Sukses

Dubes Arab Saudi Tunda Kunjungan ke Masjid Al-Aqsa Imbas Normalisasi Hubungan dengan Israel

Dubes Arab Saudi Nayef al-Sudairi menunda kedatangannya ke Masjid Al-Aqsa setelah mendengar sensitivitas masalah ini dan memahami kritik serta implikasi seputar kunjungan tersebut.

Liputan6.com, Ramallah - Duta Besar (Dubes) non-residen Arab Saudi untuk Palestina Nayef al-Sudairi menunda rencana kunjungannya ke Masjid Al-Aqsa pada Rabu (27/9/2023). Pembatalan terjadi di tengah kritik yang memandang kunjungan tersebut sebagai validasi pendudukan Israel di Yerusalem Timur.

Mengutip sumber Palestina di Ramallah, surat kabar harian Israel, Haaretz, melaporkan bahwa Dubes Nayef al-Sudairi menunda kunjungan tersebut setelah mendengar sensitivitas masalah ini dan memahami kritik serta implikasi seputar kunjungan tersebut.

Haaretz menyebutkan pula bahwa rencana kunjungan hari Rabu tidak diumumkan secara resmi dan tidak dikoordinasikan dengan Wakaf Islam, lembaga gabungan Yordania-Palestina, yang bertanggung jawab atas urusan Kompleks Masjid Al-Aqsa. Demikian seperti dilansir Middle East Eye, Jumat (29/9).

Nayef al-Sudairi yang juga duta besar Arab Saudi untuk Yordania tiba di Tepi Barat yang diduduki pada Selasa (26/9). Kedatangannya disebut untuk meredakan potensi keberatan Palestina atas normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel.

Kunjungan Nayef al-Sudairi sendiri istimewa karena merupakan lawatan pertama pejabat Arab Saudi ke Tepi Barat yang diduduki sejak Otoritas Palestina (PA) didirikan. Dalam kesempatan itu, dia bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Menteri Luar Negeri Riyad al-Maliki, dan pejabat tinggi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hussein Al-Sheikh.

Menurut Nayef al-Sudairi, Arab Saudi sedang berupaya untuk mendirikan Negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

2 dari 3 halaman

Dicurigai Sebagai Penerimaan Diam-diam

Kesepakatan untuk membangun hubungan formal antara negara-negara Arab dan Israel tidak populer di kalangan warga Palestina dan pendukung perjuangan Palestina.

Masuknya Nayef al-Sudairi ke Tepi Barat dan rencana kunjungan ke Masjid Al-Aqsa yang akhirnya dibatalkan diyakini tidak akan mungkin terjadi tanpa persetujuan otoritas Israel.

Persetujuan tersebutlah yang dipandang oleh banyak warga Palestina sebagai penerimaan diam-diam atas kendali Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang keduanya diduduki secara ilegal.

Pada tahun 2019, blogger Arab Saudi bernama Mohammed Saud dikejar dan diusir dari Masjid Al-Aqsa oleh orang-orang Palestina yang menyebutnya "sampah", "murahan", dan "Zionis", serta meludahi wajahnya.

Saud, seorang pengagum vokal Israel, sedang melakukan perjalanan ke Yerusalem Timur yang diduduki dan secara resmi disponsori oleh Kementerian Luar Negeri Israel.

 

3 dari 3 halaman

Wawancara Putra Mahkota Arab Saudi Meresahkan

Kunjungan Nayef al-Sudairi ke Palestina terjadi beberapa hari setelah penguasa de facto Arab Saudi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) berbicara panjang lebar tentang negosiasi pihaknya dengan Israel dalam wawancara dengan Fox News.

Dalam kesempatan tersebut, MBS tidak menyinggung mengenai Negara Palestina, hak sipil dan hak asasi manusia, atau hal-hal spesifik lainnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian warga Palestina.

"Bagi kami, masalah Palestina sangat penting. Kita perlu menyelesaikan masalah itu," kata MBS. "Kami berharap hal ini akan mencapai suatu tujuan, sehingga dapat meringankan kehidupan rakyat Palestina dan menjadikan Israel kembali sebagai pemain di Timur Tengah."

Ketika ditanya mengenai hal-hal apa saja yang ingin dicapainya bagi warga Palestina, MBS bungkam.

"Itu bagian dari negosiasi," ujarnya. "Saya benar-benar ingin melihat kehidupan yang baik bagi warga Palestina," tutur MBS, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Sejumlah analis Palestina, mengaku khawatir atas wawancara tersebut. Salah satunya Direktur Jenderal Masarat, Pusat Penelitian Kebijakan dan Studi Strategis Palestina, Hani al-Masri.

"Wawancara Bin Salman dengan Fox News sangat meresahkan," kata Hani al-Masri. "Dia tidak mengatakan sepatah katapun tentang inisiatif perdamaian, mengakhiri pendudukan, Negara Palestina, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk kembali bagi para pengungsi."

"Ini berarti bahwa dia tidak ingin berkomitmen pada apapun dan ini mencerminkan kesediaan yang besar untuk melakukan fleksibilitas yang berlebihan dan tawar-menawar yang ilegal."

Arab Saudi selama ini tidak pernah mengakui Israel. Sejak tahun 2002, Arab Saudi telah mengondisikan kesepakatan agar Israel mengakhiri pendudukannya dan pembentukan Negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.