Sukses

Slogan 'Love for All Hate for None' dan Kisah Masjid Pertama Usai Berakhirnya Peradaban Islam di Spanyol

Motto "Love for all, hate for none" dinilai sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad. Bahwa Islam sejatinya adalah pembawa damai dan rahmatan lil alamin atau berkah bagi semesta alam.

Liputan6.com, London - "Love for all, hate for none" atau "cinta untuk semua, tiada kebencian untuk siapapun" adalah slogan jemaah Ahmadiyah.

Poster-posternya bertebaran di acara pertemuan akbar Jalsah Salanah Inggris yang digelar akhir Juli 2023 lalu. Sejumlah bus kota di London juga pernah menyandang pesan serupa pada 2014, sebagai bagian dari kampanye melawan dua hal: ekstremisme yang mengatasnamakan agama, dan sebaliknya, islamophobia.

Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Maulana Mirajudin Sahid menjelaskan, motto tersebut sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad. Bahwa Islam sejatinya adalah pembawa damai dan rahmatan lil alamin atau berkah bagi semesta alam.

"Ketika dunia dalam keadaan guncang, peperangan satu sama lain, sampai saling membunuh, Ahmadiyah ingin menguatkan misi Nabi Muhammad," kata dia kepada Liputan6.com. "Agar tidak lagi ada kebencian, pembunuhan, perselisihan dan perang yang merugikan manusia."

Seperti dikutip dari BBC, berdasarkan buku "Islam and the Ahmadiyya Jama'at" yang ditulis Simon Valentine, Ahmadiyah memilih jalur non-kekerasan dan toleran terhadap agama dan keyakinan yang berbeda.

Mereka memiliki strategi 'misionaris', dengan mengirimkan ulama untuk menyebarkan ajaran dan memberikan pelayanan. Ahmadiyah memiliki jaringan kuat di Inggris, Eropa, Amerika, Afrika, dan sejumlah bagian di Asia. Pembangunan masjid jadi prioritas.

Pada 1982, Ahmadiyah mendirikan masjid pertama di Spanyol sejak berakhirnya peradaban Islam di negara tersebut, yang ditandai pengusiran Moor pada 1492.

Slogan "love for all, hate for none" muncul terkait dengan pembangunan masjid itu. Pencetusnya adalah Khalifah III Ahmadiyah, Hazrat Mirza Nasir Ahmad.

Kala itu, 9 Oktober 1980, dalam rangkaian kunjungan ke Eropa, ia tiba di Spanyol. Di sana, batu pertama pembangunan Masjid Basharat diletakkan. Lokasinya di Pedro Abad, timur laut Cordoba, bekas ibu kota Andalusia.

Dalam acara tersebut, Khalifah III Ahmadiyah menggarisbawahi pentingnya pembangunan masjid.

Ia juga menegaskan, di mata Sang Pencipta, semua manusia adalah sama. Tak pandang kaya atau miskin, terpelajar atau buta huruf. Bahwa Islam mengajarkan agar kita saling mencintai dan menyayangi, serta bersikap rendah hati.

"Mengajarkan kita bahwa tidak ada perbedaan antara seorang muslim atau non-muslim. Pesan saya kepada semua orang adalah bahwa kita harus memiliki sikap 'cinta untuk semua, tiada kebencian untuk siapapun'," kata dia, seperti dikutip dari situs trueislam.co.uk.

"Love for all, hate for none" juga berarti melangkah ke depan, dengan memaafkan sejarah kelam masa lalu, khususnya di Spanyol.

Pada Abad ke-8, Spanyol atau Andalusia dikuasai bangsa Moor. Peradaban Islam di Cordoba digambarkan sangat maju. Sebagai perbandingan, juru tulis di sana menghasikan 60 ribu buku per tahun, sedangkan perpustakaan terbesar di Eropa lainnya hanya memiliki 600.

Kekuasaan Moor berakhir oleh reconquista atau penaklukan kembali oleh pasukan Ratu Isabella dan Raja Fernando.

