Sukses

Es Laut Antartika Menyusut Drastis, Apa Konsekuensinya?

Es laut Antartika mengalami siklus tahunan yang mencapai tingkat terendah setiap Februari dan tingkat tertinggi pada September 2023.

Liputan6.com, Antartika - Setiap September, es laut Antartika mencapai batas maksimumnya. Rata-rata antara tahun 1981 dan 2010 adalah 18,71 juta km persegi.

Namun, Pusat Data Salju dan Es Nasional AS (NSIDC) mengatakan bahwa analisis awal menunjukkan es laut mencapai luas maksimum 16,96 juta km persegi pada 10 September 2023 dan telah menyusut sejak saat itu.

Ilmuwan es laut di Universitas Tasmania Will Hobbs mengatakan bahwa sejak April, laju pertumbuhan es laut Antartika "sangat, sangat lambat".

"Ini bukan hanya perubahan besar dari rata-rata, tapi juga dari rekor sebelumnya," ujarnya, seperti dilansir The Guardian, Jumat (29/9). "Pada Mei, cukup jelas bahwa kita sedang menghadapi sesuatu yang spektakuler."

Es laut Antartika mengalami siklus tahunan yang mencapai tingkat terendah setiap Februari dan tingkat tertinggi pada September. Kondisi es laut Antartika relatif stabil hingga rekor terendah baru di Musim Panas dipecahkan pada tahun 2016. Sejak itu, rekor terendah lainnya terus tercatat.

Para ilmuwan masih berusaha mengungkap penyebab terjadinya rekor dramatis ini karena variabilitas alam dan pemanasan global diyakini terjadi bersamaan.

Hobbs menyatakan bahwa "penghalang ilmiah" belum terlampaui untuk memungkinkan para ilmuwan mengonfirmasi rekor tersebut disebabkan oleh pemanasan global. Namun, dia menggarisbawahi hilangnya es laut sejalan dengan proyeksi perubahan iklim.

NSIDC mengungkapkan hilangnya es laut sejak tahun 2016 kemungkinan besar terkait dengan pemanasan lapisan atas lautan.

"Ada kekhawatiran bahwa ini mungkin merupakan awal dari tren penurunan es laut Antartika dalam jangka panjang karena lautan sedang memanas secara global dan percampuran air hangat di lapisan kutub Samudra Selatan dapat terus berlanjut," sebut NSIDC.

2 dari 2 halaman

Konsekuensi Luas bagi Bumi

Ribuan anak penguin kaisar kemungkinan besar mati tahun lalu setelah pecahnya es laut yang biasanya stabil di empat koloni mereka.

Ilmuwan iklim yang berspesialisasi dalam Antartika dan Samudra Selatan di Universitas Monash, Ariaan Purich, menuturkan bahwa 300 meter teratas Samudra Selatan di sekitar benua itu terasa lebih hangat sejak tahun 2016.

"Tetapi mengenai mengapa es di lautan jauh lebih rendah dibandingkan yang pernah tercatat, kita masih belum bisa memahaminya dengan baik," ujarnya.

Dia menyebutkan bahwa hilangnya es laut mempunyai konsekuensi yang luas bagi planet ini. Es laut membantu melindungi es di daratan agar tidak memasuki lautan, yang dapat menaikkan permukaan laut beberapa meter.

Es laut juga memantulkan kembali energi Matahari ke luar angkasa. Purich mengungkapkan bahwa dengan berkurangnya es di laut, semakin banyak lautan yang terkena energi matahari, sehingga menyebabkan pemanasan lebih lanjut di Samudra Selatan yang berujung pada hilangnya es.

"Para ilmuwan khawatir. Saya khawatir es laut yang rendah akan menjadi masa depan – bahkan sekarang sudah terjadi," imbuhnya.