Sukses

HRW Sebut Kamboja Rezim Otoriter Karena PM Transfer Kekuasaan ke Anak

PM Kamboja Hun Sen mengalihkan kekuasaannya pada aak.

Liputan6.com, Phnom Penh - Setelah hampir 40 tahun berkuasa di Kamboja, Perdana Menteri Hun Sen mengumumkan bahwa ia akan mentransfer kekuasaan ke putranya: Hun Manet. Aksi nepotisme ini membuat Kamboja meraih label rezim otoriter dari kelompok HAM internasional, Human Rights Watch (HRW).

HRW adalah organisasi non-pemerintah internasional berkantor pusat di New York City AS, yang melakukan penelitian dan advokasi tentang hak asasi manusia.

Sebelumnya, Hun Sen juga dikritik karena kerap membungkam dan mengintimidasi lawan-lawan politiknya, sehingga kekuasaannya sendiri aman. Menurut Radio Free Asia, anak Hun Sen akan mendapat kekuasaan pada Agustus mendatang.

"Pekan ini kita melihat favorit klasik otoriter: mentransfer kekuasaan dari bapak ke anak," tulis Human Rights Watch dalam rilis resminya, dikutip Jumat (28/7/2023).

"Pengumuman itu muncul beberapa hari sejak Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa mendapatkan seluruh kursi parlemen di sebuah pertunjukkan nasional yang mereka sebut 'pemilu'. Kata itu harus diberi tanda kutip karena tidak ada kontes yang sungguh-sungguh. Tidak ada kompetisi serius yang diizinkan. Hun Sen bertinju sendirian di ring," jelas HRW.

HRW menyorot Hun Sen beraksi represif untuk menyingkirkan semua oposisi politik di Kamboja, mulai dari melecehkan hingga menahan kompetitor dari Candlelight Party.

Tindakan Hun Sen tersebut ternyata hanya pengulangan dari aksi pemilu 2018. HRW berkata transfer kekuasaan dari bapak ke anak adalah hal yang bisa ditertawakan, namun Kamboja sudah menjadi negara yang tragis.

"Rakyat di Kamboja menderita di bawah hukum draconian, dan pihak berwenang menggunakan penahanan sewenang-wenang, pelecehan yudisial yang dikendalikan pemerintah, dan kekerasan untuk membungkam perlawanan," tulis HRW.

Saat ini ada lebih dari 50 tahanan politik di Kamboja.

"Otoritarianismenya brutal sekaligus terang-benderang," jelas HRW.

2 dari 2 halaman

Oposisi Kamboja Sudah Berikan Warning

Sebelumnya, tokoh penting oposisi Kamboja, Sam Rainsy, pernah datang ke Indonesia untuk mengungkap masalah di negaranya. Ia khawatir bahwa Hun Sen akan melanjutkan kekuasaan hingga membangun dinasti yang tidak demokratis, seperti Korea Utara.

"Hun Sen sekarang berencana untuk digantikan oleh anak laki-lakinya sendiri. Ia ingin membuat dinasti politik, seperti di Korea Utara. Dan ia bilang, setelah anak laki-lakinya, maka cucu-cucunya yang akan menggantikan putranya," ujar Sam Rainsy dalam acara diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Jumat (19/5).

Sam Rainsy merupakan politikus Kamboja yang menjadi eksil sejak tahun 2015. Human Rights Watch (HRW) melaporkan pada 2022 bahwa pemerintah Hun Sen memang menarget pihak oposisi lewat pengadilan massal.

"Parahnya lagi, demi mengamankan dukungan dari orang-orang di kelompoknya, ia (Hun Sen) berjanji kepada anggota kelompoknya agar mereka digantikan oleh anaknya masing-masing. Jadi ini klan. Penerusan seperti klan. Feodalistik. Beberapa keluarga akan terus memerintah negara ini selamanya," lanjut Rainsy.

Politikus senior itu berkata orang-orang intelektual di Kamboja sudah sadar betapa "gilanya" kondisi di Kamboja.

Rainsy lantas meminta agar Indonesia tidak mengakui pemilu Kamboja pada Juli mendatang karena menuding badan pemilu negara itu tidak netral. Kendati demikian Indonesia yang masuk dalam ASEAN diketahui memiliki prinsip non-intervensi.

Perihal tersebut, Rainsy mengatakan sejatinya perlu ada perubahan, sebab ia yakin Kamboja akan lebih sensitif terhadap kritikan internasional.

Rainsy berkata pihak Myanmar memang lebih tertutup, sehingga lebih imun terhadap kritikan internasional. Tetapi, Kamboja butuh dukungan internasional untuk membangun proyek-proyek dan mendapat pendanaan.