Liputan6.com, Washington - Amerika Serikat dan Israel mengumumkan keputusannya untuk menarik diri dari organisasi milik PBB yang bergerak pada bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, UNESCO pada Kamis (12/10/2017), dengan tuduhan utama terkait dugaan bias anti-Israel.
Keputusan tersebut diumumkan oleh Departemen Luar Negeri AS, yang menyebut perlunya "reformasi mendasar" dalam organisasi tersebut dilansir dari PBS.org Selasa (10/10/2023).Â
Baca Juga
16 Februari 1998: Petaka Pesawat China Airlines Jatuh Timpa Rumah Warga dekat Bandara Taiwan, 205 Orang Tewas
14 Februari 1974: Uni Soviet Usir Alexander Solzhenitsyn Sang Penulis Novel Gulag Archipelago, Dianggap Pengkhianat
13 Februari 1961: Deklarasi Kematian Mantan PM Kongo Patrice Lumumba yang Ternyata Tewas Sebulan Sebelumnya
Langkah ini diikuti oleh pernyataan dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menyatakan bahwa Israel juga akan mengikuti langkah serupa saat itu.
Advertisement
Proses penarikan diri ini telah memunculkan kekhawatiran salah satunya pada internal UNESCO, terutama karena pengumuman tersebut terjadi di tengah-tengah pemilihan umum untuk memilih ketua baru di kantor pusat Paris.
Direktur Jenderal UNESCO yang akan segera berakhir masa jabatannya, Irina Bokova, menyatakan "penyesalan mendalam" atas keputusan AS dan Israel. Dia berusaha membela reputasi UNESCO, yang terkenal dengan program World Heritage (Warisan Dunia) untuk melindungi situs budaya dan tradisi.
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah penghentian pendanaan AS terhadap UNESCO sejak 2011, setelah organisasi tersebut menerima Palestina sebagai negara anggota. Saat itu, AS berhutang pembayaran kembali sebesar US$ 550 juta (Rp8,6 triliun).
Dalam pernyataan resminya, Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa keputusan tersebut mulai berlaku pada 31 Desember 2018, dan sebagai alternatif, AS saat itu mencari status "pengamat permanen" sebagai pengganti.Â
Alasan yang diklaim oleh Amerika Serikat adalah "perlunya reformasi mendasar dalam organisasi tersebut."
Dubes Israel Untuk PBB Dukung Penuh Keputusan AS
Netanyahu, dalam pernyataannya 12 Oktober 2017, menyebut keanggotaan Israel dalam UNESCO sebagai "teater absurd," mengklaim bahwa organisasi tersebut justru memutarbalikkan sejarah daripada melestarikannya.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon juga dikabarkan memberikan dukungan penuh terhadap keputusan AS, menyebutnya sebagai "hari baru di PBB" di mana "ada harga yang harus dibayar atas diskriminasi terhadap Israel."
"UNESCO telah menjadi medan perang bagi Israel dan telah mengabaikan peran dan tujuan sebenarnya," ujarnya.
Sejumlah diplomat AS yang akan ditempatkan di UNESCO diberitahu tentang penangguhan posisi mereka saat itu dan disarankan untuk mencari pekerjaan lain. Sementara itu, usulan anggaran pemerintahan yang saat itu di bawah kepemimpinan Trump untuk tahun fiskal berikutnya tidak mencakup kemungkinan pencabutan pembatasan pendanaan UNESCO.
Para pejabat AS, termasuk Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley dilaporkan berulang kali melayangkan kecaman mereka terhadap UNESCO.Â
Advertisement
Palestina Disebut Salah Satu Bagian dari Tudingan Bias Anti-Israel
Selanjutnya dikatakan bahwa keputusan ini merupakan respons terhadap resolusi UNESCO yang menolak hubungan Yahudi dengan tempat-tempat suci dan menyebut Israel memegang kekuasaan pendudukan.
Menteri Luar Negeri AS saat itu, Rex Tillerson dikabarkan mengambil keputusan tersebut secara internal dengan pemerintah AS.
Chris Hegadorn, Kuasa Usaha AS dan perwakilan tingkat AS untuk UNESCO, dalam wawancara dengan The Associated Press, mengungkapkan bahwa keputusan ini terkait sesuatu yang dirasa tidak menguntungkan AS.
"Politisasi mandat UNESCO yang tidak menguntungkan, dimana terjadi bias anti-Israel. Sebuah faktor utama dan sesuatu yang sulit diatasi oleh AS," tuturnya.
Peristiwa bergabungnya Palestina sebagai anggota resmi pada tahun 2011 serta jumlah perwakilan Israel dan sekutunya yang disebut jauh lebih sedikit dibandingkan negara Arab dan pendukungnya dianggap sebagai bukti bias anti-Israel dalam struktur PBB.
Bukan Pertama Kalinya AS Tarik Diri Dari UNESCO
Irina Bokova, dalam pernyataannya sebelum pemilihan ketua baru, menyebut kepergian AS sebagai kerugian bagi "keluarga PBB" dan bagi multilateralisme.
Meski tetap melindungi reputasi UNESCO, ia mengatakan AS dan UNESCO saat itu semakin peduli satu sama lain untuk melawan "kebangkitan ekstremisme kekerasan dan terorisme" dengan lebih baik.
Sebagai langkah yang mengingatkan pada masa lalu, ini bukan pertama kalinya AS menarik diri dari UNESCO. Hal yang sama terjadi pada tahun 1980an dengan alasan lembaga tersebut dianggap salah urus dan korup. Namun, AS bergabung kembali pada tahun 2003.
Meskipun penarikan ini dikhawatirkan akan melemahkan peran AS di UNESCO, Chris Hegadorn menegaskan bahwa AS akan tetap menjadi kekuatan di lembaga kebudayaan tersebut, mengacu pada pengalaman serupa pada tahun 1984 di bawah kepemimpinan Presiden Ronald Reagan.
"Kami akan mengamati dengan cermat bagaimana organisasi dan direktur jenderal yang baru mengarahkan organisasi tersebut,"kata Hegadorn. "Idealnya, hal ini mengarahkannya sedemikian rupa sehingga kepentingan AS dan mandat UNESCO dapat menyatu."
Advertisement