Liputan6.com, Washington - Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengimbau para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kembali ke Tanah Air setelah menyelesaikan studi di luar negeri. Imbauan itu disampaikan dalam acara Festival LPDP 2023 di Jakarta pada awal Agustus.
Dikutip VOA Indonesia, Sabtu (2/9/2023), seorang mantan penerima beasiswa LPDP dan seorang lainnya yang kini sedang menjalani studi lanjut di Amerika Serikat (AS) bereaksi positif dan mendukung seruan presiden agar penerima beasiswa LPDP kembali ke Tanah Air setelah menyelesaikan studi di mancanegara.
Baca Juga
Mereka adalah Abraham Soyem yang telah menyelesaikan gelar S2 di George Washington University, yang kini telah kembali di Indonesia, dan Ignatia Elvi Manek, mahasiswa pasca sarjana jurusan Global Health Policy, di George Washington University.
Advertisement
Keduanya menyatakan setuju agar penerima beasiswa pulang, bahkan jika gaji dan fasilitas yang ditawarkan di Tanah Air jauh berada di bawah standar yang bisa diperoleh di luar negeri.
Menurut mereka, pulang adalah komitmen dan berkontribusi kepada pembangunan negara adalah kewajiban yang pantas dan selayaknya dilakukan, terutama setelah negara membayar biaya studi mereka yang tidak murah.
Kecewa dengan yang Memilih Tidak Pulang
Kepada VOA, Abraham Soyem yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, mengatakan bahwa dia agak kecewa dengan teman-teman yang memutuskan tetap tinggal di AS.
"Kita ini harus tahu diri. Negara sudah mengeluarkan miliaran rupiah untuk sesuatu yang kita impikan sejak dulu," tuturnya.
Peraih gelar Master of Business Administration (MBA) ini mengaku tidak berhak untuk berkomentar tentang orang lain, tetapi dia mencontohkan dirinya sendiri bahwa impiannya untuk menggondol S2 Amerika itu memang dengan kerja keras.
Namun, menurutnya cita-cita itu bisa digapai berkat bantuan keuangan dari negara dan oleh karenanya dia merasa harus membalas kebaikan negara. Bahkan, ujarnya, jika negara tidak menyediakan beasiswa pun dia merasa harus melakukan sesuatu.
"Kita ini sudah dari sejak SD pakai seragam merah putih, sudah hormat bendera kita, sudah dapat freedom (kebebasan) dan lain-lain. Itu tugas kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk negara ini. Itu saja. Nanti, kalau ada ekstranya dan negara mau memperhatikan maka bukan masalah. Yang penting, pertama kita harus melakukan sesuatu untuk negara," ungkapnya.
Abraham mengatakan Indonesia adalah negara besar dengan demografi dan geografi beragam, memiliki jumlah populasi besar dari 38 provinsi, dan kekayaan alam yang melimpah. Sebagai warga negara, dia mengungkapkan, "Kita jangan harapkan orang luar datang untuk membimbing-bimbing. Semua dari diri kita sendiri saja untuk membangun Indonesia."
"Jadi, kalau sudah dikasih, negara sudah membiayai, negara sudah memanjakan dengan sekian miliar (rupiah) untuk menggapai mimpi yang kita targetkan, ya sudah, setelah dapat itu, kembali dong untuk negara," kata dia.
Di lain sisi, Abraham bisa memahami mereka yang tergoda dan terpikat dengan tawaran yang lebih menarik dengan gaji besar, yang secara signifikan berbeda jauh dari potensi gaji di tanah air. Namun, dia tetap mendukung imbauan Presiden Jokowi.
"Saya tidak pungkiri itu. Saya harus mengakui itu, tapi lagi-lagi (secara pribadi) saya memang selalu bekerja pakai hati. Kalau masalah gaji, ya kita ini manusia, kita pasti memilih yang lebih gede. Tapi, lagi-lagi, kalau kita memilih yang lebih gede, ya kita pasti bertahan di AS. Terus siapa yang membangun negara ini kalau bukan kita? Kita kan future leader (pemimpin masa depan), berarti tugas kita harus bikin negara ini lebih bagus dari sisi gaji dan sebagainya. Gak ada pilihan lain. Harus pulang, bangun negara. Sekarang adalah waktunya kembali karena tidak ada orang lain yang akan memajukan negara kita, tidak ada orang lain yang bisa mengubah sistem negara kita atau membangun negara kita kecuali kita sendiri," tegas Abraham.
Advertisement
Sependapat dengan Presiden Jokowi
Sementara itu, Elvi yang berasal dari Atambua, Nusa Tenggara Timur, mengaku mendukung imbauan Presiden Jokowi yang meminta penerima beasiswa LPDP pulang setelah menyelesaikan studi di luar negeri.
