Sukses

Islam Istimewa di Singapura, Ini Alasannya

Meski Islam hanya 16 persen dari total populasi Singapura, namun umat muslim di negara kota itu mendapat keistimewaan yang sangat besar.

Liputan6.com, Jakarta - Singapura kerap dijuluki melting pot atau tempat di mana banyak perbedaan keyakinan, kultur, dan tradisi saling melebur termasuk Islam. Otoritas negara kota itu menyebutkan bahwa 16 persen dari total populasinya adalah muslim.

Meski minoritas, Islam istimewa di Singapura. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Kesehatan Kedua, Menteri Sosial dan Pembangunan Keluarga Singapura Masagos Zulkifli, yang juga menjabat sebagai Menteri Yang Bertanggung Jawab Atas Urusan Muslim Singapura.

"Di Singapura, kami diberikan keistimewaan yang sangat besar, di mana hanya umat Islam saja yang diberikan kementerian untuk mengatur umat muslim. Ini tidak berlaku bagi agama lain," terang Masagos saat bertatap muka dengan para jurnalis Indonesia peserta 'Indonesian Journalists’ Visit Programme (IJVP)' di Gedung Parlemen Singapura pada Rabu (5/7/2023).

Menurut Masagos, keistimewaan tersebut bersumber dari konstitusi.

"Pasal 152 dalam konstitusi kami menyatakan bahwa kami adalah penduduk asli Singapura, dan agama, budaya, serta bahasa kami akan dilindungi. Itulah mengapa ada menteri agama Islam," tutur Masagos.

"Kami juga punya undang-undang administrasi hukum muslim yang mengatur urusan keagamaan muslim termasuk perkawinan, wakaf, warisan, pembangunan masjid, dan lain sebagainya."

Masagos menggarisbawahi tantangannya, yaitu memastikan bahwa umat Islam yang minoritas di Singapura tetap dapat merasakan kenyamanan yang sama seperti masyarakat lainnya.

 

 

2 dari 2 halaman

Toleransi Antar Umat Beragama

Lebih lanjut, Masagos menjelaskan pendekatan dari perspektif Islam di Singapura.

"Jadi, jika kita lihat bagaimana Islam dipraktikkan di negara seperti Singapura, tentu saja berbeda dengan negara mayoritas muslim. Saya beri satu contoh. Saya dulunya merupakan menteri lingkungan, di mana salah satu tanggung jawab saya adalah mengurus impor makanan, termasuk babi dan alkohol," ungkap Masagos.

"Haruskah saya mengatakan kepada perdana menteri untuk tidak melakukannya karena saya tidak mengonsumsi babi dan alkohol? Sebagai muslim di Singapura, kami harus memahami bagaimana menjalankan praktik keagamaan ... bagaimana Islam diterapkan dalam konteks masyarakat kami."

Di lain sisi, Masagos mengungkapkan bahwa bersama-sama dengan ulama dia mengupayakan bagaimana komunitas Islam Singapura tidak mudah terpengaruh dengan pandangan dan pendekatan yang diterapkan di negara mayoritas muslim.

"Tahun lalu, kami menggelar 'International Conference on Community of Success'. Bagaimana menjadi komunitas minoritas yang sukses, komunitas yang tidak hanya menerima, namun juga memberi ... sehingga komunitas muslim dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab," imbuhnya.