Sukses

Presiden Korea Selatan di Sidang Umum PBB: Rusia Bantu Korut Itu Aksi Provokasi

Dalam pidatonya di Majelis Umum tingkat tinggi PBB tahunan, Yoon mengatakan skenario seperti itu akan mengancam perdamaian dan keamanan tidak hanya di Ukraina tetapi juga Korea Selatan.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengatakan pada Rabu (20/9), jika Rusia membantu Korea Utara meningkatkan program senjatanya sebagai imbalan atas bantuan perangnya di Ukraina, hal itu merupakan aksi “provokasi”.

Ia menyebut, Korea Selatan serta sekutunya tidak akan tinggal diam, dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (21/9/2023).

Dalam pidatonya di Majelis Umum tingkat tinggi PBB tahunan, Yoon mengatakan skenario seperti itu akan mengancam perdamaian dan keamanan tidak hanya di Ukraina tetapi juga Korea Selatan.

Yoon melontarkan komentar tersebut tepat ketika pemimpin Korea Utara Kim Jong Un kembali ke Pyongyang dari perjalanan selama seminggu ke Rusia di mana ia dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji untuk meningkatkan kerja sama militer.

Program nuklir dan rudal Korea Utara tidak hanya merupakan ancaman nyata terhadap Korea Selatan, namun juga merupakan tantangan serius bagi perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dan di seluruh dunia, kata Yoon.

“Adalah sebuah paradoks jika seorang anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang dipercaya sebagai penjaga utama perdamaian dunia, akan berperang dengan menyerang negara berdaulat lainnya dan menerima senjata dan amunisi dari rezim yang secara terang-terangan melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB,” katanya.

2 dari 3 halaman

Kekhawatiran Korea Selatan dan AS

Seoul dan Washington telah menyatakan kekhawatirannya bahwa Rusia mungkin berusaha memperoleh amunisi dari Korea Utara untuk menambah persediaan amunisi yang menipis akibat perang di Ukraina, sementara Pyongyang mencari bantuan teknologi untuk program nuklir dan rudalnya.

“Jika (Korea Utara) memperoleh informasi dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan WMD dengan imbalan mendukung Rusia dengan senjata konvensional, kesepakatan itu akan menjadi provokasi langsung, mengancam perdamaian dan keamanan tidak hanya Ukraina, tetapi juga Republik Korea," kata Yoon.”

Segala kegiatan yang membantu program senjata Korea Utara dilarang berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB, dan Putin mengatakan Rusia, salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan, “tidak akan pernah melanggar apa pun”.

Seorang pembantu presiden Korea Selatan menolak hal ini, dengan mengatakan bahwa Korsel telah "mengamati transaksi militer yang terjadi selama beberapa bulan sebelum pertemuan puncak" antara Kim dan Putin.

Pada Rabu (20/9), juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, Rusia ingin memperluas hubungan dengan Korea Utara di semua bidang yang memungkinkan.

3 dari 3 halaman

Korsel Minta Rusia Tinggalkan Potensi Kesepakatan Senjata dengan Korut

Pada Selasa (19/9), wakil menteri luar negeri Korea Selatan, Chang Ho-jin, memanggil duta besar Rusia untuk mendesak Moskow agar meninggalkan segala potensi kesepakatan senjata dengan Korea Utara, dan memperingatkan “konsekuensi yang jelas”.

Ajudan presiden Korea Selatan mengatakan diskusi sedang dilakukan dengan Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia dan Korea Utara.

Pada hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengatakan bahwa negara tersebut menjatuhkan sanksi baru terhadap 10 individu dan dua entitas sehubungan dengan program nuklir Korea Utara dan perdagangan senjata dengan tiga negara, termasuk Rusia.

Menteri Pertahanan Korea Utara dan kepala staf militernya termasuk di antara orang-orang yang menghadapi sanksi baru, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

Sanksi tersebut merupakan respons terhadap aktivitas ilegal Korea Utara yang mengancam komunitas global, serta perdamaian dan stabilitas di semenanjung Korea, kata kementerian tersebut.