"Saya sendiri secara pribadi sangat sejalan dengan apa yang dikatakan oleh bapak presiden. Di sini saya melihat bapak presiden bukan cuma sebagai presiden, tetapi juga sebagai seorang ayah yang ingin anak-anaknya pulang untuk berkontribusi," tutur dia.
Elvi menambahkan, "Di situ juga perlu kita tandai bahwa ketika pulang, seorang awardee (penerima) beasiswa LPDP itu yang diminta bukan hanya pencapaian akademis, tetapi (juga) pengalaman-pengalaman dan segala hal yang bersifat empiris yang didapatkan dari negara tempat belajar untuk bisa dibawa pulang ke Indonesia."
"Terutama karena persaingan global yang sangat ketat saat ini, kita perlu menjadi generasi yang sangat adaptif, terutama untuk bersaing secara global. Kalau saya sendiri di jurusan Global Health Policy, negara ini (AS) beradaptasi dengan sangat cepat. Saya rasa ini adalah hal yang sangat baik untuk kita semua pulang berkontribusi, tetapi jangan dengan tangan kosong."
Elvi mengakui bahwa perkembangan dan perubahan di AS, termasuk yang terkait dengan kebijakan-kebijakan global untuk kesehatan masyarakat, berjalan sangat cepat. Hal itu berbeda dengan keadaan di daerah asalnya atau mungkin di berbagai wilayah lain di Indonesia.
"Saya anak daerah yang dulunya S1 di Provinsi Nusa Tenggara Timur di Universitas Nusa Cendana yang sangat, sangat saya banggakan, tetapi perlu saya akui bahwa perubahan di sini itu sangat 180 derajat berbeda, di mana kita diajarkan untuk berpikir kritis, di mana kita diajarkan untuk selalu beradaptasi secara global," terang Elvi.
Kepada mereka yang beraspirasi menempuh studi lanjut dengan beasiswa LPDP, Elvi mengatakan bahwa mereka perlu meningkatkan keinginan dan kemauan untuk berkontribusi dan juga untuk berkembang, dengan secara terbuka menyerap apapun yang perlu dipelajari di negara orang untuk nantinya bisa diterapkan atau disesuaikan dengan kebutuhan di Tanah Air, terutama di wilayah kita masing-masing.
"Dan untuk awardee yang saat ini sedang menjalani perkuliahan seperti saya, jangan menyerah, karena ini bukan hal yang mudah, terutama untuk membuat suatu perubahan itu tidak bisa secara instan. Tetapi, kita ini adalah bibit-bibit yang sangat diharapkan Indonesia untuk kembali, berkontribusi, berubah, beradaptasi secara global, dan juga bersaing secara global," ujar Elvi.
Pembelajaran Bagi Pemerintah
Secara pribadi, Elvi bisa mengerti pemikiran masing-masing penerima beasiswa, yang dengan alasan masing-masing pula memutuskan untuk tetap tinggal di AS karena mendapatkan kesempatan yang dianggap lebih baik atau faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan tersebut.
"Tidak selamanya itu berupa materi, secara finansial, tetapi ada juga yang akhirnya aspirasi atau pendapat mereka itu tidak diterima sehingga mereka kesulitan untuk kembali berkontribusi," ungkap Elvi.
Elvi berharap jika ada sebagian kecil di antara penerima beasiswa yang tidak pulang maka hal itu juga bisa menjadi salah satu pembelajaran bagi pemerintah dan bagi program-program yang ada di Indonesia untuk memikat dan membuat awardee berkeinginan untuk berkontribusi.
"Ini juga menjadi bahan pembelajaran tidak hanya untuk awardee, tetapi juga untuk penyedia-penyedia lapangan pekerjaan di negara kita sendiri untuk berkembang, untuk menyerap orang-orang ini, sehingga kapasitas dan kompetensi yang sudah didapatkan di luar negeri tidak hanya terbuang sia-sia karena pada saat mereka pulang mereka juga pasti akan mengharapkan sesuatu yang bisa mereka berikan."
Bagaimanapun, Elvi menyatakan tetap mendukung mereka yang berada dan bekerja di luar negeri. Dia berharap keputusan itu hanya bersifat sementara, untuk mendapatkan kompetensi dan meningkatkan kapasitas, serta memperluas networking.
"Ketika kita bekerja untuk sementara di sini, diharapkan untuk suatu saat jika memang hati ini tergerak untuk kembali ke Indonesia dengan membawa networking dan semua kapasitas dan kompetensi yang telah dipelajari untuk dikembangkan di Indonesia," imbuhnya.
Advertisement