Liputan6.com, Beijing - Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) angkat bicara soal kudeta militer yang terjadi di Gabon. Presiden Ali Bongo dilengserkan meski menang 64,2 persen suara pada pemilu 2023.
Negara-negara Barat telah lebih dahulu menyatakan keprihatinannya terhadap konflik yang terjadi. Sementara, media pemerintah China menyebut bahwa Barat hanya khawatir jika pemerintahan Gabon yang baru justru tidak pro-Barat.
Baca Juga
Secara resmi, pemerintah China meminta agar situasi di Gabon bisa segera meraih perdamaian.
Advertisement
"China secara lekat mengikuti perkembangan-perkembangan di Gabon. Kami mengimbau pihak-pihak terkait di negara itu untuk bergerak dari kepentingan-kepentingan fundamental negara dan rakyat, menyelesaikan perbedaan secara damai melalui dialog, memperbaiki ketertiban sedini mungkin," ujar juru bicara Kemlu RRC Wang Wenbin, dikutip Global Times, Jumat (1/9/2023).
Kedutaan Besar China di Gabon telah menyiapkan mekanisme darurat jika ada insiden signifikan yang tak terduga. Semua warga China di Gabon juga diminta tetap di rumah dan tidak bepergian.
Song Wei, pakar hubungan luar negeri dari Beijing Foreign Studies University, berkata kudeta terjadi karena level pemerintahan yang rendah di Gabon, serta administrasi yang tidak bagus. Ia juga menyalahkan Barat yang dianggap gagal membangun fondasi pemerintahan yang baik di Gabon.
"Inti masalah ini adalah pengaruh dari bekas kekuasaan kolonial di Barat dan reformasi pemerintah dan sistem politik yang Barat telah dorong ke Afrika sejak Perang Dingin. Reformasi-reformasi itu tidak memberikan fondasi bagi Afrika untuk secara alami memproduksi demokrasi," ujar Song Wei.
Prancis Tak Akan Diam
Sementara, You Tao yang merupakan pakar dari Sichuan International Studies menyorot bahwa Prancis tidak akan tinggal diam melihat pergolakan di Gabon.
"Jika kudeta Gabon sukses, pemerintah Prancis tentunya tidak akan diam saja. Sebab, keluarga Bongo telah menjaga hubungan personal yang baik dengan keluarga Prancis secara berturut-turut, dan kepetingan nasional sangatlah terjalin. Prancis tidak bisa kehilangan Gabon," ujar You.
Prancis dulu memang negara yang menjajah Gabon. Negara itu merdeka pada 1958.
Bapak dari Ali Bongo adalah Omar Bongo yang berkuasa di Gabon selama lebih dari 40 tahun. Ali Bongo sendiri telah berkuasa sejak 2009.Â
AS PrihatinÂ
Sebelumnya pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan keprihatinan soal kudeta militer yang terjadi di Gabon. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matthew Miller menegaskan bahwa AS tidak mendukung perebutan suara secara militer, meski mengakui ada yang aneh pada pemilu Gabon.
"Amerika Serikat sangat prihatin terhadap kejadian-kejadian yang berkembang di Gabon. Kami tetap secara tegas melawan perebutan kekuasaan atau transfer kekuasaan secara konstitusional," tulis pernyataan Matthew Miller, seperti dilansir situs State.gov, Kamis (31/8).
Advertisement
Masalah di Pemilu Gabon
AS mengakui bahwa ada keanehan dalam pemilu Gabon. Kudeta militer ini terjadi setelah presiden petahana Ali Bongo kembali memenangkan pemilu. Media-media Barat melaporkan bahwa Ali Bongo menang dengan perolehan suara lebih dari 60 persen.Â
"Kami juga mencatat dengan prihatin terhadap kurangnya transparansi dan laporan-laporan keanehan di seputar pemilu. Amerika Serikat berdiri bersama rakyat Gabon," tulis pernyataan Miller.Â
Berdasarkan laporan AP News, prajurit-prajurit Gabon telah mengangkat kepala penjaga republik Jenderal Brice Clotaire Oligui Nguema sebagai pemimpin baru di Gabon.
Oligui ternyata adalah sepupu dari Bongo. AP News menyorot bahwa Bongo dan mendiang ayahnya telah berkuasa di Gabon selama 55 tahun.
Keadaan Bongo saat ini sedang ditahan di kediamannya. Pada sebuah pesan video, ia meminta agar rakyat bersuara terhadap kejadian ini. Namun, warga yang turun ke jalanan justru merayakan lengsernya Bongo yang dituduh semakin kaya berkat sumber daya alam negara, sementara banyak rakyat yang kesulitan.