Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menggelar pertemuan trilateral bersama diplomat top Sergey Lavrov dari Rusia dan Wang Yi dari China. Pertemuan terjadi di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (12/7/2023).
Sergey Lavrov merupakan menteri luar negeri Rusia yang sedang disibukkan oleh perang antara negaranya dan Ukraina. Sementara Wang Yi merupakan mantan menteri luar negeri China yang kini menjabat sebagai Direktur Kantor Komisi Luar Negeri di Partai Komunis China.
Pertemuan antara ketiga tokoh ini merupakan rangkaian dari 56th ASEAN Foreign Ministers' Meeting (56th AMM), ASEAN Post Ministerial Conference (PMC).
Advertisement
Wang Yi tiba lebih dahulu di Gedung Pancasila, kemudian disusul Lavrov. Setelah Lavrov mengisi buku tamu, Menlu Retno Marsudi mengajaknya duduk di ruangan terpisah.
Menlu Retno dalam ucapan sambutannya menekankan pentingnya dialog, kerja sama, serta menjunjung tinggi Piagam PBB.
"Kita memerlukan lebih banyak dialog dan kerja sama," ujar Menlu Retno.
Selanjutnya, Menlu Retno memberikan kesempatan Lavrov untuk berbicara. Menlu Rusia juga setuju untuk membahas soal kerja sama. Wang Yi sendiri lebih memilih merespons dengan bahasa mandarin.
Sekitar 30 menit kemudian, pertemuan mereka bertiga berakhir. Wang Yi langsung beranjak pergi, setelah mengantor Wang Yi, Menlu Retno lanjut berdiskusi dengan Sergey Lavrov bersama pejabat kedua negara, termasuk Duta Besar Rusia untuk RI Lyudmila Vorobieva.
Rusia dan NATO
Kehadiran Lavrov di Indonesia terjadi di saat yang cukup genting bagi Rusia, pasalnya NATO kini telah menerima dua negara kaya raya sebagai anggota baru: Kerajaan Swedia dan Republik Finlandia.
Meski demikian, NATO masih belum menerima Ukraina, sebuah keputusan yang membuat kecewa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Selama konflik berlangsung, China masih menunjukkan kedekatan dengan pihak Rusia. Indonesia juga masih menjaga hubungan dengan Rusia walau voting Indonesia di PBB menolak invasi dan aneksasi Rusia kepada Ukraina.
Ukraina Tidak Dapat Kepastian Soal Keanggotaan NATO
Sebelumnya dilaporkan, para pemimpin NATO pada Selasa (11/7), mengatakan bahwa mereka akan mengizinkan Ukraina bergabung dengan aliansi itu ketika seluruh anggota menyetujui dan persyaratan terpenuhi.
Pernyataan tersebut muncul beberapa jam setelah Presiden Volodymyr Zelensky mengkritik kegagalan NATO untuk menetapkan jadwal keanggotaan negaranya. Dia menyebut itu tidak masuk akal.
"Kami menegaskan kembali bahwa Ukraina akan menjadi anggota NATO dan (kami) setuju untuk menghapus persyaratan Membership Action Plan (MAP)," ujar Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg seperti dilansir AP, Rabu (12/7).
Dikutip dari situs web NATO, MAP adalah program yang harus diikuti oleh calon anggota NATO, di mana mereka menyerahkan program nasional tahunan yang mencakup aspek politik, ekonomi, pertahanan, sumber daya, keamanan, dan hukum.
"Ini (penghapusan MAP) akan mengubah jalur keanggotaan Ukraina dari dua langkah menjadi satu langkah," ujar Stoltenberg.
Meski banyak anggota NATO telah mengirimkan bantuan senjata dan amunisi ke Ukraina, belum ada konsensus di antara 31 anggota NATO untuk mengakui keanggotaan Ukraina.
Zelensky menentang realitas tersebut. Dia sendiri akan hadir langsung dalam KTT NATO pada hari terakhir, yakni 12 Juli.
"Belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak masuk akal ketika kerangka waktu tidak ditentukan baik untuk undangan maupun keanggotaan Ukraina," twit Zelensky.
Dia menambahkan, "Tampaknya tidak ada kesiapan untuk mengundang Ukraina ke NATO atau menjadikannya anggota aliansi."
Ditanya tentang kekhawatiran Zelensky, Stoltenberg mengatakan bahwa hal terpenting sekarang adalah memastikan Ukraina memenangkan perang. Karena kecuali Ukraina menang, tidak ada keanggotaan yang akan dibahas sama sekali.
Advertisement