Sukses

Hamas Klaim 250 Orang Disandera di Gaza, Tuntut Pembebasan Tahanan Palestina di Israel Sebagai Syarat Melepas Mereka

Kehadiran sandera di Jalur Gaza diyakini telah mempersulit rencana Israel untuk melakukan invasi darat ke wilayah pesisir sempit yang dihuni 2,3 juta orang itu.

Liputan6.com, Ramallah - Hamas untuk pertama kalinya mengonfirmasi terdapat 250 orang disandera di Gaza dan mereka akan dibebaskan ketika kondisinya ideal.

Dalam pernyataannya pada Senin (16/10/2023) malam, juru bicara Brigade al-Qassam, Abu Ubaida, menjelaskan bahwa sayap militer Hamas itu telah menahan 200 orang sejak serangan pada Sabtu 7 Oktober 2023. Adapun 50 orang ditahan di tempat lain oleh faksi-faksi perlawanan lainnya. Setidaknya 22 sandera tewas akibat serangan udara Israel ke Gaza. Demikian seperti dilansir The Guardian, Selasa (17/10).

Sementara itu, Reuters melaporkan bahwa pernyataan seorang petinggi Hamas mengindikasikan bahwa kelompok militan itu mencoba menggunakan warga Israel yang disandera sebagai alat tawar menawar untuk menjamin pembebasan seluruh tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.

"Hamas -seperti faksi lainnya yang sejak lama menyerukan pembebasan sekitar 6.000 warga Palestina di penjara-penjara Israel- memiliki apa yang dibutuhkan untuk mengosongkan penjara dari semua tahanan," ungkap mantan pemimpin Hamas Khaled Meshaal yang kini memimpin kantor Hamas di Doha, Qatar.

Sebelumnya pada Senin, militer Israel mengonfirmasi bahwa Hamas menyandera 199 orang di Gaza dan mereka telah berkomunikasi dengan seluruh keluarga terdampak.

"Kami melakukan upaya yang berani untuk mencoba memahami di mana para sandera berada di Gaza dan kami memiliki informasi tersebut," kata juru bicara militer Israel Daniel Hagari, seperti dikutip dari The Guardian. "Kami tidak akan melakukan serangan yang akan membahayakan rakyat kami."

Para sandera diyakini sebagian besar warga sipil, mulai dari bayi hingga usia 80-an. Banyak di antaranya yang mempunyai kewarganegaraan ganda.

Kehadiran sandera di Jalur Gaza diyakini telah mempersulit rencana Israel untuk melakukan invasi darat ke wilayah pesisir sempit yang dihuni 2,3 juta orang itu.

Hamas sendiri telah memperingatkan bahwa mereka akan membunuh sandera sebagai tanggapan atas serangan mendadak Israel terhadap sasaran sipil.

2 dari 3 halaman

Penantian di Perbatasan Rafah

Di perbatasan Rafah, yang memisahkan Gaza dengan Mesir, ribuan orang berkumpul di sisi Gaza. Mereka menanti keberhasilan upaya diplomatik untuk membangun jalur keluar yang aman dari wilayah konflik.

Melansir BBC, PBB mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada kemajuan dalam negosiasi pembukaan kembali perbatasan Rafah. Dan Mesir menyalahkan Israel yang tidak mau bekerja sama.

Salah satu yang paling sibuk dalam perang Hamas Vs Israel adalah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken. Dia mendarat kembali di Israel untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari sepekan, setelah turnya ke enam negara Arab.

Kembalinya Blinken ke Israel disebut dalam upaya untuk mendorong pembukaan kembali penyeberangan agar bantuan kemanusiaan dapat masuk dan pemegang paspor asing dapat dievakuasi.

Pada Senin, tersiar kabar bahwa tercapai gencatan senjata yang memungkinkan jalur keluar yang aman. Namun, hal itu dengan cepat dibantah, baik oleh Israel maupun Hamas.

Laporan BBC mneyebutkan bahwa Israel telah menyerang daerah sekitar penyeberangan Rafah setidaknya tiga kali sejak mereka memulai serangan balasannya terhadap Hamas.

Seperti halnya lautan manusia yang menanti Rafah terbuka, truk-truk yang membawa bahan bakar dan pasokan bantuan juga menunggu izin masuk di sisi perbatasan Mesir.

Israel sebelumnya sudah menegaskan bahwa blokade total Gaza tidak akan berakhir sampai Hamas melepas sandera.

3 dari 3 halaman

Kebutuhan Mendesak bagi Warga Gaza

Korban tewas di Israel akibat serangan Hamas melampaui 1.400 orang, sementara Palestina mencatat lebih dari 2.700 kematian akibat serangan balasan Israel dan lebih dari 1 juta orang dilaporkan terpaksa mengungsi.

"Ada kebutuhan mendesak untuk meringankan penderitaan warga sipil Palestina di Gaza," tutur Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry pada Senin pagi, seraya menambahkan bahwa pembicaraan dengan Israel belum membuahkan hasil.

Shoukry menyatakan pula bahwa Mesir dapat mengizinkan evakuasi medis dan sejumlah warga Palestina yang memiliki izin untuk keluar dari Gaza. Pernyataannya tersebut menyuarakan kembali kekhawatiran gelombang besar pengungsi Palestina ke negaranya setelah Israel meminta mereka menyingkir dari utara Gaza.

Mesir dan negara-negara Arab lainnya menentang keras imbauan Israel itu menyebutnya sama saja dengan mengusir warga Palestina dari tanah mereka.