Liputan6.com, Beijing - Sebuah universitas terkemuka di China menghapus tes bahasa Inggris sebagai prasyarat kelulusan. Hal itu memicu kembali perdebatan sengit tentang peran bahasa perantara dalam sistem pendidikan China.
Dalam pengumumannya pada Rabu (20/9/2023), Universitas Jiaotong di Xi'an, ibu kota Provinsi Shaanxi, menyebutkan bahwa para siswa tidak perlu lagi lulus tes bahasa Inggris berstandar nasional atau ujian bahasa Inggris lainnya untuk dapat lulus dengan gelar sarjana.
Pengumuman tersebut menimbulkan kehebohan di media sosial. Banyak yang memuji keputusan tersebut serta menyerukan agar lebih banyak universitas melakukan hal yang sama.
Advertisement
"Sangat bagus. Saya berharap universitas-universitas lain dapat mengikuti jejaknya. Sungguh menggelikan bahwa gelar akademis warga China perlu divalidasi melalui tes bahasa asing," ungkap seorang warganet, yang komentarnya di situs mikroblog Weibo disukai lebih dari 24.000 aku, seperti dilansir CNN, Sabtu (22/9).
Lulus Tes Bahasa Inggris Perguruan Tinggi, sebuah ujian berstandar nasional yang pertama kali diadakan pada tahun 1987, telah menjadi persyaratan kelulusan di sebagian besar universitas di China selama beberapa dekade, meskipun pemerintah tidak pernah menjadikannya sebagai kebijakan resmi.
Praktik umum ini menggarisbawahi pentingnya universitas-universitas di China menggunakan bahasa Inggris – bahasa akademis dan ilmiah yang paling dominan di dunia – terutama ketika China mulai membuka diri dan ingin mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa universitas telah meremehkan pentingnya bahasa Inggris, baik dengan mengganti Tes Bahasa Inggris Perguruan Tinggi nasional dengan ujian mereka sendiri atau seperti halnya yang dilakukan Universitas Jiaotong, menghilangkan kualifikasi bahasa Inggris sebagai kriteria kelulusan.
"Bahasa Inggris itu penting, tetapi seiring berkembangnya China, bahasa Inggris tidak lagi penting," tulis seorang influencer dengan enam juta pengikut di Weibo pasca pengumuman Universitas Jiaotong.
"Seharusnya, giliran orang asing yang belajar bahasa Mandarin."
Kebijakan yang diambil Universitas Jiaotong ini terjadi ketika China menjadi lebih nasionalis dan lebih tertutup di bawah kepemimpinan Xi Jinping, yang menyerukan rakyat untuk memperkuat kepercayaan terhadap budaya dan menangkis pengaruh Barat.
Di sekolah dan universitas, guru dilarang menggunakan buku teks Barat atau berbicara tentang "nilai-nilai Barat" seperti demokrasi, kebebasan pers, dan independensi peradilan.
Larangan sekolah dasar mengadakan ujian akhir bahasa Inggris telah diterapkan di Shanghai, kota paling kosmopolitan di China, pada tahun 2021. Alasannya, demi meringankan beban akademik siswa.
Simbol Semakin Ketatnya Kontrol Ideologi
China menjadikan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dasar dan menengah pada tahun 2001, tahun yang sama ketika negara tersebut bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Pada saat itu, Kementerian Pendidikan China memuji persyaratan tersebut sebagai bagian dari strategi nasional untuk menjadikan pendidikan China siap menghadapi modernisasi, dunia, dan masa depan.
Masyarakat China yang berhaluan liberal menilai bahwa penurunan penggunaan bahasa Inggris dalam sistem pendidikan merupakan simbol perubahan sikap China dan semakin ketatnya kontrol ideologi.
"Kita harus memiliki kepercayaan terhadap budaya, tapi itu tidak sama dengan arogan secara budaya, berpikiran pendek, atau tertutup," tulis sebuah akun di Weibo.
Warganet lainnya menulis komentar senada, "Kita membutuhkan bahasa Inggris untuk memahami dunia. Ini fakta dan tidak bisa ditutup-tutupi dengan panji nasionalisme."
"Anda tidak harus mengaitkannya (dengan kelulusan), tapi jangan meremehkan pentingnya bahasa Inggris. Saat ini, jika Anda tidak mengerti bahasa Inggris, Anda masih akan tertinggal dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi," tulis seorang pengguna Weibo.
Ada juga yang mendukung penghapusan tes bahasa Inggris di universitas dari sudut pandang praktis, dengan alasan bahwa hal tersebut hanya membuang-buang waktu dan energi karena para lulusan jarang menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari atau pekerjaan mereka dan ketika mereka membutuhkannya maka kecerdasan buatan dan mesin terjemahan dapat membantu.
Advertisement