Liputan6.com, Lilongwe - Kanker kulit membunuh banyak penderita albinisme di Malawi. Ilmuwan iklim menilai perubahan iklim memainkan peran yang semakin besar dalam fenomena tersebut.
Statistik resmi mencatat bahwa 50 orang meninggal akibat kanker kulit sejak tahun 2020. Namun, Presiden Asosiasi Orang Albinisme di Malawi (Apam) Young Muhamba meyakini bahwa angka kematian jauh lebih tinggi dibanding yang dilaporkan karena sebagian besar kematian terkait kanker tidak dicatat oleh pemerintah.
Baca Juga
Sensus tahun 2018 menemukan lebih dari 134 ribu dari 20 juta penduduk Malawi menderita albinisme atau jumlahnya kira-kira satu dari setiap 150 orang. Albinisme adalah kelainan bawaan lahir yang menyebabkan kurangnya atau bahkan tidak adanya pigmen, sehingga warna kulit, rambut, dan mata pucat serta berbeda dibandingkan ras asalnya.
Advertisement
Kurangnya akses ke tabir surya, skrining, dan pengobatan, menurut Muhamba, telah menciptakan tragedi yang sebenarnya dapat dicegah.
"Kenyataannya adalah anggota kami banyak yang meninggal di rumah akibat kanker karena mereka tidak punya akses pengobatan. Tidak ada rumah sakit kanker di Malawi," ujar Muhamba seperti dilansir The National, Minggu (16/7/2023).
"Korban tidak memiliki akses layanan pemeriksaan dini kanker dan biasanya mereka pergi ke rumah sakit ketika kondisinya sudah mencapai stadium lanjut dan hanya disuruh menunggu ajalnya di rumah."
Penelitian Apam mendapati bahwa hampir 70 persen penderita albinisme di Malawi tidak akan hidup lebih dari 30 tahun karena kanker. Adapun data Bank Dunia menyebutkan bahwa harapan hidup rata-rata di Malawi adalah 65 tahun.
Delapan puluh lima persen penderita albinisme yang tinggal di daerah pedesaan di Malawi disebut lebih berisiko terkena kanker kulit karena terpapar panas ekstrem dan sinar Matahari langsung akibat penggundulan hutan besar-besaran.
"Sebagian besar anggota kami di daerah pedesaan tidak memiliki akses ke tabir surya untuk melindungi mereka dari paparan sinar Matahari langsung yang terkait dengan perubahan iklim," ungkap Muhamba.
Selain itu, kerentanan ekonomi memaksa mereka melakukan pekerjaan di bawah sinar Matahari, meningkatkan risiko terkena kanker.
Stanzio Joseph, seorang pasien kanker usia 24 tahun dari daerah terpencil di Distrik Ntcheu menuturkan bahwa dia baru saja dipulangkan karena pihak rumah sakit umum tidak dapat menangani kasusnya.
"Saya tinggal menunggu waktu," ujarnya. "Dokter bilang bahwa tidak ada perawatan lain yang dapat dilakukan di Malawi kecuali saya pergi ke India, di mana itu tidak mungkin dilakukan orang miskin seperti saya."
Penderita Kanker Kulit Meningkat
Perubahan iklim dianggap sebagai pengganda ancaman bagi masyarakat rentan, memperburuk ketidaksetaraan sosial yang sudah parah. Malawi sendiri sudah mengalami kejadian cuaca luar biasa seperti kekeringan dan banjir bandang, serta suhu panas ekstrem.
Tahun lalu, Kementerian Pendidikan Malawi menangguhkan kelas sekolah sore selama gelombang panas yang mencatat kenaikan suhu hingga 40 derajat Celcius di sejumlah bagian negara itu.
Rob Kingsley Banda, satu-satunya penderita albinisme yang bekerja sebagai asisten dokter kulit di Malawi mengatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman hidup yang besar bagi komunitas albinisme di negara itu dengan menjadi penyebab utama kanker kulit.
"Kami telah melihat tingkat penderita kanker yang tinggi di antara penderita albinisme sejak kami mulai mengalami gelombang panas ekstrem di Malawi dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari perubahan iklim," ujar Banda yang merupakan profesional medis di Rumah Sakit Pusat Kamuzu di Lilongwe.
"Kulit kami rentan terhadap kerusakan akibat radiasi sinar ultraviolet, sehingga berisiko terkena kanker kulit."
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa kurangnya akses ke tabir surya dan layanan dermatologi serta oftalmologi di tingkat kota dan desa untuk skrining dini kanker semakin memperburuk situasi.
Advertisement
Pemerintah Didesak Perkuat Rantai Pasokan Tabir Surya
Kondisi di kalangan penderita albinisme, menurut pakar iklim Drrizzer Ngamanya dari Universitas Pertanian dan Sumber Daya Alam Lilongwe, merupakan sinyal bahwa ada lebih banyak yang harus dilakukan untuk memerangi perubahan iklim dan mengurangi dampaknya terhadap populasi rentan.
"Kita perlu bergerak cepat mengembangkan alternatif dalam mengubah status quo untuk melindungi saudara-saudara kita penderita albinisme dari kematian dini akibat kanker," ungkap Ngamanya.
"Mari kita atasi persoalan ekonomi yang membuat mereka terkena panas ekstrem dan berbagai kesulitan terkait paparan sinar Matahari dengan melibatkan mereka dalam program perlindungan sosial pemerintah."
Sementara itu, Muhamba menekankan bahwa pemerintah harus memperkuat rantai pasokan tabir surya di semua fasilitas kesehatan umum di seluruh negeri demi memungkinkan kemudahan akses dan mendukung penyediaan alat pelindung Matahari seperti baju lengan panjang, kacamata hitam, payung/topi untuk melindungi kelompok rentan dari radiasi sinar ultraviolet.
Kementerian Kesehatan Malawi belum memberikan pernyataan terkait tindakan apa yang akan diambil pemerintah untuk menangani isu ini.