Liputan6.com, Jakarta - Isu Laut China Selatan (South China Sea) masih menjadi tantangan dalam hubungan pemerintah China dan negara-negara ASEAN. China masih adu klaim di Laut China Selatan dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei.Â
Sengketa antara Filipina dan China bahkan sempat mencapai pengadilan internasional dan memenangkan Filipina pada tahun 2016. Namun, hasilnya ditolak China. Amerika Serikat pun telah secara resmi mendukung Filipina di Laut China Selatan.Â
Baca Juga
Duta Besar China untuk ASEAN, Hou Yanqi, menyebut ikut campur pihak-pihak yang tidak bersengketa tidak akan membawa dampak positif ke masalah Laut China Selatan.
Advertisement
Pihak pemerintah China lebih suka mengurus isu ini secara bilateral ketimbang ada ikut campur pihak luar, termasuk jika negara-negara ASEAN ikut campur untuk membantu negara yang bersengketa.Â
Para "pihak ketiga" diminta membantu dengan menjaga suasana damai saja.Â
"Sebenarnya ini sangat sederhana. Ini adalah semacam sengketa wilayah. Bagi negara yang tidak terkait sengketa, saya pikir mereka juga punya tanggung jawab. Tanggung jawabnya adalah membuat sebuah atmosfer yang baik untuk dua pengklaim untuk duduk bersama, agar ada diskus dan negosiasi dan konsultasi yang tenang dan mendalam," ujar Dubes China untuk ASEAN Hou Yanqi dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Dubes Hou juga mengingatkan negara-negara luar bahwa mereka tidak berhak ikut campur, sebab ini masalah China dengan satu negara tertentu. Ia juga berkata ini bukan masalah China vs. ASEAN.Â
"Saya tidak berpikir mereka punya tanggung jawab, bahkan hak untuk ikut campur dalam komunikasi bilateral, sebab wilayah-wilayah ini bukan milik pihak ketiga," ucap Dubes Hou.
Selain itu, Dubes Hou menegaskan isu Laut China Selatan jangan dianggap masalah antara China melawan seluruh ASEAN.Â
"Saya bingung apakah masalah ini adalah masalah antara China dan ASEAN," ujarnya. "Faktanya ini bukan masalah China dan ASEAN secara keseluruhan."
Pada awal Agustus lalu, ada insiden penyemprotan water cannon dari kapal China ke kapal Filipina di area Second Thomas Shoal di Laut China Selatan. Amerika Serikat lantas memberi pernyataan tegas bahwa mereka akan terus membela Filipina.Â
"Sebagaimana dijelaskan oleh keputusan yang mengikat secara legal dari tribunal internasional pada Juli 2016, RRC tidak punya klaim hukum di area maritim sekitar Second Thomas Shoal yang jelas berlokasi di zona eksklusif ekonomi," tulis pernyataan di situs Kementerian Luar Negeri AS.
AS, China, dan Filipina Ribut Soal Kapal Perang Dunia II di Laut China Selatan
Sebelumnya dilaporkan, perselisihan internasional tumbuh antara Amerika Serikat (AS), China, dan Filipina atas BRP Sierra Madre, kapal perang berkarat bekas yang diubah menjadi pos militer Filipina di Laut China Selatan.
Kapal era Perang Dunia II itu sengaja dikandaskan di karang kecil di Laut China Selatan pada tahun 1999 oleh Filipina, dan kontingen kecil pasukan terus bertahan di kapal untuk mempertaruhkan klaim Filipina di perairan yang disengketakan.
Klaim wilayah atas Laut China Selatan melibatkan banyak negara, termasuk China, Vietnam, dan Malaysia serta dianggap sebagai titik didih potensial.
Dari sisi Filipina, ketegangan disebut meningkat di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr, di mana negara itu semakin menuduh China melakukan agresi dan mengejar hubungan yang lebih dekat dengan AS. Kedua negara memiliki perjanjian pertahanan bersama.
Pada Sabtu (5/8/2023), China memprovokasi kecaman dari Filipina, AS, Uni Eropa, Prancis, Jepang, dan Australia setelah penjaga pantainya menembakkan meriam air ke kapal penjaga pantai Filipina, yang berusaha mengirimkan logistik ke pasukan yang ditempatkan di BRP Sierra Madre, tepatnya di Second Thomas Shoal, Kepulauan Spratly.
China sejak itu telah mengulangi tuntutannya agar BRP Sierra Madre dipindahkan. Kedutaan Besar China di Manila menuduh AS menghasut dan mendukung upaya Filipina untuk merombak dan memperkuat BRP Sierra Madre, serta menggalang sekutunya untuk terus-menerus menimbulkan sensasi atas isu Laut China Selatan.
"Saya ingin menekankan bahwa Laut China Selatan bukanlah tempat berburu bagi negara-negara di luar kawasan untuk ikut campur, menabur perselisihan dan memprovokasi konflik," sebut pernyataan Kedutaan Besar China di Manila seperti dilansir The Guardian, Kamis (10/8).
Kementerian Luar Negeri China juga menuduh AS mengancamnya melalui perjanjian pertahanan bersama dengan Filipina.
"AS dengan berani mendukung Filipina karena melanggar kedaulatan China, namun langkah itu tidak akan berhasil," kata juru bicara kementerian.
Advertisement
AS-Filipina Perkuat Aliansi
AS, meski bukan penggugat dalam sengketa Laut China Selatan, namun menganggap kawasan itu strategis bagi kepentingan nasionalnya.
Pada Selasa (8/8), Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menggarisbawahi sifat kuat dari aliansi AS-Filipina melalui panggilan telepon dengan Menteri Pertahanan Nasional Filipina Gilberto Teodoro Jr. Austin menegaskan kembali bahwa perjanjian antara kedua negara, di mana AS akan membela Filipina jika kapal dan pasukan publiknya menjadi sasaran serangan bersenjata, diperluas ke penjaga pantai di Laut China Selatan.
China mengklaim hampir semua Laut China Selatan, termasuk Second Thomas Shoal, meskipun klaim luasnya tersebut menurut pengadilan internasional di Den Haag pada tahun 2016 tidak memiliki dasar hukum.
Kementerian Luar Negeri China pada Selasa pun mengulangi penolakannya terhadap keputusan tersebut.
"Arbitrase Laut China Selatan adalah drama politik murni yang dipentaskan atas nama hukum dengan AS memainkan di belakang layar," katanya.
Manila sering menuduh penjaga pantai China memblokir misi pengiriman logistik bagi pasukannya di BRP Sierra Madre.
Pada Februari, penjaga pantai Filipina menuduh China mengarahkan laser level militer ke salah satu kapalnya saat mencoba mendukung misi angkatan laut untuk membawa makanan dan perbekalan bagi pasukannya di Second Thomas Shoal.