Liputan6.com, Tokyo - Pemerintah Jepang menetapkan aturan baru untuk memudahkan pemberian izin tinggal para imigran yang lari dari perang. Aturan ini pun berlaku ke warga Ukraina yang lari dari negaranya yang sedang diserang Rsia.
Dilansir Kyodo News, Kamis (28/9), para pengungsi ini akan mendapatkan izin untuk mendapatkan status long-term resident (residen jangka panjang) dengan visa kerja. Kebijakan tersebut berasal dari Kementerian Kehakiman Jepang.
Baca Juga
Sistem ini dirancang untuk membantu orang-orang yang lari dari zona konflik, namun statusnya belum resmi sebagai pengungsi.
Advertisement
Konvensi PBB pada 1951 tentang pengungsi mengartikan pengungsi sebagai "seseorang yang tidak bisa atau tidak ingin pulang ke negara asal mereka karena rasa takut yang berdasar akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan grup sosial tertentu, atau opini politik.
Jepang ikut tanda tangan untuk konvensi tersebut. Akan tetapi, orang-orang yang lari dari Ukraina tidak memenuhi kriteria-kriteria itu.
Tidak ada persekusi di Ukraina dari pemerintah berkuasa, namun Ukraina sedang diserang oleh Rusia dan wilayah tanah air mereka direbut oleh Rusia.
Menurut data Badan Pelayanan Imigrasi di Jepang, ada sekitar 2.091 warga yang evakuasi dari Ukraina di Jepang per 20 September 2023. Sebanyak 1.931 di antaranya tinggal di Jepang dengan visa "designated activities" selama setahun.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai, Jepang merupakan salah satu negara Asia yang paling vokal dan aktif mengecam tindakan Rusia.
Diam-Diam Rakyat Rusia Membantu Korban Perang Ukraina
Tidak semua warga Rusia mendukung kebijakan Vladimir Putin untuk menyerang Ukraina. Terbukti, ada warga Ukraina yang diam-diam memberikan bantuan.
Dilansir VOA Indonesia, Kamis (21/9/), salah satu orang Rusia yang menggalang dana untuk Ukraina adalah Galina Artyomenko dari St. Petersburg. Ia menggalang dana untuk membantu para pengungsi dari Ukraina setelah Kremlin mengirim pasukan tentara ke negara pro-Barat itu.
Namun pada Juli lalu, ia mendapati bahwa salah satu kartu banknya, serta kartu bank milik dua relawan lainnya telah diblokir.
“Menurut bank tersebut, tujuan penggalangan dana yang kami lakukan ‘dipertanyakan’,” ujar perempuan berusia 58 tahun itu. Ia pun menegaskan bahwa ia dapat menjustifikasi setiap lembaran rubel yang digunakannya.
Setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim pasukan ke Ukraina tahun lalu, pihak berwenang Rusia memberlakukan tindakan tegas bagi mereka yang berbeda pendapat. Warga yang mengkritik serangan negara itu ke Ukraina akan menghadapi hukuman penjara yang lama.
Sama halnya dengan sukarelawan lainnya yang membantu pengungsi Ukraina, Artyomenko berhati-hati untuk tidak mengutarakan pendapatnya mengenai konflik yang tengah berlangsung itu, karena operasi kemanusiaan pun bisa dicurigai di Rusia.
Advertisement
Tak Gentar Menolong
Terlepas dari kendala tersebut, Artyomenko tetap mengumpulkan sumbangan secara daring dan menggunakan uangnya untuk membeli pakaian, obat-obatan, dan makanan bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi ke Rusia atau wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina.
Ia secara rutin menyambut warga Ukraina yang tiba dengan kereta api di Saint Petersburg, lalu membantu mereka mendapatkan akomodasi, bekerja, atau mengatur perjalanan selanjutnya dari Rusia ke Uni Eropa.
“Faktanya, ribuan orang membantu (warga Ukraina yang terpaksa mengungsi ke Rusia). Namun, karena khawatir akan keamanan mereka sendiri dan keselamatan orang yang mereka bantu, mereka tidak membicarakannya. Tidak ada undang-undang (di Rusia) yang melarang Anda membantu orang yang tertimpa musibah. Tidak ada undang-undang yang (membolehkan Anda) melanggar firman Tuhan untuk 'jangan membunuh’. Tidak ada undang-undang yang melarang Anda memberikan bantuan kepada mereka yang ditinggal sendirian,” ungkap Artyomenko.
Banyak sukarelawan menolak untuk bicara soal serangan Rusia ke Ukraina maupun bantuan mereka kepada pengungsi. Mereka takut hal itu akan mengundang perhatian pihak berwenang, yang rutin menangkap orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan Ukraina atau “mendiskreditkan” tentara Rusia.
Lyudmila (43 tahun) yang tidak ingin disebutkan nama belakangnya, mengatakan para sukarelawan tersebut adalah “pasifis”, alias mereka yang menentang adanya perang atau kekerasan. Mereka tidak dapat secara terbuka mengungkapkan posisi mereka dalam isu itu, dan mereka memilih untuk membantu para korban perang demi menenangkan hati.
“Kami tidak bisa berpangku tangan. Kami harus membantu mereka yang menderita dan kondisinya lebih buruk dari kami,” kata Lyudmila.
Artyomenko juga menambahkan, “Ini adalah satu-satunya cara yang tersisa bagi kami agar tetap selamat. Hanya ini yang masih bisa kami lakukan.”
Jaringan Solidaritas
Jaringan-jaringan solidaritas yang membantu pengungsi, seperti yang melibatkan Artyomenko, telah beroperasi di Rusia sejak dimulainya perang negara itu dengan Ukraina pada tahun 2022.
Baru-baru ini, Artyomenko membeli dan mengantarkan beberapa produk rumah tangga ke gudang bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi Ukraina. Sepatu, pakaian, produk makanan, dan perlengkapan rumah tangga lainnya terlihat tersimpan di rak kayu di tempat penampungan yang dikunjungi hingga sepuluh keluarga setiap harinya itu.
Artyomenko juga membeli kacamata untuk seorang perempuan dari kota Bakhmut, Ukraina timur, yang direbut Rusia pada musim semi lalu.
Mayak.fund adalah salah satu badan amal yang paling terkenal di Moskow. Badan itu menampung hingga 50 orang setiap harinya, menurut salah satu relawan, Yulia Makeyeva.
Makeyeva, bersama anak-anaknya yang masih berusia tujuh dan tiga tahun, meninggalkan kota Kupyansk di timur laut Ukraina hampir setahun yang lalu. Makeyeva mengungkapkan rasa pilunya saat melihat penderitaan para pengungsi. Saat wartawan kantor berita AFP mengunjunginya, ia mulai terisak ketika menceritakan kisah bagaimana para pengungsi bertahan hidup saat Ukraina diserang.
“Ketika kami berbicara dengan para pengungsi dan mendengar cerita mereka, hal tersulit bagi saya adalah menjaga diri agar tidak emosional, karena jika tidak, saya tidak akan bisa bekerja, bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya akan duduk dan menangis,” ujarnya.
Kupyansk dan daerah sekitarnya di wilayah Kharkiv direbut kembali oleh Ukraina pada bulan September lalu, setelah enam bulan berada di tangan Rusia. Namun, Rusia kini mulai melakukan perlawanan.
“Saya hanya ingin perdamaian,” kata Makeyeva.
Advertisement