Dan beberapa abad kemudian, tragedi besar terjadi. Pada 9 April 1609, Raja Philip III memerintahkan pengusiran sekitar 300 ribu penduduk keturunan muslim yang dipaksa berpindah keyakinan (morisco). Mereka dipersekusi atas tuduhan diam-diam menjalankan ajaran Islam. Peristiwa itu menjadi noktah hitam dalam sejarah Spanyol.

 

2 dari 2 halaman

Dari Sudut Pandang Korban, Slogan Itu Tak Mudah Dipraktikkan

"Love for all, hate for none" yang kini menjadi motto komunitas Ahmadiyah sedunia diucapkan secara spontan oleh sang khalifah. Kalimat yang merujuk pada sejarah kelam Islam di Spanyol itu masih relevan dalam konteks sekarang.

Hingga kini, persekusi masih sering dialami komunitas Ahmadiyah. Pada 11 Januari 2023, sembilan jemaah tewas dalam serbuan di masjid Burkina Faso. Di Pakistan, mereka dilarang menjalankan ibadah kurban. Dan, kabar perusakan masjid atau makam tak jarang terdengar.

Membalas kebencian dengan kasih, itu bukan hal mudah untuk dipraktikkan. Apalagi bagi korban. Salah satunya seorang perempuan asal Pakistan. Ia terpaksa lari dari tanah kelahirannya akibat persekusi dan kemudian menetap di Inggris.

Saat ditanya soal pengalamannya menjadi korban persekusi, ia tak sanggup berkata-kata. Air mata mengalir deras di pipinya. Perempuan berusia 60-an tahun itu hanya bisa sesenggukan. Suaminya tewas dalam sebuah serangan. Ditembak secara brutal.

"Itu membuka luka lama yang sulit untuk saya ceritakan," kata dia saat ditemui di lokasi pertemuan tahunan atau jalsah salanah di Inggris.

Ketua Lajnah Imailah atau Wanita Ahmadiyah Indonesia, Siti Aisyah mengungkapkan, persekusi juga menjadi hal yang beberapa kali dialami jemaah di Indonesia.

Pada 1 Juni 2008, ia berada di tengah aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Silang Monumen Nasional (Monas).

"Saya waktu itu ditugaskan sebagai koordinator dari Ahmadiyah dalam peringatan Hari Pancasila," kata dia kepada Liputan6.com.

Insiden terjadi ketika kelompok FPI datang menyerang.

"Kami melarikan diri, saya juga dikejar. Anak saya yang laki-laki kena pukul," kata dia. "Tidak ada pertolongan, polisi ada, tapi jaraknya jauh."

Salah satu persekusi yang membawa trauma mendalam adalah tragedi Cikeusik.

Hari itu, Minggu 6 Februari 2011, penyerangan terjadi terhadap jemaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten. Akibatnya, tiga orang tewas, dua mobil dan satu motor hancur. Satu rumah warga rusak parah.

Apa yang terjadi dalam penyerangan, yang terekam dalam video, tak berperi kemanusiaan. Sejumlah perempuan dan anak-anak jemaah Ahmadiyah juga menyaksikannya. Salah satunya seorang bocah 5 tahun. Ayahnya tewas dalam penyiksaan.

Siti Aisyah mengaku, tak mudah menyembuhkan luka psikologis para korban. Trauma healing dan pemantauan makan waktu lama.

Persekusi juga dialami komunitas Ahmadiyah yang terusir dan harus menetap di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Setidaknya tiga kali serangan terjadi, pada tahun 1999, 2001, dan 2006.

Siti Aisyah mengakui, dalam kondisi seperti itu, tak mudah menerapkan motto "love for all, hate for none".

"Ada seorang anak yang bertanya, 'kita diajarkan untuk mencintai, tapi kenapa mereka membenci kita?'," cerita Siti Aisyah.

Biasanya, para pembimbing akan menceritakan kisah Nabi Muhammad yang dikejar-kejar, diancam dibunuh, dicaci maki saat menyebarkan ajaran Islam.

Dan kemudian, kata Siti Aisyah, jawaban ini yang mereka sampaikan: "Yang mereka lakukan salah, tapi kita harus memaafkan. Itu semua karena ketidaktahuan mereka."

Â