Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas menegaskan kembali perlawanan terhadap intoleransi pada acara Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023. Menag pun mengutip ayat Al-Maidah dan injil untuk menerangkan bahwa toleransi diajarkan oleh berbagai agama.
"'Love the Lord your God with all your heart ... with all your mind and with all your strength. Love your neighbor as yourself.' Matius. 22:36-39. Who is my neighbor adalah narasi utama iman Kristen dalam pertautannya dengan toleransi," ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam acara JPD di Jakarta, Senin (29/8/2023).
Baca Juga
Menag Yaqut Cholil Qoumas juga menyorot konsep "good samaritan" di ajaran Kristiani.
Advertisement
"Kristianitas menampilkan figur 'good samaritan' seorang yang asing yang berbeda dan bahkan tidak diketahui namanya, tapi justru yang mengulurkan tangannya pertama kali ketika seorang asing mengalami sebuah kemalangan. Di sini mengambil sikap toleran justru merefleksikan manusia dalam keunggulan terdalamnya, yaitu kapasitas untuk mencintai," tegasnya.
Selain itu, Menag Yaqut mengingatkan bahwa di masa lalu ada contoh-contoh ketika intoleransi menyebabkan kematian begitu banyak nyawa.
Peristiwa Holocaust yang terjadi selama Perang Dunia 2 dan menewaskan jutaan orang Yahudi yang menjadi target persekusi di masa kekuasaan Adolf Hitler.
"Pada paruh pertama abad ke-20, pada puncak kemajuan modernitas, kemanusiaan mengalami serangan brutal dalam Holocaust. Enam juta orang Yahudi dibunuh. Dan setelah Perang Dunia 2 usai, bangsa-bangsa akhirnya belajar untuk memandang tinggi manusia yang hak-haknya dilindungi secara universal," ucap Menag.
Namun, Menag menyayangkan bahwa insiden mematikan kembali terjadi saat Genosida Rwanda pada 1994 akibat "politik kebencian di Rwanda".
"Intoleransi, stigma, politik berbasis kebencian, serta superioritas ras, menenggelamkan seluruh sendi peradaban. Dua tragedi besar ini adalah contoh paling jelas dari betapa berbahayanya toleransi yang dibawa oleh propaganda politik rasial dan eksploitasi identitas, sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya kemanusiaan kita," ujarnya.
ASEAN Intercultural dan Interreligious Dialogue Conference, Cara PBNU Harmonisasikan Perdamaian Dunia Lewat Toleransi Beragama
Sebelumnya dilaporkan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyambut baik, kedatangan para pemuka agama dan sejumlah tokoh penganut kepercayaan di Jakarta dalam Forum ASEAN Intercultural dan Interreligious Dialogue Conference (AIIDC) 2023.
Menurut Yahya, AIIDC adalah forum lintas agama dan keyakinan antar pemeluknya di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), seperti yang sebelumnya juga pernah dihelat di Bali pada forum senada bertajuk R20.
"R20 forum atau forum antar agama dalam kaitannya dengan konferensi tingkat tinggi G20. Dalam forum tersebut kami mengundang tokoh agama khususnya dari negara-negara anggota G20 dan negara-negara lain untuk mengekspresikan keinginannya dalam upaya agar nilai-nilai agama, moral dan etika yang bersendikan atau diinspirasikan oleh agama dapat ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik," kata pria karib disapa Gus Yahya di Hotel Ritz Carlton Jakarta, Senin (7/8).
Gus Yahya bercerita, R20 memiliki dampak strategis terhadap negara-negara yang tergabung dalam G20. Sebab, melalui para pemuka agamanya di masing-masing negara, membawa hasil kesepakatan seluruh pihak saat R20 untuk dijadikan tonggak dalam mengatasi isu keyakinan.
"Khususnya hal-hal yang terkait dengan kecenderungan-kecenderungan untuk saling bertentangan dan bahkan mungkin memicu konflik harus diatasi agar agama-agama bisa dengan tulus dan sungguh-sungguh hidup berdampingan dengan damai," ungkap Gus Yahya.
Advertisement
Semangat G20
Lewat semangat R20, Gus Yahya mencoba membawanya ke dalam forum AIIDC. Tujuannya, untuk menjadi wadah bagi negara-negara di ASEAN untuk lebih saling menghargai para pemeluk agama demi terciptanya perdamaian dunia.
"Kami melihat masyarakat di lingkungan ASEAN khususnya dan di lingkungan Indo Pasific pada umumnya masyarakat-masyarakat yang mewarisi suatu warisan peradaban yang sama yang tumbuh jauh kebelakang dalam sejarah sejak abad ke-3 sebelum masehi (SM)," urai Gus Yahya.
Gus Yahya percaya, hal tersebut dapat menjadi modal besar bagi masyarakat di seluruh negara-negara ASEAN agar memiliki nilai harmoni dan toleransi yang lebih baik lagi usai mengikuti seluruh rangkaian AIIDC.
"Maka kami berinisiatif lagi (setelah R20), dengan restu pemerintah Indonesia dan Presiden Jokowi, kami (PBNU) menyelenggarakan forum AIIDC konferensi ini sebagai inisiasi untuk memulai suatu konsolidasi dari konstituen peradaban yang besar yang dapat mendorong tumbuhnya harmoni toleransi dan perdamaian yang semoga bisa menginspirasi dinamika internasional secara keseluruhan," Gus Yahya menandasi.