Liputan6.com, Kairo - Mesir meningkatkan kehadiran militernya di perbatasan Rafah yang menghubungkannya dengan Gaza, di tengah kekhawatiran bahwa Israel bermaksud mendorong ratusan ribu pengungsi Palestina melewati perbatasan ke Gurun Sinai.
Kairo telah menegaskan bahwa pengusiran warga Palestina di Gaza dari rumah-rumah mereka merupakan pelanggaran hukum internasional.
Baca Juga
Terkait itu, diplomat Israel menyangkal tujuan mereka mengusir warga Palestina dari Gaza. Namun, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant sempat menuturkan bahwa rencana (pengusiran) itu adalah untuk menghilangkan segalanya. Sementara anggota Knesset yang juga mantan Menteri Kehakiman Gideon Sa’ar mengatakan bahwa Gaza harus menjadi lebih kecil pada akhir perang. Demikian seperti dilansir The Guardian, Senin (16/10/2023).
Advertisement
Pernyataan Mantan Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat (AS) Danny Ayalon tidak kalah kontroversialnya. Dia menilai Mesir harus menerima pengungsi Palestina untuk sementara.
"Ada hamparan luas, ruang yang hampir tidak ada habisnya di Gurun Sinai di sisi lain Gaza," ujarnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dikabarkan telah membahas kemungkinan Israel memaksa warga Palestina melintasi perbatasan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman pada Minggu (15/10), namun belum jelas apa kesimpulan dari pembicaraan keduanya.Â
Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1979 setelah konflik selama beberapa dekade dan kedua negara mempertahankan hubungan diplomatik penuh hingga saat ini.
Diperkirakan ada lebih dari enam juta warga Palestina yang menjadi diaspora, termasuk tiga juta di Yordania dan 400.000 di Lebanon. Jumlahnya di Mesir sendiri lebih kecil.
Sejak perjanjian damai Camp David tahun 1978, hanya sedikit warga Palestina di Mesir yang diakui sebagai pengungsi atau warga negara.
Wilayah Sinai Utara Bersiap Sambut Pengungsi Palestina
Semua negara Arab dilaporkan menentang tindakan pengusiran Israel dan memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan perang regional. Namun, jika pengusiran terus berlanjut, mereka mungkin tidak punya pilihan selain membantu mendanai pendirian kamp pengungsi.
Sebagian besar warga Palestina di Gaza mempunyai hubungan dengan mereka yang diusir pada tahun 1948. Pengusiran massal lebih lanjut dinilai berpotensi besar menjadi lonceng kematian bagi aspirasi Negara Palestina.
Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi pada Kamis (12/10) mengatakan bahwa warga Palestina di Gaza harus tetap tabah dan tetap berada di tanah mereka.
Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan menegaskan bahwa dia sepenuhnya setuju dengan Mesir. Saat berbicara di Kairo dia menggarisbawahi, "Saya ulangi sekali lagi bahwa kami mendesak Israel mematuhi hukum internasional. Kami menentang pemindahan warga Palestina. Kami tidak akan pernah menyetujui kebijakan pengusiran ke Mesir."
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry yang bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock pada Sabtu (14/10) juga menekankan bahwa dia tidak akan membiarkan warga negara asing yang terjebak di Gaza, termasuk warga AS yang menunggu di gerbang Rafah, untuk masuk kecuali Israel mengizinkan konvoi bantuan ke wilayah tersebut.
Penolakan tersebut merupakan salah satu dari sedikit tawar-menawar yang dimiliki Mesir.
Bagaimanapun, seiring dengan upaya Mesir untuk mencegah eksodus massal dari Gaza, mereka dilaporkan juga melakukan persiapan darurat untuk kemungkinan seperti itu.
Sebagai tanda bahwa Mesir sedang melakukan persiapan untuk menerima sejumlah pengungsi, Gubernur Sinai Utara Jenderal Mohamed Abdel-Fadil Shousha mencabut keadaan darurat yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun mengingat ketegangan keamanan antara tentara dan kelompok ekstremis.
Dia dilaporkan mengarahkan semua pemerintah daerah untuk membuat daftar sekolah, unit perumahan, dan lahan kosong untuk digunakan sebagai tempat berlindung jika diperlukan untuk mengantisipasi gelombang warga Palestina yang melarikan diri dari serangan Israel.
Kamp-kamp dikabarkan sedang dipersiapkan di Sheikh Zuweid dan Rafah, begitu pula gedung-gedung pemerintah, termasuk sekolah dan kantor pusat, yang dapat digunakan sebagai tempat berlindung. Kamp-kamp tersebut akan dijaga oleh tentara Mesir.
Mesir menghadapi pemberontakan bersenjata di Sinai Utara setelah militer menggulingkan Mohamed Morsi dari pada tahun 2013.
Advertisement
Bantuan Menanti Masuk Gaza
Mesir, Turki, dan Uni Emirat Arab berkontribusi dalam konvoi bantuan berupa 143 truk yang akan digunakan oleh badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) yang menunggu untuk masuk ke Gaza, namun jalur penyeberangan utama tetap ditutup. Rumah sakit setempat juga sedang mempersiapkan korban luka.
Menyoroti bantuan untuk Palestina, Wakil sekretaris komite hubungan luar negeri di parlemen Mesir Tariq Al-Khouli mengatakan, "Bagaimana mungkin dunia yang begitu vokal dalam membela Ukraina dan begitu cepat menunjukkan segala cara untuk mendukung mereka, menutup mata terhadap bantuan untuk rakyat Palestina yang berduka?"
Menuduh Barat menerapkan standar ganda, dia mengatakan bahwa perpindahan penduduk Jalur Gaza merupakan sebuah kejahatan.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi juga menegaskan pada Sabtu bahwa warga Palestina tidak akan diizinkan melarikan diri ke negara tersebut. Dia mengatakan, Raja Abdullah II pernah menyatakan bahwa memaksa warga Palestina meninggalkan tanah airnya adalah sebuah garis merah yang tidak akan dia terima.
Â