aktivitas online mereka ke dunia nyata, membawa aktivitas mereka ke tangga Gedung Parlemen Victoria, melakukan salut Heil Hitler," katanya.

"Para penyintas holocaust yang tidak pernah membayangkan bahwa dalam hidupnya, mereka akan melihat keturunan Hitler, berbaris di jalan-jalan, memberikan salut seperti ini, mencoba membangkitkan kembali ideologi pemusnahan," ujar Abramovich.

Pemimpin Oposisi Peter Dutton mengatakan usulan pemerintah tidak membahas masalah ini dan memprediksi perubahan amandemen akan terjadi di majelis rendah.

"Kami akan mengajukan usulan agar amandemen undang-undang ini memasukkan larangan salut Nazi karena hal itu simbolis. Saya tidak mengerti mengapa ada keraguan seperti itu (dalam RUU)," kata Dutton.

"Kita harus memasukkan larangan salut Nazi jika mau serius menangani apa yang dikatakan pemerintah sebagai eksremisme yang meningkat," katanya.