Liputan6.com, Bangkok - Reformis yang memenangkan pemilu Thailand pada Mei 2023, Pita Limjaroenrat, gagal mengamankan cukup suara di parlemen untuk menjadi perdana menteri.Â
"Saya menerimanya, namun saya tidak menyerah," ujar Pita yang merupakan pemimpin Partai Move Forward dan satu-satunya kandidat perdana menteri seperti dilansir BBC, Jumat (14/7/2023). "Saya tidak akan menyerah dan akan memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan lebih banyak dukungan."
Untuk menduduki kursi perdana menteri Thailand, pria usia 42 tahun lulusan Universitas Harvard dan mantan direktur eksekutif Grab, itu membutuhkan suara lebih dari setengah dari 749 anggota di dua kamar parlemen. Namun, dia hanya berhasil mendapatkan 324 suara dari 375 yang diperlukan.
Advertisement
Dia memiliki dukungan mayoritas di majelis rendah, namun tidak bisa memenangkan sokongan cukup dari senator, yang ditunjuk oleh pemerintah militer.
Di bawah aturan, parlemen harus terus memberikan suara sampai perdana menteri baru terpilih dan pemungutan suara berikutnya dijadwalkan berlangsung pekan depan. Belum jelas bagaimana Pita akan menutupi kekurangan sebelumnya.
Prayuth Chan-Ocha pada Selasa (11/7), telah mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri Thailand. Dia juga mengatakan akan pensiun dari dunia politik setelah sembilan tahun berkuasa melalui kudeta militer.
Namun, Prayuth akan tetap menjabat sampai pemerintahan baru terbentuk.
Tersandung Kontroversi Lese Majeste
Salah satu janji kampanye Pita yang paling kontroversial adalah mengamendemen lese majeste, hukum yang melindungi kerajaan dari kritik. Sejumlah kritikus monarki telah dipenjara karenanya.
Adapun janji kampanye Pita itu dipandang sebagai upaya untuk menggulingkan seluruh tatanan politik Thailand.
Lese majeste ditegakkan secara ketat di bawah kepemimpinan Prayuth. Para kritikus mengklaim bahwa hukum itu telah digunakan untuk menghancurkan kebebasan berbicara.
Lawan dari Move Forward mengakui bahwa janji terkait amendemen lese majeste adalah alasan yang menghambat jalan Pita menuju kekuasaan. Anggota parlemen royalis menuduh kaum reformis mempertaruhkan kekerasan, bahkan perang saudara dengan menyentuh urusan monarki.
Pita sendiri menggambarkan era Prayuth sebagai "dekade yang hilang" di Thailand dan telah berjanji untuk mengakhiri siklus korupsi serta pemberontakan militer di negara itu. Dia juga menjanjikan reformasi yang akan men-demiliterisasi, men-demonopolisasi, dan men-desentralisasi negara.
Â
Advertisement