Sukses

AS Sebut Peta Baru China yang Kontroversial sebagai Klaim Palsu

Amerika Serikat akan terus melawan "klaim maritim palsu" Beijing, kata John Kirby, koordinator Dewan Keamanan Nasional untuk komunikasi strategis, sebagai tanggapan atas peta 2023 China yang baru dirilis.

Liputan6.com, Washington D.C - Amerika Serikat akan terus melawan "klaim maritim palsu" Beijing, kata John Kirby, koordinator Dewan Keamanan Nasional untuk komunikasi strategis, sebagai tanggapan atas peta 2023 China yang baru dirilis.

Peta itu sendiri telah memicu kemarahan India, Vietnam, Taiwan, Malaysia, dan Filipina.

Dalam wawancara dengan VOA, Kirby berbicara tentang harapan lawatan Presiden Joe Biden mendatang ke KTT G20 di New Delhi, diikuti dengan kunjungan ke Hanoi, tempat Amerika diperkirakan akan meningkatkan hubungan bilateral dengan Vietnam.

Dia juga meninjau keterlibatan Wakil Presiden Kamala Harris yang akan datang dengan para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta, Indonesia.

"Kami telah sangat, sangat konsisten dalam mendorong kembali klaim maritim palsu RRT (China) ini. Peta ini tidak mengubah kebijakan tersebut. Tapi bukan hanya garis apa yang mereka gambar di peta. Ini tentang perilaku koersif mereka. Ini tentang cara mereka mengintimidasi tetangga [mereka] dan beberapa sekutu serta mitra kami di Indo-Pasifik, untuk mencoba memajukan klaim maritim palsu ini," kata Kirby seperti dikutip dari VOA, Sabtu (2/9/2023).

Masalah Laut China Selatan kembali membawa persoalan ke hubungan China dan negara-negara ASEAN. Filipina dan Malaysia melayangkan protes karena peta buatan China yang dinilai tidak mencerminkan kebenaran.

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (1/9/2023), Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan melayangkan protes atas peta baru yang dirilis oleh China. Pasalnya, negara itu memperluas klaim wilayah kedaulatannya di Laut China Selatan.

Peta yang dirilis pada Senin (28/8) tersebut menunjukkan garis berbentuk U yang mencakup sekitar 90% Laut China Selatan. Perairan itu telah menjadi salah satu sumber sengketa yang paling diperebutkan di dunia, dengan nilai perdagangan yang melaluinya mencapai lebih dari US$3 triliun setiap tahunnya.

Filipina pada hari Kamis (31/8) meminta China untuk “bertindak secara bertanggung jawab dan mematuhi kewajibannya” berdasarkan hukum internasional dan putusan arbitrase tahun 2016 yang menyatakan bahwa garis tersebut tidak memiliki dasar hukum.

Malaysia juga menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan protes diplomatik atas peta tersebut.

Di sisi lain, China mengatakan bahwa garis itu sesuai dengan peta historisnya. Namun, tidak jelas apakah peta terbaru itu menunjukkan adanya klaim baru atas wilayah mereka.

Garis berbentuk U milik China membentang sejauh 1.500 km di selatan pulau Hainan dan memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.

“Upaya terbaru China untuk melegitimasi kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah dan zona maritim Filipina tidak berdasarkan hukum internasional,” kata Kementerian Luar Negeri Filipina.

Sementara itu, Malaysia merilis pernyataan bahwa peta baru tersebut tidak memiliki otoritas yang mengikat atas Malaysia, dan negara itu “juga memandang Laut China Selatan sebagai masalah yang rumit dan sensitif.”

Peta terbaru itu berbeda dengan versi yang diserahkan oleh China ke PBB pada tahun 2009 mengenai Laut China Selatan, yang mencakup apa yang disebut “sembilan garis putus-putus”. Peta baru itu memiliki wilayah geografis yang lebih luas dan sepuluh garis putus-putus yang mencakup wilayah Taiwan – yang memiliki pemerintahan demokratis sendiri, mirip peta China tahun 1948. China sebelumnya pernah menerbitkan peta dengan garis putus-putus kesepuluh pada tahun 2013.

Selengkapnya...

 

2 dari 2 halaman

India Protes Keras China Karena Peta Barunya Memasukkan Wilayah Sengketa

India mengajukan protes keras ke China atas peta baru yang disebutnya mengklaim wilayahnya. Media India melaporkan bahwa peta tersebut menunjukkan Negara Bagian Arunachal Pradesh dan Dataran Tinggi Aksai Chin yang disengketakan.

Peta yang dipersoalkan India dirilis oleh Kementerian Sumber Daya Alam China pada Senin (28/8/2023). Menteri Luar Negeri (Menlu) India S. Jaishankar menyebut klaim China tidak masuk akal.

"China bahkan di masa lalu telah mengeluarkan peta yang mengklaim wilayah-wilayah yang bukan milik China, yang merupakan milik negara lain. Ini adalah kebiasaan lama mereka," katanya kepada saluran TV NDTV pada Selasa (29/8/2023), seperti dilansir BBC, Rabu (30/8).

Juru bicara Kementerian Luar Negeri India Arindam Bagchi menyebutkan bahwa klaim China tidak memiliki dasar. Dia menambahkan bahwa langkah China hanya mempersulit penyelesaian sengketa perbatasan. Di lain sisi, China belum memberikan respons resminya.

Protes India terjadi beberapa hari setelah Perdana Menteri Narendra Modi dan Presiden China Xi Jinping berbicara di sela-sela KTT BRICS di Afrika Selatan. Seorang pejabat India mengatakan bahwa pasca pertemuan itu, kedua negara telah sepakat mengintensifkan deeskalasi secara cepat di sepanjang perbatasan yang disengketakan.

Sumber ketegangan antara dua kekuatan nuklir ini adalah sengketa perbatasan de facto sepanjang 3.440 km di sepanjang Himalaya – yang disebut Garis Kontrol Aktual atau LAC – yang tidak memiliki batas yang jelas. Kehadiran sungai, danau, dan hamparan salju membuat garis tersebut dapat berpindah di beberapa tempat.

Tentara dari kedua belah pihak saling berhadapan di banyak titik. Terakhir kali, ketegangan terjadi pada Desember 2022 ketika pasukan India dan China bentrok di Kota Tawang.

Baca selengkapnya...