Liputan6.com, Tokyo - Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida dan tiga menterinya memilih menu sashimi atau makanan laut (seafood) mentah untuk makan siang pada Rabu (30/8/2023). Hal itu merupakan upaya nyata untuk menunjukkan bahwa ikan aman dikonsumsi pasca pembuangan limbah nuklir Fukushima, yang dimulai Kamis 24 Agustus.
Tepatnya, hidangan yang disajikan adalah sashimi ikan flounder, gurita, dan ikan bass, yang ditangkap di lepas pantai Fukushima pasca pembuangan limbah nuklir. Menteri Ekonomi dan Industri Yasutoshi Nishimura menerangkan bahwa sayuran, buah-buahan, dan semangkuk nasi yang disantap juga merupakan hasil panen dari Prefektur Fukushima.
Baca Juga
Pembuangan limbah nuklir Fukushima yang telah diolah ke laut mendapat penentangan keras dari kelompok nelayan lokal dan negara-negara tetangga. China telah melarang semua impor seafood, sementara di Korea Selatan ribuan orang menggelar unjuk rasa untuk mengecam kebijakan Jepang.
Advertisement
Semua data pengambilan sampel air laut dan ikan sejak dirilis berada jauh di bawah batas keamanan yang ditetapkan.
"Makan siang ini merupakan komitmen kuat PM Kishida untuk menunjukkan kepemimpinan dalam mengatasi kerusakan reputasi sambil tetap menjaga perasaan komunitas perikanan di Fukushima," ujar Nishimura seperti dilansir AP, Kamis (31/8). "Penting untuk menunjukkan keamanan berdasarkan bukti ilmiah dan dengan tegas menyebarkan informasi baik di dalam maupun luar Jepang."
ÂÂÂView this post on Instagram
Presiden Korea Selatan Juga Makan Ikan
Nishimura sendiri telah mengunjungi jaringan supermarket Fukushima pada Senin (28/8) untuk mencicipi ikan dan Kishida mengunjungi pasar ikan Toyosu di Tokyo pada Kamis, bagian dari upaya mempromosikan seafood Fukushima.
Di Korea Selatan, Presiden Yoon Suk Yeol juga makan ikan untuk makan siang. Menurut kantor berita Yonhap, kafetaria kantor kepresidenan pekan ini menyajikan ikan Korea, yang permintaannya menurun karena kekhawatiran akan dampak pelepasan limbah nuklir Fukushima.
Dalam perkembangan lainnya, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan peringatan perjalanan pada Minggu yang mendesak warga negara itu untuk lebih berhati-hati di China, dengan alasan meningkatnya pelecehan dan protes yang disertai kekerasan atas pembuangan limbah nuklir Fukushima.
Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan pelempar batu menargetkan Kedutaan Besar Jepang, konsulat, dan sekolah di China.
"Ini sangat disesalkan dan kami prihatin," kata Matsuno.
Matsuno juga mengisyaratkan kemungkinan membawa kasus ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dia mengatakan bahwa Jepang di masa lalu telah mengangkat isu-isu di bawah kerangka WTO mengenai pembatasan perdagangan China tanpa dasar ilmiah dan Jepang akan mempertimbangkan berbagai pilihan sambil terus bekerja dalam kerangka WTO untuk memutuskan langkah-langkah yang diperlukan.
Advertisement
Teror terhadap Jepang
Pasca pembuangan limbah nuklir, ribuan teror telepon dari China telah menargetkan kantor-kantor pemerintah Fukushima dan operator pembangkit listrik tenaga nuklir. Menurut NHK, banyak penelepon berteriak dalam bahasa China, bahkan beberapa meneriakkan kata "bodoh" atau makian lainnya.
Di Tokyo, sebuah bar bergaya Jepang memperingatkan warga China bahwa mereka hanya menyajikan makanan dari Fukushima. Hal tersebut menarik perhatian seorang V-tuber China, yang menelepon polisi dan mengeluhkan diskriminasi kewarganegaraan terhadap warga China. Pemilik bar kemudian bersedia mengubah tandanya, namun menolak berkomentar.
Limbah nuklir Fukushima yang dibuang ke laut merupalan akumulasi sejak kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir itu pada Maret 2011, yang disebabkan oleh gempa besar dan tsunami. Totalnya terdapat 1,34 juta ton, yang disimpan di sekitar 1.000 tangki, yang akan dibuang selama puluhan tahun.
Pemerintah Jepang dan Tokyo Electric Power Company Holdings menuturkan bahwa limbah nuklir yang tertampung dalam tangki harus dibuang untuk memberi ruang guna membangun fasilitas pembersihan dan penghentian pembangkit listrik, yang juga diperkirakan akan memakan waktu puluhan tahun.
Di Jepang, pelepasan air tersebut mendapat tentangan keras dari kelompok nelayan yang khawatir hal itu akan semakin merusak reputasi seafood di kawasan Fukushima.