Sukses

Menlu Jepang Puji Persahabatan Emas dengan ASEAN Selama 50 Tahun

Menlu Jepang Hayashi Yoshimasa ikut menghadiri rangkaian pertemuan 56th ASEAN Foreign Ministers' Meeting (56th AMM), ASEAN Post Ministerial Conference (PMC) di Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Jepang Hayashi Yoshimasa menghadiri acara ASEAN Post Ministerial Conference (PMC) di Jakarta, Kamis (13/7/2023). Dari pihak ASEAN, pertemuan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai sebagai co-host. 

Pada pembukaannya, Don Pramudwinai memberikan apresiasi terhadap Jepang atas sikap bersahabatnya dan dukungannya terhadap Sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality). 

Sementara, Menlu Hayashi menyorot persahabatan antara Jepang dan ASEAN yang telah berjalan selama 50 tahun. Ia menjelaskan bahwa Jepang adalah negara pertama yang mengadakan dialog dengan ASEAN pada 1973. 

"Selama setengah abad sejak saat ini, Jepang dan ASEAN telah bekerja sama, tidak hanya sebagai mitra bisnis yang akrab, tetapi sebagai sahabat sejati," ujar Menlu Jepang Hayashi Yoshimasa yang turut didampingi oleh Duta Besar Jepang untuk RI Kanasugi Kenji dan Dubes Jepang untuk ASEAN Masahiko Kiya.

Ia lantas memberi contoh bahwa Jepang dan ASEAN saling membantu ketika ada bencana dan krisis di kawasan, seperti Krisis Keuangan Asia pada 1997, Tsunami Samudera Hindia (Tsunami Aceh), Gempa Besar Timur (Gempa Tohoku), dan Pandemi COVID-19.

Menlu Jepang pun menyebut hubungan ASEAN-Jepang sebagai "Persahabatan Emas, Kesempatan Emas".

Pada 50 tahun hubungan ini, Menlu Hayashi menegaskan bahwa tahun ini "merupakan kesempatan emas untuk memperkuat relasi".

Ia juga berkata bahwa sepanjang tahun ini sudah ada sejumlah pertemuan antara Jepang dan Indonesia, dan pada paruh akhir 2023 bakal ada lagi pertemuan di bidang pariwisata dan ekonomi. 

Sebelumnya, Menlu Jepang telah lebih dulu telah bertemu dengan Menlu RI Retno Marsudi untuk membahas isu regional dan internasional, seperti perang Rusia-Ukraina.

2 dari 2 halaman

Menlu Malaysia Sebut Visi ASEAN Lebih Penting untuk Jaga Laut China Selatan Ketimbang AUKUS

Isu Laut China Selatan (LCS) juga menjadi pembahasan di antara para menteri luar negeri ASEAN dalam ASEAN Foreign Ministers' Meeting (AMM) ke-56 pada Selasa (11/7/2023). Sengketa yang terjadi karena adanya wilayah perebutan kepentingan ekonomi, strategi, dan politik yang bersinggungan dengan sejumlah negara ASEAN itu belum menemui titik temu.

Menanggapi perihal tersebut, Menteri Luar Negeri Malaysia Zambry Abdul Kadir menegaskan bahwa persatuan ASEAN adalah hal yang lebih penting.  

"Pada dasarnya apa yang kita ingin adalah kita harus menjaga Laut China Selatan sebagai zona untuk perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan. Itu intinya. Kita harus menegaskan komitmen kita, kita harus mengumpulkan semuanya untuk menunjukan komitmen kita bahwa kita bersatu," ujar Menlu Malaysia Zambry Abdul Kadir di Hotel Shangri-La Jakarta.

Ketika diminta pandangannya tentang AUKUS (Australia, Inggris Raya, Amerika Serikat) untuk menjaga stabilitas kawasan, Menlu Zambry Abdul Kadir kembali menekankan bahwa visi ASEAN lebih penting.

"Kita melihat ke ASEAN Outlook kita sekarang. ASEAN Outlook pada Indo-Pasifik. Itu lebih penting bagi kita di tahap ini, sebab ASEAN perlu bersatu," jelas Menlu Malaysia.

"AUKUS, QUAD, kerja sama di luar ASEAN mereka punya milik mereka sendiri, tapi yang paling penting adalah bagi ASEAN untuk bisa tetap bersatu. Dan sejauh ini, ASEAN masih utuh. Visi kita berdasarkan ASEAN Outlook pada Indo-Pasifik," ia menambahkan. 

Saat ditanya lagi apakah berarti AUKUS tidak penting bagi ASEAN, Menlu Malaysia itu menjawab: "Kita (ASEAN) harus tetap bersatu." 

Gerakan Non-Blok

Menlu Malaysia justru mengungkap bahwa ada wacana untuk lebih mendekatkan diri ke Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) dalam menjaga stabilitas Laut China Selatan.

Malaysia berupaya agar memasukkan isu tersebut di dokumen Gerakan Non-Blok, tetapi Zambry Abdul Kadir mengungkap bahwa ada pihak-pihak yang menolaknya. Ia tidak menyebut siapa pihak yang menolak. 

"ASEAN kehilangan relevansinya di NAM. Dan NAM juga kehilangan relevansinya di ASEAN," ungkap Menlu Malaysia.